Persoalan Tionghoa di Indonesia tak pernah lepas dari dominasi kekuatan ekonomi yang berdampak pada stigma negatif dan akhirnya selalu berujung pada diskriminasi. Stigma itu diwariskan turun-temurun, sedangkan kritisi akar sejarah sering kali dilupakan. Lupa bahwa warisan itu sengaja dibentuk saat politik pecah belah diberlakukan pemerintahan kolonial Belanda.
Parahnya warisan itu masih sering bercokol pada kaum cendekia.
Seorang pengacara kondang, misalnya, sudah beberapa kali terpeleset lidah menyebut kata 'China itu' untuk menunjuk seseorang, yang kemudian mengundang kritik dari masyarakat.
Padahal, kaum cendekia diharapkan bisa menjadi jembatan kritik akar sejarah, sekaligus pemutus warisan negatif kolonial pada generasi berikut.
Sejarah
Dalam banyak buku dan seminar sejarawan ternama Indonesia Onghokham (alm) sering kali berperan menjadi pemutus warisan pecah belah kolonial Belanda. Onghokham selalu menjelaskan bagaimana pada abad 19 Belanda mulai menerapkan politik pecah belah dan sistem apartheid yang sempat berkembang subur di Afrika Selatan.
Belanda membagi masyarakat dalam tiga golongan: pertama, golongan Eropa atau Belanda; kedua timur asing China termasuk India dan Arab; dan ketiga pribumi yang dibagi-bagi lagi dalam suku bangsa hingga muncul Kampung Bali, Ambon, Jawa dll.
Sistem itu menyuburkan sikap rasialis. Apalagi kemudian orang Tionghoa lebih dikondisikan dalam perdagangan. Kekuatan ekonomi membuat mereka menjadi sasaran empuk pengambinghitaman. Awalnya oleh pemerintah Belanda, disusul pemerintahan Orde Baru, dan masih terasa hingga sekarang.
Kuatnya sistem ekonomi di kalangan masyarakat Tionghoa dan pengondisian lewat sistem pemerintahan pada akhirnya menguatkan pandangan umum di kalangan masyarakat Tionghoa sendiri bahwa semua bisa diselesaikan dengan uang. Maka lahirlah Anggodo-Anggodo Indonesia yang kehebatannya membuat orang geleng kepala sekaligus mengingatkan kembali akan stigma negatif masyarakat Tionghoa Indonesia.
Oleh karena itu, memahami akar sejarah jelas menjadi bagian penting untuk semua pihak. Misalnya, bagaimana sejarah kita mencatat percampuran darah pribumi dan Tionghoa sejak berabad lalu. Sarjana Belanda C Lekkerkerker menyebutkan 80% penduduk pantai utara Jawa berdarah China.
Pemahaman akan sejarah itu bisa sangat membantu menghapus stigma negatif kedua belah pihak. Setiap pihak barangkali akan berpikir dua kali untuk melakukan hal-hal negatif. Siapa tahu dalam darah mereka mengalir warisan gen dari Asia timur jauh.
Jangan cengeng
Dalam salah satu makalah yang kemudian dirangkum dalam buku Anti-China, Kapitalis China dan Gerakan China, Onghokham menyinggung keanehan masa Orde Baru. Ketika itu, para birokrat, polisi, militer punya kekuasaan begitu besar, tetapi bergaji kecil. Sementara itu, ada orang China yang relatif cukup mampu dan akhirnya menjadi sapi perahan, sekaligus menyerahkan diri sebagai sapi perah agar seluruh urusan yang berkaitan dengan birokrasi bisa berjalan lancar. Sampai saat ini masih banyak etnis Tionghoa yang harus mengeluarkan uang lebih banyak daripada etnis lainnya jika mengurus surat di tingkatan birokrasi.
Onghokham melihat apa yang terjadi berkaitan dengan kesalahan sistem kenegaraan dan lemahnya kontrol. Sejak lama dia meramalkan masa depan Indonesia mungkin akan tergantung dari hubungan mayoritas minoritas serta pemecahannya.
Namun, di situasi terkini, si kambing hitam dan yang mengambinghitamkan janganlah menjadi cengeng. Yang terpenting sudah terlihat niat baik pemerintah di tataran kebijakan.
Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan penggunaan huruf-huruf China dicabut. Masa presiden berikutnya, Megawati--diterbitkan Keppres No 19/2002--menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional.
Perkara ada anggapan dalam tataran pelaksanaan belum bersungguh-sungguh, rasanya wajar saja. Sebab tak ada perolehan instan. Semua perlu dan butuh proses. Kelahiran Anggodo versi terbaru juga bisa dikatakan sebagai proses penyadaran.
