14 Februari 2010

» Home » Okezone » Mencegah Brain Drain

Mencegah Brain Drain

Tahun ini Indonesia memperingati 60 tahun hubungan diplomatik dengan Rusia. Peringatan berlangsung cukup meriah. Ada peluncuran kamus di Universitas Indonesia, resepsi, dan berbagai diskusi.

Kemeriahan peringatan ini menunjukkan bahwa kedua negara memiliki hubungan penting, walau secara geografis terpisah darat dan laut ribuan kilometer. Dari Rusia, Indonesia memang bisa banyak belajar, terutama di bidang ilmu pengetahuan. Bagi Anda yang pernah belajar ilmu kimia, tentu masih ingat dengan Deret Mendeleev. Di bidang teknologi ruang angkasa, Rusia, ketika itu masih sebagai Uni Soviet, adalah yang pertama kali mengirimkan astronotnya––Yuri Gagarin––ke luar angkasa. Empat tahun sebelumnya, pada 1957, Uni Soviet tercatat sebagai negara pertama yang berhasil meluncurkan satelit buatan ke luar angkasa. Namanya Sputnik.

Namun itu dulu. Bersamaan waktunya dengan ramai-ramai peringatan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Rusia, para ilmuwan Rusia mengungkapkan kegundahan akan makin mundurnya keunggulan Rusia, terutama di belantara sains dunia. Sebuah laporan dari Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, yang dipublikasikan per 26 Januari lalu, menyebutkan bahwa dunia riset Rusia menghadapi masalah berat, dengan sedikit solusi.

Kemerosotan di bidang sains ini membuat pengaruh Rusia di bidang industri berbasis sains seperti nuklir, telekomunikasi, dirgantara, ikut menurun drastis. Secara umum, laporan itu menyebut bahwa dunia sains Rusia mengalami kemerosotan. Sebagai gambaran, jumlah pemenang Nobel dari Rusia hingga kini baru mencapai 23. Kalah jauh dibanding Inggris (116), apalagi dengan Amerika Serikat (320).***

Desember tahun lalu, sebanyak 170 ilmuwan Rusia yang bekerja di perguruan tinggi serta lembaga riset luar negeri mengirim surat terbuka kepada Presiden Dmitri Medvedev dan Perdana Menteri Vladimir Putin. Surat yang mereka kirim itu bertajuk “Kehancuran Luar Biasa Ilmu-Ilmu Dasar.”

Para ahli itu menyatakan, sementara negara-negara lain berlomba-lomba meningkatkan kualitas riset, para ilmuwan Rusia harus berjuang keras menjaga dana risetnya tidak turun. Para ahli itu mengimbau Medvedev untuk lebih memperhatikan dunia sains. Jumlah anggaran riset Rusia mereka nilai jauh di bawah anggaran negara-negara maju. Perbedaan ini telah membuat “pelarian besar-besaran para ahli ke luar negeri, yang buntutnya mematikan pengembangan ilmu teknologi di Rusia”. “Musibah” yang dialami dunia sains Rusia memang layak menjadi perhatian kita bersama, bila kita tidak ingin mengalami nasib serupa.

Kata Kepala Akademi Sains Rusia, Viktor Kalinushkin, sebagian besar ilmuwan yang berkualitas baik memilih bekerja di Amerika Serikat, Eropa, Kanada, Prancis, Jerman, atau Jepang. Sejak Uni Soviet bubar pada 1991, lebih dari 500.000 saintis pergi ke luar negeri, mencari penghidupan lebih baik. Gaji mereka di Rusia hanya USD100 per bulan, sedangkan di negara Barat bisa USD3.000–7.000. Para ilmuwan yang pergi itu kebanyakan berusia di kisaran 30 tahun. Mereka adalah para ilmuwan dari bidang yang peranannya sangat vital: fisika, biologi, kimia, dan pemrograman komputer. Bahkan diperkirakan sekitar sepertiga programmer di Microsoft, perusahaan peranti lunak terbesar di dunia, berasal dari Rusia.

Jumlah ilmuwan yang meninggalkan Rusia kini mulai menyusut, seiring membaiknya perekonomian di negeri itu. Menurut UNESCO World Science Report, antara 1991–1995 sebanyak 400.000 saintis meninggalkan Rusia. Salah satu penyebab berkurangnya tingkat hengkang itu adalah perbaikan di tingkat penggajian. Pada 2006 pemerintah menyetujui usulan Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia ihwal kenaikan gaji.

