Oleh : Hardy MAS
Memasuki tahun baru 2011 ini tentu berbagai harapan layak untuk dibangun. Tidak hanya dalam bidang kehidupan politik yang terkesan kurang berkontribusi langsung dalam memenuhi harapan rakyat, namun khususnya di bidang ekonomi haruslah mampu memberikan harapan perubahan.
Persoalan moneter dan pengelolaan anggaran adalah merupakan dua persoalan dalam bidang ekonomi yang belum mampu berjalan dengan baik. Untuk upaya sinkronisasi fiskal dan moneter sampai saat ini masih sulit dilakukan.
Padahal kalau kedua bidang itu tidak sinkron, akan terjadi kekacauan dalam sistem perekonomian itu. Kekacauan itu biasanya menimbulkan ketimpangan antarsektor. Oleh karena sinkronisasi kedua bidang itu sebuah keniscayaan, dia mestinya tak perlu lagi didorong-dorong, diimbau, atau diperintahkan. Apalagi, sewaktu belajar ilmu ekonomi, setiap siswa sudah mendalami hal ini, dan juga memahami urgensi maupun hakikat sinkronisasi itu. Demi sistem ekonomi yang kuat dan produktif, bidang fiskal dan moneter harus saling menunjang dan melengkapi.
Kalau salah satu bidang mencari jalannya sendiri, perekonomian biasanya menjadi abnormal. Selama beberapa tahun terakhir ini, kita merasakan bidang fiskal dan moneter tidak sinkron. Cenderung mencari jalannya sendiri, bidang moneter seperti tidak peduli pada beban bidang fiskal. Contoh kasus yang paling sering disorot publik adalah persoalan suku bunga bank untuk kredit investasi dan kredit modal kerja. Berbagai kalangan tak henti-henti mengimbau dan mendesak Bank Indonesia (BI) agar menerbitkan kebijakan yang mampu menstimulasi penurunan suku bunga bank.
Namun, untuk dan atas nama stabilitas sektor keuangan (moneter), BI tidak pernah menggunakan wewenangnya untuk memaksa perbankan dalam negeri menurunkan suku bunga. BI malah lebih fokus menjaga industri perbankan yang sehat, dan cenderung tak peduli pada kenyataan bahwa suku bunga yang tinggi menyebabkan plafon kredit yang tersedia tak bisa diserap dunia usaha. Akibatnya fatal, karena sektor riil dalam negeri menjadi tidak produktif dan tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru.
Sementara itu, para pejabat moneter terus saja mengklaim bahwa sektor keuangan Indonesia dalam keadaan bagus dan stabil. Perbankan membukukan laba besar setiap tahunnya. Namun, semua yang baik dari sektor keuangan itu tidak bertransmisi atau tidak bernilai tambah bagi sistem perekonomian negara secara keseluruhan. Para pejabat moneter tampak begitu egosektoral dan tak mampu menelurkan kebijakan-kebijakan komprehensif yang mampu menstimulasi pergerakan semua sektor dan subsektor ekonomi negara. Karena itu, dorongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar para pejabat fiskal dan moneter mewujudkan sinkronisasi kebijakan menjadi sangat relevan.
Lebih dari itu, sangat jelas urgensinya. Bukankah kita selama ini hanya mengandalkan konsumsi masyarakat sebagai motor pertumbuhan? Para pejabat fiskal dan moneter mestinya malu kalau Presiden sampai harus mengimbau hal ini, sebab mereka adalah para ekonom. Sebagai ekonom, mereka tak perlu lagi diperintah untuk sekadar mewujudkan sinkronisasi fiskal-moneter. Akan tetapi, kalau Presiden sampai mengingatkan lagi urgensi sinkronisasi itu, mereka mungkin bukan lagi ekonom, melainkan birokrat biasa-biasa saja yang memang berperilaku egosektoral. Pekerja biasa yang egosektoral memang tak pernah mau peduli akan masalah ekonomi negara. Kalau Presiden sungguh-sungguh ingin mewujudkan sinkronisasi bidang fiskal-moneter, langkah pertama yang ideal dilakukan Presiden adalah menempatkan para negarawan di kedua bidang itu.
