Oleh Adnan Topan Husodo
(Wakil Koordinator ICW)
Ketika  Gamawan Fauzi, menteri dalam negeri, menegaskan bahwa honor yang  diterima oleh para kepala daerah dari Bank Pembangunan Daerah (BPD)  merupakan hal yang wajar dan sah, penulis sama sekali tidak percaya.
Pasalnya,  Gawaman Fauzi adalah sosok yang selama ini dikenal luas sebagai seorang  mantan bupati Solok berprestasi, terutama dalam bidang pembenahan  birokrasi.
Penulis masih ingat dalam sebuah kunjungan singkat ke  Kabupaten Solok, salah satu hal yang menjadi program unggulan Gamawan  adalah pemangkasan honorarium pejabat publik di luar pendapatan gaji  resmi. Untuk menyeimbangkan kebijakan, Gamawan lantas menaikkan gaji  pegawai negeri di sana di atas rata-rata. Para pegawai juga diminta  menandatangani pakta integritas yang isinya kurang lebih bersedia  dipecat jika masih melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Mungkin  seperti kata orang, lain ladang lain belalang, lain tempat lain pula  sikap. Bahkan, seorang teman sampai berseloroh, barangkali pada saat  menjadi Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi juga menerima honor dari  BPD Sumbar. Makanya, pernyataannya di media belakangan memberikan lampu  hijau atas kebijakan pemberian honor bagi kepala daerah. Ingin rasanya  seloroh nakal ini bisa langsung disampaikan ke yang bersangkutan.
Tak  bisa kita bayangkan, jika pemberian honorarium bagi kepala daerah  menggunakan dalih sebagai penanggung jawab pengelolaan keuangan daerah,  berapa BUMD di satu kabupaten/kota/provinsi yang bisa memberikan honor  serupa kepada kepala daerah bersangkutan sebagai komisaris. Meskipun  diatur bahwa besaran honorarium hanya sekitar Rp 2 juta, tetapi jika  semua BUMD juga menyediakan alokasi honorarium yang nilainya sama, tak  terbayangkan berapa jumlah yang bisa diterima oleh kepala daerah setiap  bulannya di luar gaji resmi. Padahal di luar itu, kepala daerah masih  ditunjang oleh dana operasional dari APBD untuk menjalankan tugasnya  dengan nilai yang tak kalah besar.
Konflik Kepentingan
Logika  dasar dari seorang pejabat publik yang ditunjuk atau dipilih oleh  rakyat secara langsung adalah mengelola sumber daya untuk diberdayakan  secara maksimal bagi kepentingan publik. Oleh karena itu, pejabat publik  atau pegawai negeri mendapatkan gaji atau pendapatan setiap bulan yang  bersumber dari anggaran negara/daerah. Jika gaji resmi sudah  dialokasikan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai pejabat  publik atau pegawai negeri, tentu akan menjadi ganjil jika pejabat  terkait masih bisa memperoleh sumber-sumber pendapatan dalam bentuk  honorarium atau 'fee'.
Harus diingat bahwa dalam mengelola sumber  daya publik, melekat di dalamnya kekuasaan yang sewaktu-watu bisa  disalahgunakan. Oleh karena itu, sebuah aturan yang secara resmi telah  disahkan untuk memberikan legitimasi atas pemberian sesuatu bagi pejabat  publik bukan berarti lantas dianggap legal.
Ingat contoh kasus  upah pungut yang sekarang masih diselidiki oleh Komisi Pemberantasan  Korupsi (KPK). Bagaimana seorang menteri dalam negeri mengeluarkan  keputusan untuk menarik upah dari kegiatan pemungutan pajak yang  sebagian dari upah pungut itu juga dialokasikan untuk dirinya sendiri  selaku menteri.
