“Menyatakan terdakwa Antasari Azhar terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pidana turut serta dan menganjurkan pembunuhan berencana dan memidanakan penjara selama 18 tahun penjara.”
Itulah penggalan penting dari vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Herri Iswantoro dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Kamis (11/2). Menurut majelis hakim, semua unsur dalam Pasal 55 ayat 1 kesatu jo Pasal 55 ayat 1 kedua jo Pasal 340 KUHP, yaitu unsur barang siapa melakukan, turut serta menganjurkan dengan sengaja, dan turut berencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, terpenuhi.
Menanggapi vonis itu, Antasari dengan “sopan dan tegar” menyampaikan sikapnya. “Kami sudah mendengar putusan yang dijatuhkan. Saya menghargai objektivitas hakim. Namun, sebagai warga negara dan penegak hukum, beri kesempatan, kami akan mengajukan banding,” kata Antasari. Sementara itu, pengacara Antasari, Juniver Girsang, menilai majelis hakim tidak konsisten dalam membuat pertimbangan hukum. Kecewa berat tampak dari raut wajah dan sikapnya yang emosional.
Kekecewaan serupa juga muncul dari istri, anak, dan keluarga Antasari maupun Andi Syamsudin (keluarga korban), bahkan jaksa penuntut umum (JPU) pun juga kecewa. Sepertinya tak seorang pun sependapat dengan majelis hakim. Adakah yang tidak wajar dengan proses peradilan ataupun vonis itu? Tulisan ini disampaikan bukan untuk menggurui masyarakat atau siapa pun, apalagi berpihak kepada mereka yang sedang beperkara, melainkan sebagai ungkapan keprihatinan atas wajah pengadilan kita yang kian pucat dan bopeng-bopeng.
Wajah buruk demikian mencerminkan bahwa pengadilan kita sedang sakit. Dalam kondisi demikian, sudah tentu teramat sulit bagi masyarakat pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan substantif yang diharapkan lahir dari institusi tersebut. Prof Satjipto Rahardjo (alm) sering mengingatkan bahwa selama ini kita sering salah kaprah (tidak fair) dalam menampilkan wajah pengadilan, yaitu dikesankan otonom, netral, tertib, teratur, pasti, dan adil.
Sisi dan kondisi lain bahwa pengadilan sesungguhnya institusi yang seram, ganas, zalim, dan sejenisnya dilupakan. Analog dengan dunia kesehatan, pengadilan itu sering dipersepsikan selalu sehat, padahal dia berpenyakit. Ada penyakit-penyakit peradilan seperti suap-menyuap, makelar kasus, tekanan independensi, birokratis, prosedural, bahkan penyakit-penyakit lain sejenis yang agresif merusak kesehatan pengadilan.
Penyakit-penyakit peradilan tersebut selalu eksis dan sungguh tidak mudah dibasmi, sekalipun dengan menghadirkan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. Hal demikian mengisyaratkan, siapa pun berhubungan dengan pengadilan mesti waspada terhadap virus-virus ganas tersebut.***
Dapatkah proses banding, kasasi, dan peninjauan kembali menjadi sarana keluar dari institusi yang berpenyakit itu? Jawabnya, harapan memang begitu, tetapi soal hasil wallahu a’lam. Mengapa? Karena pada keseluruhan jenjang pengadilan itu umumnya telah terjalin jejaring mafia pengadilan yang kronis. Artinya, upaya banding dan seterusnya itu lebih tepat dimaknakan sebagai menunda eksekusi yang mensyaratkan adanya financial cost, social cost maupun political cost yang tinggi.
Penggambaran merebaknya penyakit peradilan demikian sama sekali bukan untuk menakut-nakuti, apalagi mematahkan semangat para pencari keadilan,melainkan sebagai persuasi untuk melihat pengadilan secara utuh dan objektif. Dengan demikian, kalau ada pertanyaan, “masih adakah keadilan di negeri ini” atau “masih berhakkah Antasari akan keadilan substantif”, jawabnya “wajib kita upayakan bersama”.
