07 Januari 2011

» Home » Lampung Post » Opini » Ramah dan Lemah Sesama Elite

Ramah dan Lemah Sesama Elite

ADA salah satu prinsip demokrasi yang hilang di tengah euforia demokrasi ini, yaitu prinsip check and balances. Mekanisme kritik yang mestinya dilakukan oleh rakyat dan lembaga legislatif terhadap eksekutif tidak berjalan.

Mereka yang tengah berkuasa sebagai eksekutif adalah juga mereka yang menguasai lembaga legislatif. Ini terjadi baik di tingkat pusat maupun daerah. Yang terjadi kemudian saling menyandera, saling gertak, namun hanya basa-basi karena masing-masing memegang ”kartu as” kelemahan lawannya. Mereka berkawan dalam persaingan, mereka bersaing dalam perkoncoan. Para politisi sibuk bernegosiasi berbagi posisi dan proyek, namun manfaat yang menetes ke bawah sangat sedikit.

Layanan masyarakat sangat mengecewakan. Betapa murahnya tenaga buruh dan nyawa, baik karena kecelakaan kerja, bencana alam, kemiskinan, maupun korban kriminalitas, namun bantuan negara sangat minim. Lalu lintas semakin macet. Banjir terjadi di mana-mana. Para petani tak kunjung membaik nasibnya. Barang impor kian menguasai pasar. Kenaikan ekonomi tak mampu menciptakan kebutuhan lapangan kerja baru. Dari mana harapan dan perubahan akan datang?

Masih sulit menjawab karena para elite parpol yang kita harapkan bekerja untuk rakyat kelihatannya lebih sibuk bekerja untuk agenda partainya. Tak ada kesatuan visi, program besar, dan satu komando untuk melakukan perubahan dan perbaikan besar untuk mengakhiri status quo yang mahal biayanya ini. Orang bilang secara sinis, yang terjadi adalah sustainable transition. Sekarang bahkan sudah mulai testing the water dengan melemparkan nama-nama calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pemilu 2014.

Kalau tahun ke depan ini pemerintah tidak melakukan tindakan yang drastis dan tidak membuat prestasi kinerja yang langsung dirasakan rakyat, kekecewaan dan apatisme akan semakin menguat dan rakyat, ibarat rumput kering, akan mudah terbakar oleh percikan api provokasi. Ada indikasi bahwa antarsesama elite kelihatannya ramah dalam konotasi lemah atau saling menutupi kekurangan masing- masing. Sekian banyak skandal korupsi tidak terungkap sampai tuntas.

Mungkin hal itu akan termaafkan oleh rakyat jika ditutupi dan dikompensasi dengan layanan sosial yang memuaskan terutama pendidikan dan kesehatan yang bagus dan terjangkau. Lebih dari itu adalah tersedianya infrastruktur dan lapangan kerja sehingga masyarakat bisa mengembangkan usahanya tanpa mesti menggantungkan pada belas kasih pemerintah. Saya sendiri sesungguhnya tidak senang menulis dengan semangat mengkritik, terlebih lagi menghujat.

Saya sadar sekali, andaikan saya dalam posisi sebagai presiden atau menteri,tidak ada jaminan lebih baik dari mereka. Namun, panggilan moral-intelektual mendorong saya untuk mengkritik justru karena kecintaan saya pada bangsa, negara, dan rakyat. Dulu semasa Orde Baru masih ada tokoh-tokoh sipil yang tampil sebagai ikon kritikus meskipun dengan cara yang ekstrahati-hati di hadapan kekuasaan Pak Harto. Posisi Gus Dur, Cak Nur, Megawati, Amien Rais, dan beberapa yang lain dipandang sebagai ”suara sumbang” terhadap rezim Pak Harto.

Mereka kalau mengkritik mesti pandai-pandai memilih ungkapan agar tidak membuat Pak Harto marah dan Kopkamtib bertindak. Karena itu, ketika Amien Rais melontarkan gagasan ”suksesi”, waktu itu bagaikan petir di siang bolong. Aneh, hebat, dan berani sekali Amien Rais. Tetapi, sekarang ruang kritik semakin terbuka. Televisi dengan leluasa menampilkan tokoh-tokoh yang dengan jenaka atau sarkastik menyampaikan kritik pada pemerintah.

Pertanyaannya, mengapa kata-kata itu hampir kehilangan wibawa dan maknanya? Suara kritis dan galak sekarang ini bisa muncul dari LSM, kampus, DPR, rakyat biasa, dan entah siapa lagi, yang kesemuanya tak ada hambatan untuk disuarakan melalui media massa. Tapi, lagi-lagi, kritik itu hampir-hampir tidak membawa pengaruh pada sasaran yang dikritik. Apakah kritik mesti disampaikan melalui demo di jalanan agar memperoleh perhatian? Tetapi, demo pun sekarang tidak lagi memperoleh dukungan masyarakat, bahkan sering dianggap mengganggu ketertiban sosial.

Panggung kritik di televisi kadangkala lalu berubah seperti adegan sinetron. Pihak-pihak yang bertikai telah diatur sebelumnya.Dan pemirsa pun merasakan adegan demi menaikkan rating ini. Akibatnya? Kata dan sabda kehilangan makna dan wibawa. Sesama elite tetap saja saling main mata meski sekali-sekali diselingi gertak dan intimidasi. Seakan mereka berseberangan, oposisi, tetapi yang terjadi adalah kompromi dan negosiasi. Biaya panggung politik jadi amat mahal. Ujungnya rakyat yang membayar dan jadi korban. (*)

KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah 
Opini Lampung Post 7 Januari 2011