14 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Potensi Terabaikan Eceng Gondok

Potensi Terabaikan Eceng Gondok

ECENG gondok (Eichhornia crassipes (Mart.) Solm) merupakan gulma di wilayah perairan yang hidup terapung pada air yang dalam atau mengembangkan perakaran di dalam lumpur pada air yang dangkal. Eceng gondok berkembang biak dengan sangat cepat, baik secara
vegetatif maupun generatif.

Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat melipat ganda dua kali dalam waktu 7-10 hari. Hasil penelitian Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan melaporkan bahwa satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 m2, atau dalam waktu 1 tahun mampu menutup area seluas 7 m2. Heyne (1987) menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng gondok pada areal 1 ha dapat mencapai bobot basah 125 ton.


Perkembangbiakannya yang demikian cepat menyebabkan berubah menjadi tanaman gulma di beberapa wilayah perairan di Indonesia. Perkembangbiakan ini juga dipicu oleh peningkatan kesuburan di wilayah perairan rawa (eutrofikasi), sebagai akibat dari erosi dan sedimentasi lahan, berbagai aktivitas masyarakat (mandi, cuci, kakus/MCK), budidaya perikanan (keramba jaring apung), limbah transportasi air, dan limbah pertanian.

Salah satu upaya yang cukup prospektif untuk menanggulangi gulma eceng gondok di kawasan perairan danau adalah dengan memanfaatkannya untuk kerajinan kertas seni. Eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas karena mengandung serat/selulosa (Joedodibroto, 1983).

Pulp eceng gondok yang dihasilkan berwarna cokelat namun dapat diputihkan dengan proses pemutihan (bleaching). Pulp juga dapat menyerap zat pewarna yang diberikan dengan cukup baik, sehingga berbagai variasi warna kertas dapat dihasilkan melalui proses ini.

Kertas seni yang dihasilkan selanjutnya dapat digunakan untuk pembuatan berbagai barang kerajinan seperti kartu undangan, pigura, tempat tisu, dan perhiasan.

Pengusahaan kertas seni seperti halnya di kawasan wisata Rawa pening Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang  memiliki beberapa keuntungan. Pertama, upaya tersebut merupakan alternatif yang sangat baik untuk mengontrol pertumbuhan eceng gondok.

Kedua, pengembangan industri kerajinan tersebut akan menyediakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar sehingga akan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Ketiga, berkembangnya industri kerajinan di kawasan wisata Rawa Pening akan memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat dengan penyediaan berbagai cinderamata yang berdampak positif terhadap pengembangan sektor wisata di wilayah tersebut.

Bisnis kertas seni berbahan eceng gondok dan kertas bekas ini sebenarnya suatu inovasi menggabungkan dua kepentingan. Di satu sisi produk berbahan eceng gondok ini menghasilkan kertas dengan nilai seni yang relatif lebih indah dan di sisi lain adalah upaya pengendalian gulma.

Teknologi pengolahan eceng gondok sebagai bahan baku kertas seni sangat sederhana. Untuk meningkatkan mutu kertas yang diproduksi, kertas eceng gondok dicampur dengan pulp kertas bekas.

Prosedur pembuatan kertas daur ulang campuran eceng gondok dan kertas bekas, bisa dilakukan dengan mengambil bagian batang eceng,yang  paling tinggi seratnya. Bagian batang kemudian dirajang dan dikeringkan sampai mencapai kering udara. Proses ini agar pada saat pemasakan, NaOH dapat diserap oleh eceng.
Mempercepat Eceng gondok yang sudah dalam keadaan kering udara dimasak dalam tong pemasak dengan perbandingan 1 kg eceng gondo : 4 liter air : 10 gram NaOH. Pemberian NaOH untuk mempercepat proses pemisahan serat.

Proses pulping/ pemasakan dilakukan pada suhu air mendidih 3 jam hingga didapatkan eceng dalam bentuk bubur menyatu dengan air. Untuk menghilangkan NaOH ini dilakukan pencucian sampai bersih, agar tidak meninggalkan bau dari larutan pemasaknya.

Proses penggilingan kertas bekas yang sudah direndam, dilakukan terpisah dengan proses penggilingan eceng. Pada saat penggilingan kertas bekas, ditambahkan perekat PVAc kurang lebih 5% dari berat kertas. Proses penggilingan juga masih dilakukan pada pulp eceng gondok, mengingat pada proses pulping tidak dapat menghasilkan serat-serat lebih halus dan seragam.

Proses pencetakan lembaran dimulai dengan melakukan pengenceran pulp kertas bekas dan pulp eceng gondok. Persentase dari campuran pada intinya dapat dilakukan pada tingkat yang berbeda-beda tergantung hasil kertas yang kita inginkan.

Pewarnaan dapat dilakukan sebelum proses pengenceran dan diupayakan dikondisikan beberapa jam agar warna yang diberikan dapat diserap dengan baik oleh pulp. Pengenceran adonan campuran pulp ini perlu dilakukan agar dapat diproduksi kertas yang tipis.
Ketebalan kertas yang dihasilkan akan sangat variatif.

Perlu keterampilan dan pengalaman agar pada proses pencetakan dapat menghasilkan ketebalan kertas yang relatif seragam. Sebagai gambaran produksi, dari hasil percobaan pengolahan 1 kilogram eceng gondok kering dapat menghasilkan 262 lembar kertas seni dengan ukuran 330 x 215 x 0,21 mm.  (10)

— Agung Cahyana, mahasiswa Magister Sistem Teknik Universitas Gadjah Mada
Wacana Suara Merdeka 11 November 2010