07 Januari 2011

» Home » AnalisaDaily » Opini » Menyehatkan Pengelolaan Anggaran Negara

Menyehatkan Pengelolaan Anggaran Negara

Oleh : Drs. Kasman S
Pengelolaan anggaran negara adalah suatu aktivitas ekonomi politik yang sebenarnya sangat sederhana, tapi menjadi (dibuat) rumit karena beberapa keputusan yang diambil sarat muatan politik.
Indonesia menamakan "anggaran negara" dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tingkat pusat dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk tingkat daerah. APBN dikuatkan dengan undang-undang, suatu aransemen kelembagaan sangat tinggi di Indonesia di bawah konstitusi negara; sedangkan APBD dikuatkan dengan peraturan daerah (Perda), juga aransemen kelembagaan tinggi di daerah.
Sebelum memiliki kekuatan hukum tetap, suatu anggaran negara didahului oleh suatu "rencana" sehingga lazim digunakan istilah RAPBN dan RAPBD, yang umumnya diantarkan oleh seorang kepala eksekutif pemerintahan di depan sidang para wakil rakyat di lembaga legislatif.
Pada tingkat pusat, anggaran negara adalah suatu rencana penerimaan Negara dari dalam negeri yang bersumber dari penerimaan perpajakan dan penerimaan Negara bukan pajak (PNPB) serta hibah dari lembaga luar negeri; yang disandingkan dengan belanja negara yang terdiri dari belanja pemerintah pusat, pengeluaran pembangunan dan dana perimbangan. Perbedaan antara penerimaan negara dan belanja negara umumnya dinyatakan dalam surplus atau defisit.
Apabila terjadi defisit, negara perlu mencari sumber-sumber pembiayaan defisit tersebut seperti dari pembiayaan dalam negeri dan pembiayaan luar negeri. Pada tingkat daerah, anggaran daerah adalah suatu rencana penerimaan daerah dari pendapatan asli daerah (PAD): pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan daerah, lain-lain PAD yang sah, disandingkan dengan rencana belanja rutin dan pembangunan daerah. Metode persandingan antara penerimaan negara dan belanja negara umumnya ditentukan mengikuti suatu konvensi sistem akuntansi keuangan negara yang telah disepakati, dengan berbagai konsekuensi ekonomi dan politik yang dikandungnya.
Secara umum, anggaran Negara memiliki tiga fungsi strategis sebagai berikut: fungsi referensi, fungsi stimulus, dan fungsi keadilan. Fungsi referensi maksudnya adalah bahwa anggaran negara berfungsi sebagai panduan pengambilan keputusan bagi individu rumah tangga dan dunia usaha dalam mengambil keputusan strategis dalam aktivitas konsumsi dan produksi barang dan jasa yang bermanfaat bagi perekonomian. Fungsi stimulus maksudnya adalah bahwa anggaran negara seharusnya mampu menggerakkan tingkat permintaan agregat untuk merangsang investasi dan produksi barang dan jasa.
Sedangkan fungsi keadilan maksudnya adalah bahwa anggaran negara berfungsi sebagai pemenuhan hak-hak dasar karena negara berkewajiban meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Akan tetapi selama tujuh tahun terakhir perjalananan era reformasi, anggaran negara di Indonesia sangat sulit memenuhi ketiga fungsi di atas, apalagi secara sekaligus. Faktor yang utama dari buruknya kinerja anggaran negara menjalankan ketiga fungsi di atas adalah karena kinerja pengelolaan anggaran memang sangat jauh dari memadai, dari perencanaan, perumusan, pembahasan, legislasi, pelaksanaan, monitoring dan pengawasan.
Tidak kalah pentingnya, faktor eksternal yang sangat berpengaruh pada kinerja pengelolaan anggaran negara adalah karakter analisis ekonomi anggaran negara yang cenderung monoton, kurang variatif, bahkan menggunakan falsafah dasar yang cenderung statis, jika tidak dikatakan regresif. Teori-teori ekonomi yang berkembang demikian pesat belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan secara baik oleh para analis, sehingga sering membatasi kualitas hasil analisis terhadap anggaran negara.
Strategi advokasi untuk memperbaiki kinerja pengelolaan anggaran pun seringkali mengambang dan tidak pernah tuntas, sehingga jarang sekali terjadi solusi pengambilan keputusan yang mengarah pada perbaikan dan kesejehteraan rakyat umumnya. Bahkan, rasa saling curiga dan negative thinking seakan begitu besar menyelimuti para stakeholders anggaran negara, mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif, dunia usaha dan masyarakat madani sendiri.
Salah satu contoh nyata adalah terkait dengan fungsi stimulus bagi perekonomian yang nyaris tidak terpenuhi sama sekali, karena karakter anggaran negara yang cenderung terjebak dalam pusaran pemikiran konsolidasi atau keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) yang agak semu. Strategi keberlanjutan fiskal tersebut ternyata lebih mementingkan keamanan anggaran dalam jangka panjang, yang sebenarnya dapat diterjemahkan sebagai terlalu mementingkan pembayaran kembali utang-utang luar negeri dan domestik, yang tentu saja sangat jauh dari fungsi stimulus yang amat diperlukan bagi pemulihan ekonomi.
Pengalaman empiris Indonesia melaksanakan strategi konsolidasi fiskal selama empat tahun terakhir, ternyata tidak mampu menjadikan anggaran negara sebagai stimulus perekonomian, karena kinerja pertumbuhan ekonomi hanya berada di bawah 5 persen per tahun. Perekonomian Indonesia lebih memerlukan perubahan rezim kebijakan yang spektakuler, agar anggaran Negara dapat berfungsi sebagai stimulus positif bagi pembangunan kembali ekonomi Indonesia yang porak-poranda.
Fungsi Keadilan
Hal yang sama juga terjadi pada fungsi keadilan yang diemban anggaran negara yang secara teori di atas kertas lebih mudah dilaksanakan juga tidak dapat dilaksanakan secara baik. Telah berkali-kali selama perjalanan reformasi ini, upaya pemihakan terhadap rakyat kecil, pemenuhan hak-hak dasar rakyat seperti pangan, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan dasar masih sangat jauh dari memadai.
Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa fenomena gizi buruk yang meledak pada awal tahun 2005, ketidaktahanan pangan kelompok miskin dan kaum marjinal, serta semakin anjloknya mutu pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi di Indonesaia adalah bukti konkrit bahwa anggaran negara masih sangat jauh dari pemenuhan rasa keadilan. Terdapat banyak sekali analisis dan spekulasi terhadap gejala terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar masyarakat tersebut, mulai dari dominasi lembaga kreditor internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) yang terlalu memaksakan program penyesuaian struktural (structural adjustment) tanpa pembenahan kualitas kelembagaan ekonomi makro dan bisnis di tingkat mikro, sampai pengacuhan dari segenap stakeholders pengelola anggaran negara.
Walaupun sampai saat ini, belum ada studi rinci tentang faktor-faktor mana saja yang paling dominan, langkah penanganan krisis ekonomi yang terlalu berlebihan fokus pada aspek ekonomi makro dan penyehatan perbankan yang juga tidak kunjung sehat menjadi salah satu faktor sangat penting dari buruknya kinerja fungsi keadilan pada anggaran negara. Hal inilah yang harus disadari pemerintah dalam rangka menyehatkan system pengelolaan anggaran Negara kita.***
Penulis, bekerja di salah satu perusahaan swasta nasional, tinggal di Medan.
Opini Analisa Daily 7 Januari 2011