SEWAKTU menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta,  bacaan saya sehari-hari tentu koran Kedaulatan Rakyat. Namun saya mesti  banyak bersabar karena yang berlangganan adalah induk semang. Padahal,  anak-anak kos yang berminat membaca Koran ada enam. Maklum, kami berenam  berasal dari keluarga sederhana di desa. Tidak mampu berlangganan  koran.
Begitu menjadi dosen di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, tahun  1969, otomatis Koran saya berganti Suara Merdeka. Dan, tidak lagi harus  rebutan karena sudah bisa berlangganan. Paling-paling berebut dengan  istri, ketika kami menikah pada 1973. Dihitung-hitung berarti saya sudah  berlangganan selama 40 tahun. Dikurangi dua tahun ketika saya menempuh  studi pascasarjana di Inggris dari tahun 1976 sampai 1978.
Sepulang dari Inggris dengan tambahan gelar MSc in Town Planning, saya  memberanikan diri mengirim tulisan berupa artikel langsung ke Kompas.  Ternyata tulisan pertama saya yang berjudul ”Partisipasi Penduduk dalam  Perencanaan Kota” dimuat. Rasanya bangga bukan main. Saya lantas  berpikir, kalau tulisan saya ”laku” untuk Kompas, tentu juga ”laku”  untuk koran-koran lain, termasuk Suara Merdeka.
Kebetulan pada era 1970-an itu, saya adalah satu-satunya planolog atau  perencana kota di Jawa Tengah yang bergelar master (S2). Nah,  bertubi-tubilah kemudian tulisan saya kirim ke Kompas dan Suara Merdeka.  Yang pertama adalah harian berskala nasional, sedangkan yang terakhir  adalah koran terbesar yang tersebar di segenap pelosok Provinsi Jawa  Tengah.
Syukur alhamdulillah, boleh dikata hampir semua tulisan yang saya kirim  dimuat, baik di Kompas maupun Suara Merdeka. Memang ada beberapa ditolak  Kompas karena dianggap terlalu teknis, terlalu panjang, atau tidak  aktual. Namun saya tidak kurang akal. Biasanya dengan sedikit revisi dan  improvisasi, tulisan yang ditolak itu lantas saya kirim dan dimuat di  koran lain yang tidak setenar Kompas.
Kenikmatan Harian Suara Merdeka bahkan selalu siap memuat makalah-makalah yang saya  sajikan di berbagai pertemuan ilmiah dan profesional. Dengan sedikit  ”kosmetik”, makalah-makalah ilmiah dalam diskusi, seminar, lokakarya,  simposium, konferensi bisa diubah menjadi artikel ilmiah populer yang  layak muat untuk konsumsi masyarakat luas. Antara lain karena banyak  tulisan saya tentang pembangunan daerah Jawa Tengah dan Semarang yang  dimuat Suara Merdeka itulah barangkali, HM Ismail sebagai Gubernur Jawa  Tengah menganugerahi saya dengan Upanyasa Bhakti Upapradana pada tahun  1989. Nikmat betul.
Rentetan kenikmatan berikutnya, Prof Dr Moeljono S Trastotenojo, Rektor  Undip, mengundang saya ke Biro Rektor sambil membawa trofi/ plaket dan  piagam Bhakti Upapradana, seraya meminta saya mengajukan kenaikan  pangkat. Pangkat saya waktu itu sudah lektor kepala dan berada pada  golongan IV/C selama dua tahun. Sesudah dihitung kredit poin yang telah  saya kumpulkan, ternyata sudah melebihi persyaratan. Proses kenaikan  pangkat amat singkat dan pada tahun 1990 saya menjadi profesor  arsitektur termuda di Indonesia saat itu. Jaya Suprana pun lantas  menghadiahi saya dengan penghargaan rekor Museum Rekor Indonesia (Muri).
Sungguh suatu kenangan yang indah. Berkat Suara Merdeka, saya memperoleh  banyak kenikmatan seperti itu. Kenangan yang lebih indah lagi tatkala  Ir H. Budi Santoso sebagai ”danyang” Suara Merdeka menganugerahi saya  sebagai Man of the Year 1993 untuk kali pertama. Saya takkan pernah  melupakan jasa-jasa Suara Merdeka dalam perjalanan hidup saya. Itu pula  sebabnya saya tetap setia mengisi rubrik ”Gayeng Semarang” sejak awal  diperkenalkan sampai saat ini. Tidak pernah lowong. Bahkan saat saya  sedang berada di mancanegara pun selalu saya kirim naskah untuk pada  waktunya. Biarpun terkadang mepet dan membikin jantung redaksi  kebat-kebit.
Untuk mengakhiri tulisan tentang ”Kenangan Indah Bersama Suara Merdeka”  ini, saya kutip puisi Hamlet kepada Ophelia dengan sedikit improvisasi:  ”Ragukanlah bahwa bumi ini bundar/ Ragukanlah bahwa matahari itu  bersinar/Ragukanlah bahwa kuncup itu akan kembang/Namun jangan ragukan  cintaku dan cinta kita semua pada Harian Suara Merdeka”. Teriring doa,  semoga Suara Merdeka terus berkembang, menjadi yang terbesar dan  tersebar di segenap pelosok Nusantara. (10)
— Prof Ir Eko Budihardjo MSc, Ketua Forum Rektor Indonesia 2000-2001,  Rektor Universitas Diponegoro 1998-2006, Ketua Dewan Kesenian Jawa  Tengah 1993
Wacana Suara Merdeka 11 Februari 2010