Pada 2004, gaji ilmuwan Rusia sekira 17.000 rubel (+ USD565). Dengan struktur baru, angkanya naik menjadi 19.000 rubel (+ 630). Sejak 2008 lalu, naik lagi menjadi 30.000 rubel (+USD995). Namun, perbaikan gaji itu belum berhasil sepenuhnya mengangkat semangat para saintis. Bila di masa Uni Soviet para saintis masuk ke dalam kelompok premium, di masa Rusia mereka tidak masuk kelompok yang diidolakan.***

Masalah hengkangnya ilmuwan ke luar negeri dipengaruhi banyak faktor. Bila kita melihat masalah brain drain di masa lalu, kombinasinya cukup kompleks, antara stabilitas politik, tingkat imbalan, serta suasana riset yang memadai. Jerman pasti sangat kehilangan tatkala Albert Einstein memutuskan hijrah ke Amerika Serikat. Sikap Pemerintah Jerman yang sangat anti-Yahudi membuat banyak ilmuwan memilih pergi. Amerika Serikat banyak mengambil keuntungan karena sikap politik yang dipilih Hitler. Industri luar angkasa Amerika Serikat sangat berutang budi pada dua ilmuwan Jerman yang bermigrasi ke Amerika Serikat pada 1950, yaitu Konrad Dannenberg dan Wernher von Braun.

Namun setelah Hitler pergi, brain drain juga tetap berlangsung. Majalah Economist pada 2005 menulis kerisauan universitas di Jerman karena dosennya memilih hengkang ke Amerika Serikat lantaran pajak penghasilan para dosen itu lebih rendah. Akibatnya, banyak profesor kelas satu yang dididik oleh Jerman dengan susah payah malah mengajar di Amerika. Pada 2006, diperkirakan sekira 150.000 tenaga dengan keahlian tinggi meninggalkan Jerman untuk mencari tempat dengan pajak lebih rendah.

Saya menuliskan soal brain drain, alias hengkangnya orang-orang pintar ke luar negeri ini untuk mengingatkan bahaya yang tengah kita alami.

Begitu banyak orang pintar yang bersekolah teknologi di luar negeri dengan biaya negara, setelah lulus malah bekerja di luar negeri. Ada seorang kawan dengan keahlian langka, yaitu fotogrametri, yang meraih gelar doktor di luar negeri. Ketika pulang ke kampus di Indonesia, kawan tadi malah frustrasi: tidak ada fasilitas penelitian memadai, gaji kecil, karier yang jauh tertinggal dibanding dosen lain yang ngendon di kampus. Akhirnya kawan tadi memproses pengunduran diri. Dia kemudian menekuni dunia agama, mengisi pengajian, dan membuat buku-buku agama.Kini ia menjadi dosen di luar negeri.

Anda tentu ingat, pada era 1980-an Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie mengadakan program untuk merekrut tenaga-tenaga pintar guna disekolahkan ke luar negeri. Anak-anak muda itu setelah lulus kemudian disebar ke berbagai lembaga penggerak kemajuan teknologi, antara lain IPTN, BPPT, LIPI, Bakosurtanal. Banyak dari mereka setelah pulang kemudian menjadi ahli pesawat terbang, ahli pemetaan, ahli satelit, ahli telekomunikasi. Namun, ketika Indonesia merestrukturisasi Badan Pengelola Industri Strategis atas perintah IMF pada 1998, para ahli yang disekolahkan dengan biaya mahal itu menganggur. Mereka kemudian menyebar ke Jerman, Malaysia, Brasil, Turki, dan Timur Tengah.

Indonesia memang sudah melakukan berbagai langkah untuk mencegah agar jangan sampai terjadi brain drain, hijrahnya para ahli ke luar negeri. Di antaranya dengan meningkatkan anggaran riset, dari Rp1 triliun di tahun lalu, menjadi Rp1,9 triliun di tahun ini. Angka ini tentu masih jauh dari mencukupi, bila kita membandingkan dengan besaran riset di negara yang kini menjadi kampiun di teknologi. Biaya riset ini diharapkan akan berkorelasi positif dengan tingkat inovasi di dalam negeri. Sewaktu memberikan sambutan di Puspiptek Serpong, Banten, pekan ketiga Januari lalu, Presiden menyampaikan pentingnya inovasi.

Dia malah mengungkapkan akan segera dibentuk Komite Inovasi Nasional, bertanggung jawab kepada Presiden, yang akan mengembangkan kemitraan antara pemerintah, dunia swasta, dan dunia internasional. Inovasi memang kunci kemajuan teknologi dan industri. Belajar dari kasus kemajuan teknologi dan industri di Jepang, India, dan China, keduanya saling berkait dan saling membutuhkan. Karena itu, akan lebih baik lagi bila untuk merangsang inovasi, pemerintah juga melakukan langkah yang sama di bidang industri, yakni dengan memberi insentif cukup besar bagi industri yang memakai hasil inovasi dalam negeri, serta mengembangkan risetnya.

Kita semua menyadari bahwa Indonesia merupakan pasar yang besar. Produsen luar mendapat keuntungan cukup besar dari bisnis di bidang automotif, komputer, hingga telekomunikasi, di pasar Indonesia. Hal serupa juga terjadi di bidang-bidang lainnya. Tanpa itu semua, Indonesia akan terus menjadi bangsa distributor.(*)

Iwan Qodar Himawan
Pengurus Pusat Ikatan Surveyor Indonesia

Opini Okezone 15 Februari 2010