Filosof Yunani Plato menyatakan bahwa keadilan merupakan moral dunia tertinggi. Setiap manusia mendambakan hadirnya kebutuhan spiritual ini. Keadilan itu tujuan dan hukum adalah jalan menuju keadilan. Pendapat Plato ini diikuti dan dikembangkan oleh Habermas dengan mengatakan bahwa hukum tidak memperoleh legitimasi dari dirinya sendiri, melainkan harus menampakkan nilai-nilai moral yang dikejarnya itu (Rahardjo, 2003).
Moralitas atau akhlak adalah sebuah terminologi kehidupan yang berbicara tentang nilai baik dan buruk serta senantiasa terkait dengan sikap manusia terhadap semua entitas kehidupan. Kini, Antasari sedang berburu keadilan. Tidak bisa tidak, Antasari harus melalui hukum. Di sinilah persoalan yang pertama-tama wajib dikritisi, apakah KUHP yang di dalamnya tersimpan pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat terdakwa (Antasari) itu sudah legitimate?
Dalam wawancara dengan wartawan sebagaimana ditayangkan berbagai media massa, Ketua Majelis Hakim menyatakan bahwa vonis atas Antasari telah diputuskan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Walaupun tanpa menyebut secara eksplisit, sudah tentu peraturan perundangan dimaksud adalah KUHP. Itulah hukum yang diyakini majelis hakim sebagai hukum yang benar, tanpa cacat, otonom, netral, dan dapat dijadikan jalan terbaik menuju keadilan.
Atas dasar asumsi demikian, majelis hakim menjatuhkan vonis 18 tahun penjara. Sikap majelis hakim demikian itu jika dilihat dari perspektif filosofis Plato dan Habermas di atas dipandang tidak tepat. Dari perspektif ini, hukum tidak pernah memperoleh legitimasi daridirinya sendiri. Hanya atas dasar KUHP, persoalan hukum kasus Antasari yang sedemikian kompleks dan rumit tidak mungkin disederhanakan secara mekanis-teknologis.
Sedemikian banyak fakta hukum yang harus dirangkai secara utuh dan komprehensif, tetapi dalam pandangan para pengacara majelis hakim hanya justru berpegang pada berita acara pemeriksaan (BAP). Dalam kerumitan demikian, serasa mustahil, hukum yang mekanisteknologis itu mampu mengakomodasi fakta hukum secara utuh. Kajian akademis mengisyaratkan bahwa menerapkan hukum acara dan KUHP begitu saja secara tekstual terhadap kasus Antasari tidaklah cukup, melainkan juga perlu memikirkan moralitas, cita-cita, serta tujuan luhur bernegara hukum.
Dalam konteks keindonesiaan yang berideologi Pancasila, menjadikan hukum sebagai jalan menuju keadilan perlu dilakukan dengan mengunggulkan “olah hati” daripada sekadar “olah otak” atau dengan ungkapan mentereng “mengunggulkan komitmen moral daripada hukum positif”. Konstruksi legal-morality demikian semestinya dirasakan sebagai kebutuhan bersama untuk menutupi berbagai kelemahan dalam sistem peradilan pidana kita.
Dalam kerangka konstruksi legal-morality, lembaga pengadilan dan proses peradilan dapat dibentengi dari masuknya virus-virus penyakit peradilan. Fakta hukum yang tidak terungkap melalui alat bukti dan kesaksian dapat ditemukan melalui olah hati dan kontemplasi. Dalam kerangka konstruksi pemikiran demikian pula diharapkan hakim, jaksa, pengacara, dan siapa pun yang terlibat dalam proses peradilan mau memutar mindset-nya sehingga hukum sebagai jalan menuju keadilan menjadi lapang, halus, mulus karena diterangi dan diperindah dengan moralitas.
Apabila konstruksi ini dapat diterima, perburuan keadilan bagi Antasari pada proses-proses selanjutnya akan bermakna penting sebagai pembelajaran hukum dan pembenahan sistem peradilan pidana kita. Kita sadar bahwa berburu keadilan memang tidak mudah, perlu perjuangan, kesabaran, dan bekal ilmu hukum yang cukup. Dengan ilmu langkah menjadi terarah dan mudah dan dengan moral kehidupan menjadi ramah sehingga keadilan akan terjamah. Semoga. Wallahu a’lam.(*)
Prof Dr Sudjito
Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UGM
Opini Okezone 15 Februari 2010
14 Februari 2010
Antasari Berburu Keadilan
Thank You!