Ali Murtadho
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung
Sepanjang tahun lalu, kita menyaksikan betapa semua pihak berlomba-lomba menyatakan tekad "mendinginkan bumi". Dari pejabat tinggi hingga rakyat biasa menyuarakan keprihatinan mendalam akan bumi yang makin panas. Topik pemanasan bumi yang beberapa tahun lalu hanya dibahas secara mendalam di ruang-ruang seminar dan jurnal-jurnal ilmiah kini menjadi berita utama bersanding dengan peristiwa politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Bencana pemanasan global terjadi, menurut Sir Nicholas Stern, diakibatkan gaya hidup manusia yang tidak berubah dalam bersikap terhadap alam dan lingkungannya. Meminjam istilah yang diungkapkan Sonny Keraf, bencana tersebut berawal dari matinya kesadaran manusia dalam beretika dengan lingkungan; di samping adanya kontribusi pandangan kosmologis filsafat antroposentrisme yang pada kenyataannya telah menumbuhkan sikap eksploitatif terhadap alam karena memandang manusia merupakan pusat subjek dari alam itu sendiri. Ini dapat ditengok dengan semakin menggejalanya praktek pembalakan liar terhadap hutan di Republik ini.
Faktor penyebab dari praktek pembalakan liar tersebut disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya menjaga fungsi hutan sebagai jantung dunia. Kondisi ini diperparah lagi dengan lemahnya hukum di Republik ini dalam menindak para pelaku pembalakan tersebut. Padahal, Indonesia merupakan salah satu negara yang dijadikan sebagai jantung bumi dengan potensi hutan tropisnya untuk menjaga keseimbangan iklim.
Untuk menghidupkan kembali kesadaran manusia Indonesia agar mencintai lingkungannya, menurut penulis, dapat dilakukan melalui jalur lembaga sekolah dengan memasukkan pelajaran pendidikan ramah lingkungan pada setiap satuan pendidikannya. Mengapa untuk menghidupkan kesadaran ramah lingkungan ini melalui sekolah? Sebab, sekolah merupakan lembaga yang unik, karena di dalamnya terjadi proses pembudayaan kehidupan umat manusia melalui proses belajar-mengajar. Alasan lain, di lembaga sekolah ini banyak tunas-tunas bangsa yang masih menuntut ilmu. Diharapkan, dari sekolah ini dapat dihasilkan output pendidikan yang tidak mengeksploitasi alam dan lingkungan.
Pendidikan ramah lingkungan yang diajarkan di sekolah tersebut, dalam pandangan penulis, harus menumbuhkan pemahaman tentang pentingnya keberlanjutan keseimbangan ekosistem. Yaitu pemahaman bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem. Apa pun yang dilakukan manusia terhadap ekosistem pasti akan ada akibatnya. Pada akhirnya muncul kesadaran bahwa bumi merupakan satu sistem yang “tertutup”. Ketika sumber daya alam habis, maka sumber daya alam itu tidak akan bisa diperoleh dari planet lain.
Paradigma pendidikan ramah lingkungan ini, secara tidak langsung, mengajak manusia Indonesia untuk berpikir tentang keberlanjutan planet bumi, dan bahkan keberlanjutan keseluruhan alam semesta. Paradigma ini pun menghendaki keberlanjutan kesehatan lingkungan dengan cara menjaga keberlanjutan fungsi-fungsi ekosistem, melestarikan komponen-komponen dalam ekosistem, dan menjaga keseimbangan interaksi antarkomponen dalam ekosistem.
Karena kalau tidak, dalam perspektif pendidikan ramah lingkungan, ini bisa menjadi masalah. Pun bisa juga menjadi solusi. Pendidikan menjadi masalah jika pendidikan tidak mengadopsi paradigma keberlanjutan sehingga menghasilkan manusia yang tidak peduli akan keberlanjutan keberadaan dirinya, komunitas masyarakatnya, sistem sosialnya, sistem ekonominya, kebudayaannya, dan lingkungan alamnya. Namun, pendidikan bisa juga menjadi solusi jika pendidikan yang dilakukan dapat membangun kesadaran kritis tentang pentingnya kesadaran ramah lingkungan tersebut.
Argumen ini dialaskan karena selama ini ada paradoks. Semakin orang terdidik, semakin menjadi masalah, karena tingkat konsumsinya cenderung meningkat, dan melakukan cara-cara yang boros dalam mengelola lingkungan serta merusaknya.
Oleh sebab itu, pendidikan ramah lingkungan yang ditawarkan ini pun harus memberikan pemahaman tentang nilai-nilai tanggung jawab sosial. Karena lingkungan di sini dimaknai bukan hanya lingkungan biotik (lingkungan hayati) saja, melainkan juga di dalamnya lingkungan sosial. Karena sebagaimana kita ketahui, bumi adalah habitat semua manusia, karena itu nilai keadilan, tanggung-jawab sosial, dan demokrasi harus juga dikembangkan. Dengan nilai-nilai itu, akan muncul pemahaman kritis tentang lingkungan, dan semua bentuk intervensi terhadap lingkungan, termasuk pembangunan yang tentunya ramah lingkungan.
Selanjutnya, apa sebenarnya arah yang ingin dicapai dari pendidikan ramah lingkungan tersebut; pertama, mendorong dan memberikan kesempatan kepada peserta didik memperoleh kesadaran (awareness) supaya peserta didik sadar serta peka terhadap totalitas lingkungan dan permasalahannya.
Kedua, mendorong dan memberikan kesempatan kepada peserta didik memperoleh pengetahuan (knowledge) dasar mengenai totalitas lingkungan, permasalahan serta peranan dan tanggung jawab manusia terhadap lingkungan tersebut. Ketiga, memberikan kepada peserta didik memperoleh aspek-aspek sikap (attitudes) supaya memiliki nilai-nilai sosial, kepekaan dan kepedulian lingkungan, serta termotivasi berpartisipasi aktif dalam perlindungan dan peningkatan lingkungan itu sendiri.
Akhirnya, sudah saatnyalah kita mendesak para pejabat di Republik ini, untuk menunjukkan kesungguhannya menampilkan gaya hidup yang ramah lingkungan. Serta dapat mewacanakan pendidikan ramah lingkungan tersebut di sekolah, dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena kalau tidak, menurut laporan Human Development Program UNDP 2007/2008, korban utama pemanasan global adalah orang-orang miskin di negara-negara berkembang. Di mana diperkirakan 332 juta orang akan tergulung banjir dan badai akibat penyimpangan cuaca. Sementara 1,8 miliar orang akan kesulitan mendapatkan air bersih akibat kondisi lingkungan yang makin buruk. Semoga dengan adanya pendidikan ramah lingkungan yang dimasukkan di setiap sekolah di seluruh republik ini, senyum bumi kembali berseri
Opini Lampung Post 7 Januari 2010
07 Januari 2011
Pedagogi Ramah Lingkungan
Thank You!