14 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Memberikan Banyak Kenikmatan

Memberikan Banyak Kenikmatan

SEWAKTU menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, bacaan saya sehari-hari tentu koran Kedaulatan Rakyat. Namun saya mesti banyak bersabar karena yang berlangganan adalah induk semang. Padahal, anak-anak kos yang berminat membaca Koran ada enam. Maklum, kami berenam berasal dari keluarga sederhana di desa. Tidak mampu berlangganan koran.

Begitu menjadi dosen di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, tahun 1969, otomatis Koran saya berganti Suara Merdeka. Dan, tidak lagi harus rebutan karena sudah bisa berlangganan. Paling-paling berebut dengan istri, ketika kami menikah pada 1973. Dihitung-hitung berarti saya sudah berlangganan selama 40 tahun. Dikurangi dua tahun ketika saya menempuh studi pascasarjana di Inggris dari tahun 1976 sampai 1978.


Sepulang dari Inggris dengan tambahan gelar MSc in Town Planning, saya memberanikan diri mengirim tulisan berupa artikel langsung ke Kompas. Ternyata tulisan pertama saya yang berjudul ”Partisipasi Penduduk dalam Perencanaan Kota” dimuat. Rasanya bangga bukan main. Saya lantas berpikir, kalau tulisan saya ”laku” untuk Kompas, tentu juga ”laku” untuk koran-koran lain, termasuk Suara Merdeka.

Kebetulan pada era 1970-an itu, saya adalah satu-satunya planolog atau perencana kota di Jawa Tengah yang bergelar master (S2). Nah, bertubi-tubilah kemudian tulisan saya kirim ke Kompas dan Suara Merdeka. Yang pertama adalah harian berskala nasional, sedangkan yang terakhir adalah koran terbesar yang tersebar di segenap pelosok Provinsi Jawa Tengah.

Syukur alhamdulillah, boleh dikata hampir semua tulisan yang saya kirim dimuat, baik di Kompas maupun Suara Merdeka. Memang ada beberapa ditolak Kompas karena dianggap terlalu teknis, terlalu panjang, atau tidak aktual. Namun saya tidak kurang akal. Biasanya dengan sedikit revisi dan improvisasi, tulisan yang ditolak itu lantas saya kirim dan dimuat di koran lain yang tidak setenar Kompas.
Kenikmatan Harian Suara Merdeka bahkan selalu siap memuat makalah-makalah yang saya sajikan di berbagai pertemuan ilmiah dan profesional. Dengan sedikit ”kosmetik”, makalah-makalah ilmiah dalam diskusi, seminar, lokakarya, simposium, konferensi bisa diubah menjadi artikel ilmiah populer yang layak muat untuk konsumsi masyarakat luas. Antara lain karena banyak tulisan saya tentang pembangunan daerah Jawa Tengah dan Semarang yang dimuat Suara Merdeka itulah barangkali, HM Ismail sebagai Gubernur Jawa Tengah menganugerahi saya dengan Upanyasa Bhakti Upapradana pada tahun 1989. Nikmat betul.

Rentetan kenikmatan berikutnya, Prof Dr Moeljono S Trastotenojo, Rektor Undip, mengundang saya ke Biro Rektor sambil membawa trofi/ plaket dan piagam Bhakti Upapradana, seraya meminta saya mengajukan kenaikan pangkat. Pangkat saya waktu itu sudah lektor kepala dan berada pada golongan IV/C selama dua tahun. Sesudah dihitung kredit poin yang telah saya kumpulkan, ternyata sudah melebihi persyaratan. Proses kenaikan pangkat amat singkat dan pada tahun 1990 saya menjadi profesor arsitektur termuda di Indonesia saat itu. Jaya Suprana pun lantas menghadiahi saya dengan penghargaan rekor Museum Rekor Indonesia (Muri).

Sungguh suatu kenangan yang indah. Berkat Suara Merdeka, saya memperoleh banyak kenikmatan seperti itu. Kenangan yang lebih indah lagi tatkala Ir H. Budi Santoso sebagai ”danyang” Suara Merdeka menganugerahi saya sebagai Man of the Year 1993 untuk kali pertama. Saya takkan pernah melupakan jasa-jasa Suara Merdeka dalam perjalanan hidup saya. Itu pula sebabnya saya tetap setia mengisi rubrik ”Gayeng Semarang” sejak awal diperkenalkan sampai saat ini. Tidak pernah lowong. Bahkan saat saya sedang berada di mancanegara pun selalu saya kirim naskah untuk pada waktunya. Biarpun terkadang mepet dan membikin jantung redaksi kebat-kebit.

Untuk mengakhiri tulisan tentang ”Kenangan Indah Bersama Suara Merdeka” ini, saya kutip puisi Hamlet kepada Ophelia dengan sedikit improvisasi: ”Ragukanlah bahwa bumi ini bundar/ Ragukanlah bahwa matahari itu bersinar/Ragukanlah bahwa kuncup itu akan kembang/Namun jangan ragukan cintaku dan cinta kita semua pada Harian Suara Merdeka”. Teriring doa, semoga Suara Merdeka terus berkembang, menjadi yang terbesar dan tersebar di segenap pelosok Nusantara. (10)

— Prof Ir Eko Budihardjo MSc, Ketua Forum Rektor Indonesia 2000-2001, Rektor Universitas Diponegoro 1998-2006, Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah 1993
Wacana Suara Merdeka 11 Februari 2010