Kita mesti ingat dengan kecenderungan korupsi  yang dilegalkan. Artinya, seorang pejabat publik dengan kekuasaan yang  dimilikinya bisa menciptakan sedemikian rupa aturan yang menguntungkan  dirinya sendiri atau keluarganya sehingga seolah-olah semua yang  dinikmatinya adalah sah menurut hukum. Ini tentu saja pandangan yang  menyesatkan mengingat situasi itu mengarah pada konflik kepentingan.
Secara  umum, konflik kepentingan terbagi ke dalam dua level, yakni konflik  kepentingan yang potensial dan konflik kepentingan yang aktual.  Pengertiannya, konflik kepentingan yang potensial terjadi ketika seorang  pejabat publik mengambil sebuah tindakan/kebijakan yang dapat  memberikan pengaruh finansial kepada dirinya, keluarga, ataupun kegiatan  usaha yang berhubungan dengan dirinya. Sementara, konflik kepentingan  yang aktual terjadi ketika seorang pejabat publik mengambil sebuah  kebijakan/keputusan yang akan memberikan pengaruh finansial bagi  dirinya, keluarga, ataupun kegiatan usaha yang terkait atau terafilisasi  dengan dirinya.
Dengan demikian, pengambilan keputusan atau  kebijakan oleh pejabat publik harus sedemikian rupa tidak boleh  mengandung dimensi keuntungan bagi dirinya sendiri ataupun lingkarannya.  Inilah hal tersulit dalam konteks memberantas korupsi mengingat wilayah  ini justru sering kali dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan material  tanpa harus distempel sebagai seorang koruptor.
Aturan  Tegas
Argumentasi mendagri bahwa larangan penerimaan  honorarium bagi kepala daerah atau pejabat publik pada umumnya justru  kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi perlu dicermati lebih jauh.  Jika logikanya penghapusan honorarium akan meningkatkan penerimaan di  bawah meja atau ilegal, sebenarnya tanpa harus dihapus pun, di luar  honorarium, pejabat publik kita kerap menerima sesuatu yang ilegal. Oleh  karena itu, mereka lebih suka menyembunyikan aktual kekayaan yang  dimiliki ketimbang melaporkannya dalam LHKPN mengingat akan sulit  menjelaskan dari mana asal muasal kekayaan itu diperoleh.
Logika  pengaturan bagi pejabat publik tidak bisa disamakan dengan logika  pengaturan bagi pegawai negeri yang berkategori kecil. Bagi pejabat  publik, nilai seberapa pun gaji tak secara otomatis memutus mata rantai  korupsinya.
Hal ini mengingat pejabat publik, apalagi yang  mendapatkan kekuasaannya karena melalui proses pemilihan seperti kepala  daerah, membutuhkan sumber daya terus-menerus untuk mempertahankan dan  memperluas kekuasaannya. Berbeda halnya dengan pegawai negeri rendahan  yang mencari sumber-sumber penerimaan alternatif karena minimnya gaji  resmi yang mereka terima.
Oleh karena itu, menyelesaikan  persoalan honorarium harus dimulai dengan perumusan aturan tegas  mengenai hal ini. Jika kita coba bandingkan dengan aturan mengenai  konflik kepentingan secara umum, honorarium bagi pejabat publik, apalagi  yang dipilih melalui pemilu adalah larangan. Bahkan, di hampir sebagian  negara bagian di Amerika Serikat, misalnya, menerima honorarium dari  penulisan artikel atau sebagai narasumber pun dilarang. Aturan semacam  ini diarahkan untuk mendorong pejabat publik yang memiliki nilai-nilai  integritas dan akuntabilitas, serta menghindari terjadinya konflik  kepentingan, baik yang laten mapun aktual.
Langkah KPK untuk  membenahi republik ini perlu didukung, bukan justru ditentang. Membuat  mekanisme yang lebih baik bagi sistem remunerasi bagi pegawai negeri  merupakan langkah yang lebih elegan dibandingkan memperbolehkan para  pejabat publik kita tetap menerima sesuatu, baik dalam bentuk honor  maupun 'fee'.
Opini Republika 10 Februari 2010
14 Februari 2010
Mentradisikan Upeti Pejabat
Thank You!