K. Muhamad Hakiki Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Kandidat Doktor UIN Bandung Masih teringat dalam benak saya, ketika kecil dahulu yang hidup di perkampungan, jauh dari keramaian kota dan modernisasi. Saat masa menuntut ilmu di pesantren tradisional, guru dan orang tua selalu mewanti-wanti agar mengutamakan mempelajari dan mendalami ilmu agama dibandingkan ilmu lainnya (baca: umum). Pada saat itu, saya—atau mungkin juga kita—tidak sadar kalau sebenarnya mereka telah melakukan atau “tertular” oleh namanya “dikotomi ilmu” (pengotak-kotakan ilmu) sebuah istilah yang asing dan baru. Pesan orang tua yang masih terngiang dalam benak saya ketika itu: "Nak, ilmu agama dapat membawa keselamatan dunia dan akhirat. Tuhan tidak menanyakan apakah kita ahli dalam ilmu matematika, ekonomi atau lainnya, Tuhan hanya akan menanyakan hal yang berkaitan dengan agama." Fenomena di atas sangatlah wajar terjadi. Karena, ketika kita membaca karya-karya yang dihasilkan oleh kalangan ilmuwan (baca: Islam), maka permasalahan dikotomi ilmu ke dalam dua bagian—agama dan nonagama—ternyata bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum itu, sekitar seribu tahun yang lalu, misalnya Imam Al Ghozali (w. 1111) dan Ibnu Khaldun (w. 1406), dalam karyanya telah melakukan hal serupa. Tradisi dikotomi ilmu dikalangan umat Islam pada masa itu tidak banyak mengandung problem dalam pendidikan Islam. Berbeda dengan sekarang, yang dimulai ketika Barat melakukan ekspansi dan imperialisme ke dunia Islam, permasalahan dikotomi ilmu kian menemui banyak problem. Di antara permasalahan yang muncul adalah adanya kesenjangan dalam sumber hukum. Mereka yang mendukung ilmu agama akan menganggap pesan Ilahiah dalam bentuk kitab suci-lah yang paling mempunyai otoritas menilai kebenaran. Hal tersebut berbeda bagi orang yang mendukung ilmu nonagama (baca: umum), mereka akan menganggap sebaliknya, justru penglihatan pancaindra-lah yang paling benar, karena menurut mereka, satu-satunya sumber ilmu adalah pengalaman empiris. Permasalahan lainnya berkaitan dengan status hukum sah atau tidak sah, ilmiah atau tidak ilmiah untuk dijadikan sebagai disiplin ilmu. Sains modern telah melakukan vonis bahwa objek ilmu bisa dikatakan sah dan ilmiah “jika ia dapat diobservasi dan diamati oleh indra”. Nah, dengan demikian, segala macam objek ilmu jika keluar dari ketentuan di atas, sekalipun ia rasional, maka ia tidaklah sah untuk dikatakan ilmiah. Pada sisi lain, kalangan ilmuan Islam-pun berbuat hal yang serupa, mereka secara fanatik pula menganggap bahwa panggalian ilmu-ilmu yang nonfisik adalah suatu keharusan karena pada sisi inilah realitas kebenaran yang sebenarnya akan didapatkan, seperti apa yang diungkapkan oleh Al Ghozali: "Mempelajari ilmu-ilmu agama adalah fardu ain hukumnya, dan mempelajari ilmu-ilmu umum fardu kifayah." Fatwa tersebut secara tidak disadari menyebabkan kemerosotan di kalangan dunia Islam pada penguasaan disiplin ilmu-ilmu nonagama. Dua persepsi di atas—yang satu bangga dengan penguasaan ilmu-ilmu fisik dan di lain pihak bangga dengan ilmu-ilmu nonfisik secara tidak disadari menjadi problem dalam menentukan klasifikasi ilmu. Di lain pihak, kalangan pembela agama juga melakukan sikap ekslusivisme terhadap metode indrawi di atas. Bahkan lebih dari itu mereka merancang seperangkat metode yang sebenarnya tidak dapat mengembangkan ilmu, justru sebaliknya akan “mengerdilkan” ilmu tersebut. Keran-keran berpikir kritis, inovatif, dan ilmiah mereka tutup dengan segudang klaim hukum bidah, haram, dan sebagainya. Kalangan pembela ilmu agama menganggap hanya dirinya yang mempunyai otoritas penuh dan tak dapat diganggu gugat. Itulah di antara sederet permasalahan dan problem meskipun sebenarnya banyak masalah dan problem lainnya. Sebab itu, upaya mengintegrasikan ilmu merupakan hal yang urgen saat ini, dan hal inilah yang sedang diupayakan oleh perguruan berbasis Islam, seperti UIN, IAIN, STAIN ke depan. Di antara pola integrasi ilmu yang perlu digalakkan saat ini adalah terkait dengan metodologi ilmiah, yakni metode observasi dengan alat indra, metode rasional dengan akal, dan metode intuitif dengan hati. Hal tersebut harus dilakukan, karena, masing-masing metode tersebut mempunyai kelemahan dan kelebihan. Sebab itu, kelemahan dan kelebihan itu hendaknya dijadikan sebab untuk saling melengkapi satu sama lainnya, bukan untuk saling menjatuhkan. Mari kita kembangkan integrasi ilmu, demi mewujudkan para ilmuan yang berkualitas tinggi sekaligus berbudi luhur. Opini Lampung Post 7 Januari 2010 |
07 Januari 2011
Integrasi Ilmu
Thank You!