14 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Imlek untuk Kebersamaan

Imlek untuk Kebersamaan

TAK dapat dimungkiri, bahwa sejarah telah mebolak-balik tentang peranan orang-orang China di negeri ini, dan akibatnya banyak orang yang masih berpandangan stereotipe dan tidak suka terhadap keberadaan mereka di negeri ini.

Konflik merupakan akibat dari pandangan stereotipe itu, walaupun pemerintah telah membuat Undang-Undang tentang Kewarganegaraan yang baru dan menhapuskan diskriminasi.


Tak dapat dimungkiri pula bahwa peran sejarah mereka terhadap negeri ini jauh di masa lampau sejak awal abad Masehi ini cukup besar, termasuk dalam proses penyebaran Islam di Indonesia.

Lihat saja misalnya peranan Laksamana Cheng-ho dan pengikutnya seperti Ma-huan, yang telah membuka landasan bagi masuknya pengaruh China-Islam di negeri ini, termasuk hadirnya tokoh-tokoh Islam dari Indo-China.

Masjid Agung Demak, peninggalan yang sangat monumental bagi Islam di Indonesia, ternyata juga mengandung hiasan keramik China, begitu pula banyak masjid kuno lainnya yang tersebar di pantai utara Jawa mengandung pernik-pernik China.

Jauh sebelum abad ke-20, orang China yang datang di bumi Nusantara telah mengasimilasikan  diri dengan penduduk asli, bahkan pernah terjadi  pada suatu periode mereka lebur dalam kehidupan penduduk asli  sehingga ciri-ciri mereka hilang sama sekali dan larut menyatu dengan kebudayaan penduduk asli.

Kala itu mereka yang datang kebanyakan laki-laki, yang kemudian menikah dengan wanita pribumi muslim. Bisa jadi di antara penyebar Islam pertama di Indonesia adalah orang-orang China ini, tak terkecuali di antara Walisongo ataupun pengikutnya. Bukti-bukti historis dan arkeologis cukup menunjang simpulan ini.

Berbagai tindak diskriminatif  terhadap  orang-orang  Tionghoa  telah dilakukan oleh pemerintah sejak masa kolonial  hingga sekarang. Pada masa  kolonial  ada Undang-Undang Agraria  (1870)  yang melarang  orang-orang asing (termasuk China)  bergerak di bidang pertanian. 

Puncak   tragedi  orang China  di Indonesia terjadi  dengan  terjadinya pembantaian oleh Kompeni VOC tahun 1740 di Batavia, yang kemudian meluas menjadi Geger Pacinan  atau Perang China di Jawa.
Sistem Modern Sementara itu  perubahan situasi di China daratan terbukti juga  berpengaruh terhadap sikap  dan orientasi orang China di Indonesia. Kebangkitan  nasional  di daratan China  pada awal abad ke-20,  telah  mendorong  munculnya perkumpulan  Tiong Hoa Hwee Koan  (THHK)  pada 17 Maret 1900,  disusul berdirinya sekolah-sekolah dasar China dengan sistem modern, dengan pengantar bahasa Mandarin.  Lembaga-lembaga ini ternyata begitu efektif untuk menchinakan kembali orang-orang yang disebut China peranakan.

Setelah Indonesia  merdeka, sikap diskriminatif  terhadap orang-orang China  nampaknya masih terus berjalan, misalnya  adanya pesetujuan  antara Menlu RRC Chou En Lai dan Menlu Soenaryo mengenai penghapusan  dwikewarganegaraan,  PP Nomor 10  Tahun 1959 tentang  Larangan Orang  Tionghoa Asing  Berusaha di Luar Ibu Kota Kabupaten, juga kebijakan pemerintah  di bidang pendidikan  yang asimilasionis yang tujuan utamanya  adalah  berkurangnya penggunaan bahasa China. 

Contoh lain ialah  adanya peraturan KSAD April 1958  yang menutup semua surat kabar yang terbit dengan huruf selain Latin dan Arab, juga adanya

larangan/pembatasan  penggunaan bahasa China  di tempat-tempat terbuka dan mendesak  orang WNI keturunan tidak lagi menggunakan leluhurnya.   Di masa Orde Baru,  bahkan keluar Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang intinya bahwa agama  dan adat istiadat China hanya diizinkan dipraktikkan di lingkungan keluarga.

Perayaan hari-hari  besar keagamaan dan adat kalaupun akan dilangsungkan secara terbuka, tidak boleh dilakukan secara mencolok. Hal itu akan diatur oleh Departemen Agama dan Jaksa Agung.

Baru dengan keluarnya UU Nomor 5 Tahun 1969 maka agama Buddha dan Konghucu diakui memperoleh status resmi, walaupun  dalam praktiknya berbagai pembatasan  tetap diberlakukan. Masalah yang berbau diskriminatif lain, misalnya  adanya  larangan iklan dengan tulisan Mandarin,  film dengan bahasa Mandarin, peraturan  tentang perubahan nama dan lain-lain.  

Saat ini, pemerintah dan rakyat sedang gigih mengupayakan agar menjadi negara yang menjunjung  tinggi supremasi hukum, berkeadilan, demokratis, peduli HAM dan menyikapi perbedaan sebagai rahmat Tuhan YME, maka persoalan etnik China ini juga harus diselesaikan dan disikapi secara arif.

Terbitnya Keppres Nomor 6 Tahun 2000  kiranya merupakan angin segar bagi  orang China yang selama era Orde Baru  secara fisik dan psikis  telah menderita, karena dijauhkan dari segala anasir yang berhulu pada budaya leluhur mereka.  Apalagi kini juga telah terbit UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, yang sangat memudahkan mereka untuk memperoleh status WNI.

Adanya kebijakan itu diharapkan membuat  Naga Nusantara itu bangkit dari tidur panjangnya, bahu-membahu bersama-sama warga negara lainnya membangun bangsa yang sedang berjuang menegakkan hukum, demokrasi, HAM, dan memberantas kemiskinan.

Dengan demikian era reformasi ini  sesungguhnya lebih  memberi peluang  bagi semua pihak,  tidak terkecuali etnik China, untuk membuktikan diri  sebagai pewaris sah republik tercinta ini. Akan tetapi peluang baik ini tidak mustahil  bisa menjadi  hambatan  proses  integrasi multikulturalism, terutama  jika kiprah  mereka  salah langkah  sehingga  tumbuh kesan  bahwa  orang  China Indonesia  justru  semakin eksklusif. 

Untuk itulah setiap Tahun Baru Imlek dapat dijadikan sebagai media perenungan bersama, untuk merekatkan kembali hubungan warga pribumi dan nonpribumi yang telah terkoyak karena politik diskriminatif yang dijalankan oleh pemerintah kolonial hingga pemerintah Orde Baru. (10)

— Eko P Hendro, dosen Fakultas lmu Budaya Undip
Wacana Suara Merdeka 11 Februari 2010