Untuk itu, tak bisa hanya pemerintah yang berperan. Diperlukan pula peran masyarakat umum, termasuk dari etnis Tionghoa sendiri. Berbagai perlakuan yang merugikan warga Tionghoa tidak dapat dilihat sebagai kesalahan satu pihak, tetapi harus didudukkan sebagai kegagalan semua pihak dalam bangunan interaksi sosial.
Hancurkan prasangka
Lalu, perilaku apa saja yang harus diubah dan prasangka seperti apa yang perlu dibuang dari kedua belah pihak? Pertama, anggapan golongan masyarakat Tionghoa anasionalis dan asosial. Bagaimana pun, sejarah membuktikan, etnis Tionghoa tak hanya menghadirkan figur seperti Anggodo atau Alin, tapi juga banyak yang berkiprah di bidang sosial dan berjiwa nasionalis seperti Yap Thiam Hien, Rudy Hartono, Onghokham, Soe Hok Gie, Kwik Kian Gie, dan segudang nama lagi yang harus diakui ketulusan pengabdiannya.
Kedua, anggapan komunitas Tionghoa selalu hidup mengelompok. Permukiman masyarakat Tionghoa cenderung dianggap eksklusif. Padahal di mana pun banyak orang kaya merasa perlu melindungi harta, tak mengenal suku bangsa. Misalnya, di Jakarta Selatan banyak kawasan elite yang didiami warga pribumi kelas atas dan mereka pun eksklusif.
Ketiga, anggapan kurangnya warga keturunan membangun fungsi adaptif dan integratif dari bawah atau dari diri sendiri. Artinya tidak tergantung prakarsa pemerintah, dan bisa dimulai dari tingkat terkecil seperti RT/RW.
Itu yang sering jadi persoalan. Tembok kecurigaan terkadang memisahkan etnis Tionghoa dan masyarakat sekitarnya. Akibatnya mereka kurang membaur. Peran warga Tionghoa dalam kegiatan di tingkat RT seperti kerja bakti dan karang taruna misalnya, harus diakui masih sangat kecil.
Masalah pembauran lewat perkawinan juga kerap menjadi kendala di kedua belah pihak. Andai pembauran terjadi dengan baik, andai penyakit-penyakit sistemik di masyarakat dan negara ini berhasil dijembatani, bisa dipastikan hasutan yang memunculkan peristiwa seperti Mei 1988 bisa ditangkal mulai dari tingkat terkecil, RT.
Poin keempat yang tak bisa diabaikan ialah kesenjangan ekonomi antara etnis Tionghoa dan warga pribumi. Bung Hatta pernah berkata, "Takkala kedaulatan dipulihkan kepada bangsa Indonesia, sebagian dari orang Tionghoa memilih menjadi warga negara, sebagian memilih kewarganegaraan Tiongkok. Namun, di dalam pergaulan sehari-hari tidak begitu kentara. Di mata rakyat, mana yang sini, mana yang sana, yang kentara cuma bahwa kedudukan ekonomi golongan Tionghoa lebih kuat daripada sediakala. Masalah ini hanya bisa diatasi dengan politik perekonomian tegas, yang wujudnya menaikkan ekonomi rakyat lemah sampai ke tingkat perekonomian golongan yang lebih maju. Dengan dasar-dasar yang berlaku di dalam kapitalisme masalah ini tidak diselesaikan." (Star Weekly 26 Januari 1957).
Itu sebabnya, salah satu solusi penting yang harus dilakukan di bidang ekonomi ialah pemerintah harus turun tangan berkaitan dengan upaya membangun sistem perekonomian yang memberi kesempatan dan peluang pada golongan ekonomi rakyat.
Berbagai upaya penghapusan prasangka rasial yang dipelopori pemerintah dan kedua belah pihak untuk menciptakan suasana yang harmonis, niscaya Indonesia akan menjadi bangsa yang tak sekadar besar, tetapi juga kuat.
Etnis Tionghoa akan dengan bangga menyebut dirinya, "Saya adalah Indonesia dan Indonesia adalah saya." Tidak ada lagi pameo once Chinese always Chinese (sekali China tetap China).
Oleh Irwan Wisanggeni Mahasiswa Pascasarjana Magister Akuntansi Universitas Trisakti Jakarta
Opini Media Indonesia 12 Februari 2010
14 Februari 2010
» Home »
Media Indonesia » Menjadi Tionghoa Indonesia Seutuhnya
Menjadi Tionghoa Indonesia Seutuhnya
Thank You!