Kalau Presiden hanya menugasi pejabat kelas pekerja biasa, yakinlah bahwa sinkronisasi itu tak pernah terwujud. Setelah itu, Presiden harus memerangi perilaku egosektoral di kedua bidang itu. Belakangan ini, besarnya capital inflow selalu dibangga-banggakan para pejabat moneter kita karena hal itu mencerminkan tingginya kepercayaan internasional. Berapa besar manfaat dana-dana asing berjangka pendek itu bagi pembangunan ekonomi kita?
Pengelolaan Anggaran
Sementara dalam hal pengelolaan anggaran Negara, sampai saat ini masih dibayangi oleh penyakit kronis yang sulit untuk diobati. Berbagai penyakit itu diantaranya, pertama, tingkat penyerapan yang tidak pernah maksimal. Kedua, penyerapan besar-besaran di akhir tahun bak sinetron kejar tayang. Berbagai langkah, katanya, sudah dilakukan. Tetapi, tabiat buruk yang bersifat menahun itu tidak kunjung bisa dibereskan. Itu pula yang bakal terjadi pada APBN Perubahan 2010. Tingkat penyerapannya diperkirakan hanya 91%, atau lebih rendah 1% jika dibandingkan dengan penyerapan tahun lalu yang mencapai 92%.
Menurut catatan, hingga akhir November 2010, belanja kementerian baru terserap 68%. Itu lebih rendah daripada penyerapan belanja kementerian pada 2009 yang mencapai 75%. Dari 109 kementerian dan lembaga yang memperoleh kucuran dana APBN-P 2010, hanya 21 kementerian dan lembaga yang penyerapan anggarannya di atas 68%. Malah, 18 kementerian dan lembaga hanya menyerap anggaran kurang dari 50%. Kondisi paling buruk justru terjadi pada penyerapan belanja modal. Realisasi belanja modal pemerintah hingga 15 Oktober 2010 hanya 38% atau Rp36 triliun, lebih rendah daripada belanja modal periode yang sama pada 2009 sebesar Rp37,4 triliun.
Padahal, pos belanja modal dalam APBN paling penting mengingat efek pengali (multiplier effect) kepada perekonomian nasional sangat tinggi. Dengan penyerapan yang lambat, dampak belanja modal kepada perekonomian pun berkurang. Misalnya pembangunan jalan. Bila dari akhir kuartal satu sudah berjalan, petani bisa menikmatinya ketika memasuki puncak panen. Arus distribusi hasil panen menjadi lancar dengan ongkos yang tidak kelewat mahal sehingga inflasi akibat kenaikan bahan pangan bisa ditekan.
Tabiat lelet menyerap anggaran dari kementerian dan lembaga di tingkat pusat ini pun ditiru pejabat dan sejumlah institusi di daerah. Banyak daerah lebih suka memarkir anggaran di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan baru mengeluarkannya satu bulan menjelang akhir tahun. Konsekuensi penyerapan anggaran yang rendah ialah teronggoknya dana tidak produktif dalam bentuk saldo anggaran lebih, yang pada awal 2011 diprediksi mencapai Rp100 triliun. Sebuah angka dahsyat yang lebih tinggi daripada anggaran subsidi bahan bakar minyak yang selama ini disebut-sebut membebani APBN. Padahal, kalau dana Rp100 triliun itu diwujudkan dalam berbagai proyek, gerak perekonomian pasti kian cepat.
Mengingat hebatnya dampak buruk penyerapan anggaran dan penumpukan pencairan anggaran di akhir tahun bagi perekonomian kita, efek jera harus ditegakkan. Jangan beri ampun lagi kementerian, lembaga, dan daerah yang tidak kunjung cerdas dan cekatan mengelola anggaran. Selain harus memotong anggaran mereka tahun berikutnya, para pihak yang tidak becus merencanakan anggaran harus mengembalikan uang sisa anggaran yang tidak terserap itu. Pengelolaan anggaran Negara haruslah benar-benar dimaksimalkan agar roda pertumbuhan ekonomi dapat berjalan sesuai harapan. Demikian juga dengan stabilitas moneter kiranya tetap dijaga agar dapat bergerak seiring dengan harapan perubahan yang lebih baik.***
Penulis adalah pengamat masalah ekonomi dan politik anggaran, tinggal di Kota Medan.
Opini Analisa Daily 7 Januari 2011