KETIGA agama yang pembawanya masih serumpun sebagai keturunan Nabi Ibrahim semuanya pernah dan tengah mengalami diaspora.
Pengikutnya berkembang dan merantau jauh melampaui batas kelahirannya. Diaspora mirip sekali dengan peristiwa hijrah dan dengan hijrah banyak hal serta peristiwa baru dijumpai. Bahkan ketiga agama itu berkembang pesat dan melahirkan peradaban besar justru setelah keluar dari tempat kelahirannya. Yahudi dan Nasrani lahir di wilayah Timur Tengah, tetapi berkembang pesat justru di Eropa dan Amerika. Islam yang lahir di Mekkah dan Madinah pernah melahirkan peradaban besar setelah berkembang di Baghdad, Iran, Mesir, dan Spanyol. Kini Islam menyusul dan merambah dunia Barat mengikuti agama pendahulunya,Yahudi dan Nasrani.
Yang tidak pernah habis dibahas, dipertanyakan, dan digugat adalah mengapa tiga agama besar yang pendirinya masih bersaudara dan mengimani Tuhan yang sama selalu saja terlibat permusuhan dan perkelahian sepanjang sejarah? Untuk memahami bagaimana pergulatan, perjuangan, dan tantangan umat Islam di Barat, banyak buku yang mencoba menjelaskannya. Salah satunya adalah A Heart Turned East: Among the Muslims of Europe and America (1997) oleh Adam Lebor yang kemudian diindonesiakan menjadi Pergulatan Muslim di Barat, Antara Identitas dan Integrasi (Mizan 2009). Kondisi dan status sosial umat Islam di Amerika Serikat (AS) dan Eropa memiliki perbedaan yang signifikan.
AS yang bangga dengan masyarakatnya yang sangat plural lebih akomodatif terhadap kehadiran beragam agama dan budaya, termasuk Islam. Hanya saja setelah peristiwa 11 September (9ll) 2001, umat Islam di sana merasa tertekan karena selalu dicurigai. Namun dibandingkan di Eropa, umat Islam di AS lebih baik kondisinya. Mereka lebih terpelajar. Pusat-pusat studi Islam bermunculan. Semua universitas besar di AS merasa belum lengkap jika belum memiliki departemen studi Islam dengan jajaran profesor ahli yang sebagian didatangkan dari dunia Islam. Eropa dulu dikenal sebagai imperialis dan menjajah sebagian besar dunia Islam.
Hubungan pahit itu bekasnya masih berlanjut sampai sekarang. Negara Inggris dan Prancis, misalnya, sekarang tengah mencari-cari formula dan solusi menghadapi umat Islam yang semula datang dari bekas negara jajahannya. Begitu pun di Jerman yang pada Perang Dunia I pernah merayu Turki untuk bergabung melawan sekutu––dan ternyata kalah–– banyak imigran muslim Turki yang sampai hari ini menimbulkan banyak masalah sosial. Baik di Inggris, Prancis maupun Jerman para imigran itu umumnya datang dari kalangan buruh. Mereka hidup secara komunal dan eksklusif, sulit melebur dalam budaya setempat baik karena alasan bahasa, budaya maupun agama. Problem baru muncul pada generasi kedua dan ketiga.
Mereka merasa gamang dan bingung menemukan identitas dirinya. Meski lahir di Eropa, mereka tidak merasa sebagai orang Eropa dan tidak pula merasa akrab dengan budaya asal usul orang tuanya. Ketika terjadi konflik rasial dan agama dengan pemerintah setempat, keturunan imigran muslim ini serbabingung. Mereka tidak memiliki rumah budaya dan tanah air yang memberikan kenyamanan. Mereka lahir dan berbicara dengan bahasa Eropa, tetapi tidak memperoleh pengakuan sepenuhnya sebagai orang Eropa. Sebagian besar muslim di Inggris berasal dari anak benua India. Tidak seperti Kristen dan Yahudi, muslim Inggris tidak memiliki kepemimpinan komunal tingkat nasional yang terlembaga. Hal serupa juga terjadi di Prancis dan Jerman.
Mereka terbagi-bagi pada kelompok wilayah asal daerah dan negaranya sehingga kekuatan lobinya tidak kuat dalam memperjuangkan kepentingan Islam. Perbedaan lebih lanjut juga terlihat dalam paham keagamaannya serta sikap mereka terhadap pemerintah setempat. Pengelompokan ini diawetkan oleh tampilnya ulama, aktivis, dan pimpinan gerakan Islam dengan aspirasi dan ideologi yang berbeda-beda. Ada yang bersikap radikal, tidak mau berkompromi dan beradaptasi dengan budaya setempat, dengan alasan Islam dan budaya Barat tidak mungkin dipertemukan. Jangan sampai Islam terbaratkan, melainkan sebaliknya, Barat yang mesti diislamkan. Gerakan radikal ini diduga memperoleh dukungan dana dan aktor intelektual dari negara-negara Arab.
Sadar sebagai kelompok minoritas, ada lagi yang bersikap adaptif. Bagaimanapun, mereka sebagai pendatang atau tamu mesti menghargai dan mengikuti tradisi tuan rumah, asal tidak mengorbankan nilai-nilai dasar Islam. Namun ada juga yang berpandangan lain lagi bahwa banyak tradisi dan cara berpikir Barat yang sesungguhnya sangat Islami, hanya saja minus syahadat. Dengan demikian Barat merupakan lahan subur bagi munculnya masyarakat Islam baru.
Karena Islam tidak sekadar sistem keimanan, melainkan juga ada seperangkat aturan dan kewajiban ritual serta etika sosial, kehadiran Islam di Barat ada yang melihatnya sebagai counter sistem nilai sehingga benturan dengan tradisi setempat tidak bisa dielakkan. Secara kasatmata, kemunculan masjid dan tradisi salat Jumat, berpuasa, mengenakan jilbab, dan ketersediaan makanan halal menjadi fenomenal dan sering menimbulkan gesekan. Pendeknya, muslim diaspora saat ini telah menjadi objek tersendiri bagi peminat studi Islam di Barat khususnya.
Umat Islam di sana merasakan bagaimana rasanya sebagai minoritas dengan identitas etnis yang kabur. Pergulatan ini tampaknya baru akan mulai dan akan berkembang terus. Jika di Indonesia sering muncul istilah “westernisasi” dan “Kristenisasi”, di Barat yang tengah berlangsung adalah “Islamisasi” meskipun istilah westernisasi, Kristenisasi, dan Islamisasi ini sebuah konsep yang longgar dan adakalanya kabur. (*)
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Opini Okezone 12 Februari 2010