Oleh Farhat Abbas (advokat)
Suara desakannya relatif sama: SBY-Boediono gagal. Itulah opini yang menyeruak di berbagai sudut wilayah di Tanah Air yang dikumandangkan sebagian besar publik, terutama kelas menengah, setelah pemerintahan ini menjalani 100 hari. Cukup proporsionalkah penilaian itu?
Semuanya berangkat dari sudut pandang yang bisa jadi berbeda. Kalangan kontrarian berangkat dari sejumlah program yang sungguh tidak jelas capaiannya. Indikator seperti kemiskinan dan pengangguran tidak terlihat derap perbaikannya.
Sementara itu, selama tiga bulan terakhir ini, publik dihadapkan panorama penegakan hukum yang semakin loyo, bahkan teracak-acak. Kasus Anggodo merupakan gambaran gamblang bagaimana dirinya bersekongkol dan mampu memperdayakan sejumlah pejabat publik di instansi kepolisian, bahkan menyeret (berani mencatut) nama Presiden SBY dan akhirnya merusak proses hukum. Apakah memang tidak ada lagi keadilan yang akan lahir dari lembaga peradilan?
Yang perlu kita sesalkan, bukanlah tujuan esensial dari campur tangan kekuasaan itu. Tapi, mengapa membiarkan rekayasa hukum yang mengacak-acak institusi penegak hukum sehingga sempat digiring pada situasi konflik antarinstansi penegak hukum (cicak versus buaya). Penguasa tampak tidak menyadari bahwa sikap persekongkolannya mendorong publik beraksi keras atas proses hukum yang menimpa Bibit-Chandra. Inilah kondisi yang mendorong publik menekan secara politik melalui aksi-aksi demonya.
Ketidakpercayaan publik juga tampak jelas pada penanganan pembobolan Bank Century. Sekali lagi, keloyoan penegakan hukum atas terbobolnya dana sekitar Rp 6,76 triliun mendorong parlemen untuk 'mengadili' para pihak yang diduga terlibat dalam proses pembobolan bank itu.
Proporsinya merupakan respons akibat ketidaksigapan institusi penegak hukum yang ada meski seorang Robert Tantular segera terproses. Hal ini pun karena kesigapan seorang Jusuf Kalla yang ketika itu memang punya otoritas sebagai wakil presiden dan kesigapan ini dinilai menjadi persoalan serius bagi internal kekuasaan (mencederai hubungan dengan SBY).
Kita perlu mencatat, kasus Anggodo, Bibit-Chandra, dan Bank Century yang dipancarluaskan media massa secara intensif-produktif membuat sebagian besar publik tidak percaya lagi pada pemerintahan SBY-Boediono meski terdapat survei yang menggambarkan sekitar 70 persen masih menunjukkan kepercayaannya kepada pemerintahan saat ini. Hasil survei ini secara faktual perlu dipertanyakan.
Memang, gerakan kontrarian ini senantiasa menghiasi media massa dari kalangan menengah, yang tentu jumlahnya secara kuantitatif jauh lebih kecil dibandingkan kalangan bawah (grass-root). Namun demikian, kita perlu mencatat, kelas menengah menurut catatan sejarah adalah kelas yang ikut dan cukup kuat menentukan dinamika politik bangsa dan negara. Karena itu, jangan memandang sepele keberadaan dan peran kelas menengah-terdidik itu.
Kiranya, kalangan kontrarian dapat memahami ketidakmungkinan bahwa dalam masa sependek itu (100 hari) pemerintah dapat menyulap sejumlah program perbaikan, seperti yang dijanjikan presiden dan wakil presiden. Apalagi, jika programnya terkait dengan proses pengerjaan fisik dan mental, seperti proyek perumahan, pengentasan kemiskinan, penaikan investasi, mafia hukum, dan masih banyak lainnya.
