Tiba-tiba kata ”setan”, ”kurang ajar”, ”bangsat”, ”daeng” menjadi perbincangan di media publik. Kata-kata tersebut secara leksikon sebenarnya biasa kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Namun kali ini menjadi lain, karena diucapkan oleh para ”selebritis” pansus DPR yang disiarkan langsung melalui media televisi. Adalah Austin (1911-1960), tokoh aliran filsafat bahasa biasa yang banyak menulis tentang penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang biasa disebut pragmatik. Analisisnya tentang tuturan performatif, tuturan konstatif, dan tindak tutur (speech acts) banyak dirujuk ilmuwan dan peneliti pragmatik untuk mengurai tuturan yang bertebaran di sepanjang jagat wacana ini. Teori ini tentu saja sangat relevan untuk membicarakan diksi-diksi yang diucapkan para ”selebritis” pansus di atas.
Dalam pendekatan ilmu bahasa pragmatik, sebuah tuturan tidak hanya dilihat dari wujud tuturan (teks), tetapi juga harus dilihat dari ko-teks dan konteks. Oleh karena itu, para politisi yang menganalisis ucapan sesama anggota DPR dari aspek kesantunan versus ketidaksantuan menjadi kurang bermakna kalau hanya melihat tuturan (ucapan). Sebab, ada aspek lain yang harus dicermati. Seorang yang sedang marah, selain ucapan yang dikeluarkan berupa kata-kata yang menunjukkan marah, juga akan ditunjukkan oleh mata, muka, tangan, nada bicara, dan lain-lain. Ketika sebuah media mengategorikan tuturan menjadi santun versus kasar (bukan marah), ukurannya tidak hanya dilihat dari bentuk tuturan (ucapan). Dan tentu saja antara teks dan konteks atau antara segmental bahasa dan nonsegmental, hadir satu paket secara bersama-sama.
Dalam skandal Century, paling tidak ada dua kategori pemakaian bahasa yang dapat kita jadikan kajian. Pertama, tentang tindak tutur kesantunan (politeness) yang dalam beberapa hal menyimpang (tidak santun, unpoliteness). Kata-kata ”setan”, ”kurang ajar”, dan ”bangsat” adalah kata-kata yang secara leksikon bermakna tidak santun dan secara sosiopragmatik tidak patut diucapkan para anggota pansus, apalagi jika dalam pertemuan resmi dan terhormat seperti sidang pansus. Ketidaksantunan ini bukan saja menyiratkan pencitraan yang ”berselera rendah”, tetapi juga dapat menghilangkan hakikat atau fokus permasalahan yang dibahas. Oleh karena itu, pengucapan kata-kata tersebut tidak mungkin terjadi pada situasi normal, pasti pada kondisi emosional (marah).
Kedua, yang menarik dicermati adalah tuturan performansi, yakni ucapan (kesaksiaan) yang bukan semata-mata memberikan informasi, tetapi juga menunjukkan prilaku yang sesuai dengan perbuatan tersebut. Pertanyaannya adalah, apakah kesaksian dari para saksi tersebut menunjukkan performansi antara yang disampaikan dan yang dilakukan. Menurut Austin (1961), tuturan performansi mensyaratkan kompetensi penuturnya, kejujuran dari penuturnya, dan kesesuaian perilaku penuturnya. Apabila penutur tersebut tidak memiliki kompetensi sesuai dengan perkara, tidak jujur dalam menyampaikan perkara, dan tidak sesuai antara prilaku dan yang dikatakan, maka batal semua pernyataan tersebut. Dalam konteks ini, kita sedang menunggu siapa yang tuturan performansinya batal alias tidak dapat dipercaya.
Ilokusi
Tindak tutur kesaksian dapat berbentuk lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Kesaksian tidak hanya menyampaikan informasi atau peristiwa (lokusi), tetapi juga merekonstruksi peristiwa dalam sebuah tuturan yang benar. Umumnya rekonstruksi ini yang dapat menentukan apakah kesaksian memiliki tingkat validitas yang tinggi. Tuturan kesaksian hendaknya benar-benar mencerminkan apa yang dilakukan penuturnya (ilokusi). Untuk dapat melihat apakah kesaksian menjadi sebuah ilokusi, harus dibandingkan antara apa yang diucapkan dengan perilaku yang dikerjakan. Semakin jauh dikotomi tuturan dan perbuatan, secara pragmatik semakin besar kemungkinan terjadi pelanggaran prinsip tindak tutur (kualitas, kuantitas, relasi, cara).
Tuturan atau ungkapan seseorang pada dasarnya cermin siapa dirinya. Namun dalam konteks politik seperti pansus, rumus bahasa tersebut tidak selamanya benar, karena bahasa menjadi sebuah permainan. Tokoh filsafat bahasa biasa, Wittgenstein, menyatakan bahwa bahasa sesungguhnya adalah alat permainan kepentingan (language games). Melalui penggunaan bahasa akan ditemukan beragam kepentingan yang tersurat dan tersirat serta bagaimana individu atau kelompok memanfaatkan bahasa untuk ”menunjukkan” atau ”menyembunyikan” kepentingan. Kepentingan-kepentingan tersebut ada yang sifatnya hegemonik atau dominatik.
Permainan bahasa mungkin muncul secara umum dalam bahasa rezim, karena setiap periode kekuasaan selalu melahirkan bahasa rezim. Era Orde Baru, Orde Lama, dan Orde Reformasi ini, masing-masing melahirkan bahasa rezim dengan segala kategorisasinya. Paling tidak, dalam lima tahun terakhir ini kita melihat ”politik bahasa pencitraan” mendominasi wacana publik. Walaupun akhirnya publik pun paham bahwa ”bahasa pencitraan” tidak identik dengan keberhasilan seorang pemimpin. Bahkan, akhir-akhir ini ”bahasa pencitraan” tersebut berubah menjadi tindak tutur ekspresif, menyatakan sikap dan emosi yang dialami pribadinya selama ini.
Kalau demikian, dari sudut bahasa, tentu saja tidak ada bedanya antara rezim revolusioner, rezim ”pembangunanisme”, dan rezim pencitraan. Semuanya melahirkan dominasi wacana dan propaganda simpatik agar masyarakat tumpul dalam mengkritisi kebijakan pemimpinnya. Sekalipun tampak lebih santun dan lebih rasional menggunakan data kuantitatif kualitatif, transparan, dan bercitra demokratis, tetapi tetap saja rakyat menjadi kelompok yang termarginalkan. Sebab, semua bentuk propaganda tersebut hakikatnya bukan untuk kepentingan rakyat kecil. Kemiskinan dan pengangguran tetap menjadi hantu, pendidikan semakin tak terjangkau, hukum identik dengan uang, atau akses rakyat terhadap hak-haknya masih jauh panggang dari api. Bahkan rakyat harus memikul beban berat akibat keegoisan para pemimpinnya dalam menakhodai negeri ini.***
Penulis, peneliti bahasa politik dan media, dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
OPini Pikiran Rakyat 15 Februari 2010