TAK dapat dimungkiri, bahwa sejarah telah mebolak-balik tentang peranan orang-orang China di negeri ini, dan akibatnya banyak orang yang masih berpandangan stereotipe dan tidak suka terhadap keberadaan mereka di negeri ini.
Konflik merupakan akibat dari pandangan stereotipe itu, walaupun pemerintah telah membuat Undang-Undang tentang Kewarganegaraan yang baru dan menhapuskan diskriminasi.
Tak dapat dimungkiri pula bahwa peran sejarah mereka terhadap negeri ini jauh di masa lampau sejak awal abad Masehi ini cukup besar, termasuk dalam proses penyebaran Islam di Indonesia.
Lihat saja misalnya peranan Laksamana Cheng-ho dan pengikutnya seperti Ma-huan, yang telah membuka landasan bagi masuknya pengaruh China-Islam di negeri ini, termasuk hadirnya tokoh-tokoh Islam dari Indo-China.
Masjid Agung Demak, peninggalan yang sangat monumental bagi Islam di Indonesia, ternyata juga mengandung hiasan keramik China, begitu pula banyak masjid kuno lainnya yang tersebar di pantai utara Jawa mengandung pernik-pernik China.
Jauh sebelum abad ke-20, orang China yang datang di bumi Nusantara telah mengasimilasikan diri dengan penduduk asli, bahkan pernah terjadi pada suatu periode mereka lebur dalam kehidupan penduduk asli sehingga ciri-ciri mereka hilang sama sekali dan larut menyatu dengan kebudayaan penduduk asli.
Kala itu mereka yang datang kebanyakan laki-laki, yang kemudian menikah dengan wanita pribumi muslim. Bisa jadi di antara penyebar Islam pertama di Indonesia adalah orang-orang China ini, tak terkecuali di antara Walisongo ataupun pengikutnya. Bukti-bukti historis dan arkeologis cukup menunjang simpulan ini.
Berbagai tindak diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa telah dilakukan oleh pemerintah sejak masa kolonial hingga sekarang. Pada masa kolonial ada Undang-Undang Agraria (1870) yang melarang orang-orang asing (termasuk China) bergerak di bidang pertanian.
Puncak tragedi orang China di Indonesia terjadi dengan terjadinya pembantaian oleh Kompeni VOC tahun 1740 di Batavia, yang kemudian meluas menjadi Geger Pacinan atau Perang China di Jawa.
Sistem Modern Sementara itu perubahan situasi di China daratan terbukti juga berpengaruh terhadap sikap dan orientasi orang China di Indonesia. Kebangkitan nasional di daratan China pada awal abad ke-20, telah mendorong munculnya perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada 17 Maret 1900, disusul berdirinya sekolah-sekolah dasar China dengan sistem modern, dengan pengantar bahasa Mandarin. Lembaga-lembaga ini ternyata begitu efektif untuk menchinakan kembali orang-orang yang disebut China peranakan.
Setelah Indonesia merdeka, sikap diskriminatif terhadap orang-orang China nampaknya masih terus berjalan, misalnya adanya pesetujuan antara Menlu RRC Chou En Lai dan Menlu Soenaryo mengenai penghapusan dwikewarganegaraan, PP Nomor 10 Tahun 1959 tentang Larangan Orang Tionghoa Asing Berusaha di Luar Ibu Kota Kabupaten, juga kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang asimilasionis yang tujuan utamanya adalah berkurangnya penggunaan bahasa China.
Contoh lain ialah adanya peraturan KSAD April 1958 yang menutup semua surat kabar yang terbit dengan huruf selain Latin dan Arab, juga adanya
larangan/pembatasan penggunaan bahasa China di tempat-tempat terbuka dan mendesak orang WNI keturunan tidak lagi menggunakan leluhurnya. Di masa Orde Baru, bahkan keluar Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang intinya bahwa agama dan adat istiadat China hanya diizinkan dipraktikkan di lingkungan keluarga.
Perayaan hari-hari besar keagamaan dan adat kalaupun akan dilangsungkan secara terbuka, tidak boleh dilakukan secara mencolok. Hal itu akan diatur oleh Departemen Agama dan Jaksa Agung.
Baru dengan keluarnya UU Nomor 5 Tahun 1969 maka agama Buddha dan Konghucu diakui memperoleh status resmi, walaupun dalam praktiknya berbagai pembatasan tetap diberlakukan. Masalah yang berbau diskriminatif lain, misalnya adanya larangan iklan dengan tulisan Mandarin, film dengan bahasa Mandarin, peraturan tentang perubahan nama dan lain-lain.
Saat ini, pemerintah dan rakyat sedang gigih mengupayakan agar menjadi negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum, berkeadilan, demokratis, peduli HAM dan menyikapi perbedaan sebagai rahmat Tuhan YME, maka persoalan etnik China ini juga harus diselesaikan dan disikapi secara arif.
Terbitnya Keppres Nomor 6 Tahun 2000 kiranya merupakan angin segar bagi orang China yang selama era Orde Baru secara fisik dan psikis telah menderita, karena dijauhkan dari segala anasir yang berhulu pada budaya leluhur mereka. Apalagi kini juga telah terbit UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, yang sangat memudahkan mereka untuk memperoleh status WNI.
Adanya kebijakan itu diharapkan membuat Naga Nusantara itu bangkit dari tidur panjangnya, bahu-membahu bersama-sama warga negara lainnya membangun bangsa yang sedang berjuang menegakkan hukum, demokrasi, HAM, dan memberantas kemiskinan.
Dengan demikian era reformasi ini sesungguhnya lebih memberi peluang bagi semua pihak, tidak terkecuali etnik China, untuk membuktikan diri sebagai pewaris sah republik tercinta ini. Akan tetapi peluang baik ini tidak mustahil bisa menjadi hambatan proses integrasi multikulturalism, terutama jika kiprah mereka salah langkah sehingga tumbuh kesan bahwa orang China Indonesia justru semakin eksklusif.
Untuk itulah setiap Tahun Baru Imlek dapat dijadikan sebagai media perenungan bersama, untuk merekatkan kembali hubungan warga pribumi dan nonpribumi yang telah terkoyak karena politik diskriminatif yang dijalankan oleh pemerintah kolonial hingga pemerintah Orde Baru. (10)
— Eko P Hendro, dosen Fakultas lmu Budaya Undip
Wacana Suara Merdeka 11 Februari 2010