Namun demikian, apa yang kita saksikan pada dua kasus hukum, seperti Anggodo yang mampu merekayasa berbagai kalangan pejabat negara dan Bank Century, jelaslah cukup diselesaikan dalam tempo relatif singkat. Masa sekitar tiga bulan cukup untuk membuktikan komitmen penegakan hukum terhadap kasus hukum tersebut. Faktanya, bukan hanya molor, tapi memang bermain-main dan arahnya menyelamatkan seseorang: Presiden SBY dari potensi pelengseran kekuasaan (impeachment).
Publik yang mengikuti penayangan media televisi yang disiarkan langsung, menurut salah satu lembaga survei, mencapai sekitar 42 persen. Publik tersebut menilai, pemerintahan SBY-Boediono bukan hanya gagal, tapi memang harus mengambil langkah politik yang lebih pasti dan kuat. Merombak kabinetnya adalah satu opsi yang tak bisa ditawar-tawar.
Langkah politik ini merupakan etape untuk pertama meredakan emosi sebagian besar publik kelas menengah. Kedua, mengembalikan sikap kepercayaan. Langkah ini diperlukan sejalan dengan masa kekuasaan yang relatif masih panjang.
Andai SBY sebagai pemegang hak prerogatif memandang sepi aksi demo pada 28 Januari kemarin, sikap ketidakpercayaan publik akan semakin menguat, meluas, dan akan terus melancarkan sejumlah aksi demonstratifnya. Tak bisa dimungkiri, akumulasi sikap yang menasional ini berpotensi mengganggu kinerja pemerintahannya. Panorama ini pun pada akhirnya akan menimbulkan keraguan bagi kalangan investor untuk menggelar aktivitas ekonominya di Tanah Air.
Lalu, siapakah yang harus dibidik? Jika kita cermati tuntutan publik yang meluas itu, dua tokoh nasional Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi sasaran utama yang harus 'diamputasi' atau dicopot dari posisinya. Inilah satu opsi yang diperkirakan dapat meredakan emosi publik, sekaligus menyelamatkan kepentingan kekuasaan SBY. Terkesan cukup berlebihan opsi itu, apalagi prosesnya tidak melalui wilayah hukum (pengadilan).
Perlu kita garis bawahi, apa yang dipaparkan dan ditayangkan media massa (televisi) telah mendorong penilaian kuat publik terhadap kedua tokoh nasional sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Itulah ranah politik yang secara de facto menjadi dasar penilaian terhadap Boediono dan Sri Mulyani.
Tak dapat disangkal, SBY dihadapkan pada dilema. Di satu sisi, Sri Mulyani, seperti yang tersiar ke tengah publik, akan 'nyanyi' jika dirinya dicopot. Hal ini karena pencopotan posisinya akan memperlancar hukum: sangat mungkin masuk penjara. Di sisi lain, Boediono dan Sri Mulyani adalah 'representasi' kepentingan Barat: AS, Bank Dunia, dan sejumlah lembaga keuangan internasional, seperti IMF.
Implikasi politik yang perlu dibaca, posisi SBY sungguh terancam. Andai Sri Mulyani benar-benar 'nyanyi', akan terlihat jelas bagaimana 'duduk perkara' Bank Century dan itu berpotensi akan mendorong parlemen melakukan aksi politik lebih jauh: menggunakan Pasal 7A UUD 1945 yang secara implisit menegaskan impeachment (memakzulkan) karena terindikasi kuat ikut 'bermain' dalam tragedi penggelontoran dana Rp 6,76 triliun.
Rekomendasi politik ini akan menguatkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meluluskan proses politik itu dan hal ini menjadi dasar legal bagi MPR RI untuk menggelar Sidang Istimewa (SI) dengan agenda utama pelengseran. Berkaca politik masa silam, rekomendasi DPR dan MK akan memperlancar keinginan proses politik yang berlangsung. Di sisi lain, SBY juga terancam dari tekanan Barat jika memang mengindahkan amputasi posisi Wakil Presiden Boediono.
Opini Republika 11 Februari 2010
14 Februari 2010
Momentum Merombak Kabinet
Thank You!