07 Januari 2011

» Home » AnalisaDaily » Opini » Mengakselerasi Solusi Kasus Pajak

Mengakselerasi Solusi Kasus Pajak

Oleh : Joko Susanto
Penyelesaian kasus pajak yang belum tuntas memancing respon orang nomor satu di negeri ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kejaksaan Agung untuk segera mengusut tuntas kasus kejahatan pajak.
Gol akhirnya yaitu agar keuangan negara bisa diselamatkan. Pesan khusus itu disampaikan Presiden SBY saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kejaksaan di Istana Negara beberapa waktu lalu.
Secara kasat mata, pernyataan kepala negara menyiratkan makna bahwa eksistensi dan kontribusi pajak sebagai pilar keuangan negara tidak diragukan lagi. Sumbangan pajak pada instrumen pendapatan negara cukup dominan karena mencapai sekitar 75%. Karenanya, kondisi "atmosfer" pajak yang belum pulih benar akibat digoyang kasus oleh oknumnya pantas bila dikhawatirkan. Bahkan, seharusnya memang demikian agar ada kepastian hukum dan menopang masa depan reformasi perpajakan. Apalagi, pada 2011 ini tantangan Ditjen pajak untuk mewujudkan target penerimaannya tidak kalah hebat.
Sebenarnya, jauhari sebelumnya Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumberdaya Aparatur (KITSDA) Ditjen Pajak, Wahyu Karya Tumakaka meminta kasus Gayus segera diusut tuntas. Menurutnya, tak hanya masyarakat awam, jajaran Ditjen Pajak pun mengaku heran mengapa Gayus Tambunan bisa memiliki duit puluhan miliar. Karena rasa penasaran hebat itulah, mereka meminta kasus ini segera diusut tuntas. Pernyataan itu disampaikannya usai memaparkan makalah "Upaya Pemberantasan Korupsi melalui mekanisme Whistle Blower" dalam rangkaian Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi, di Jakarta.
Menkeu Agus Martowardojo pun ingin segera ada kejelasan kasus pajak. Menurutnya, bila melibatkan orang dalam pun harus ditindak. Akan tetapi, seharusnya, tidak boleh ada kendala (penyidikan) dalam kasus pajak. Kementerian Keuangan mendukung penuh penegakan hukum pajak agar tak hanya sistem yang berjalan dengan baik dan jelas, melainkan juga prinsip sebagai negara hukum.
Bola panas kasus itu memang telah berbulan-bulan berada di tangan penegak hukum. Bukan di Ditjen Pajak. Sidang telah berkali-kali dilakukan bahkan diikuti dengan gelar perkara meski menimbulkan kritikan. Namun, ending story-nya hingga kini seakan masih misteri. Bahkan beberapa pihak khawatir unsur politik turut mencampurinya. Kalau benar demikian rasanya amat memprihatinkan. Sesuatu yang harusnya tidak terjadi di negara hukum.
Diakui atau tidak, kasus heboh tersebut hampir-hampir menyebabkan demotivasi jajaran pajak. Betapa tidak, meski tidak turut terlibat pun, publik tanpa ampun langsung menuduhnya bahwa mereka semua yang berjumlah lebih dari 32.000 orang itu sama saja. Memang, wajar bila para wajib pajak geram dengan fenomena itu. Namun kita perlu menilai secara adil, bukan terus mengedepankan tendensi.
Kemarahan Publik
Kemarahan publik pun seakan makin menjadi-jadi. Terakhir, ketika pemerintah DKI Jakarta berencana memajaki Warteg yang melewati omset tertentu, Ditjen Pajak kembali menjadi sasaran pelampiasan emosi. Menurut penelusuran penulis, tidak sedikit komentar di berbagai situs internet yang ‘asal bunyi’ dan mengaitkannya secara langsung dengan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. Padahal, pajak atas warteg adalah salahsatu pajak daerah yang dikelola Dinas Pendapatan Daerah atau sejenisnya. Serupa dengan pajak restoran atau pajak kendaraan bermotor yang masuk dalam APBD. Artinya, jelas tidak ada korelasinya.
Efek buruk lain yang terjadi adalah sebagaimana rilis dari Transparency International Indonesia (TII) yang melansir Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2010. Hasilnya menunjukkan bahwa bagi kalangan usaha, kepolisian, pajak, dan pengadilan, serta kejaksaan merupakan lembaga yang perlu diprioritaskan dalam pemberantasan korupsi. Padahal, Ditjen Pajak tahun sebelumnya berada pada posisi atas hanya dikalahkan dengan LPPOM dan MUI.
Demi kepastian hukum, penegak hukum harus benar-benar serius dalam mengusut kasus pajak. Sangat disayangkan bila dibiarkan terkatung-katung dan tak kunjung tuntas. Hal tersebut memberikan kesan bahwa kasus pajak ditangani setengah hati. Oleh karenanya, kali ini aparat penegak hukum harus membuktikan keseriusannya dan membuktikan bahwa munculnya kasus ini bukan sebagai alat tawar menawar politik.
Pada rubrik Opini harian ini, 27 Desember lalu, berjudul : "Mengejar Realisasi Pajak dengan mendahulukan Realisasi Pembangunan" Ketua STIE,STT,STKIP Pelita Bangsa Drs.John Foster Marpaung MA yang mengomentari tulisan saya di rubrik yang sama beberapa hari sebelumnya berharap agar alangkah baiknya kita belajar kepada semua negara maju, pajak itu benar-benar menyentuh pembangunan dan membawa masyarakat keluar dari kemiskinan. Akibatnya, masyarakat semuanya bangga menjadi wajib pajak. Harapan demikian tentu sangatlah mulia. Pemerintah tidak saatnya lagi alergi terhadap kritikan atau masukan yang membangun demi kesejahteraan bangsa.
Munculnya kasus pajak yang terus menjadi berita empuk sepuluh bulan terakhir ini tentunya melukai perasaan para wajib pajak. Perasaan itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pihak terkait harus mengambil tindakan tegas untuk memulihkan kepercayaan wajib pajak. Pun, agar Ditjen Pajak tidak terus menjadi bulan-bulanan yang kadang kurang proporsional.
Sepengetahuan penulis memang belum pernah ada seorang pun yang mengatakan bahwa Ditjen Pajak sejak berdiri mempunyai track record masa lalu yang sangat bersih dan 100% bebas dari unsur korupsi. Justru, yang mengemuka adalah pengakuan tulus sebagaimana tertuang dalam buku "Berkah Modernisasi Pajak" bahwa beberapa tahun lalu sebelum reformasi pajak, dengan terpaksa atau dipaksa, korupsi masih terjadi. Pengakuan itu harus dijadikan modal untuk perbaikan ke depan.
Berangkat dari ketulusan itu, berbagai pembenahan internal dilakukan. DJP sadar bahwa institusi penopang keuangan negara ini tidak mungkin dibiarkan terus-menerus dalam kondisi sakit. Sangat riskan akibatnya. Maka, mereka bertekad meriah mimpi mewujudkan hari ini lebih baik dari kemarin. Karena seperti diungkapkan seorang filosof dunia : "Kemuliaan kita yang terbesar bukanlah terletak pada kenyataan bahwa kita tidak pernah jatuh, tetapi terletak pada kenyataan bahwa kita selalu berhasil bangkit setiap kali kita jatuh". Wallahu a’lam.***
Penulis adalah kontributor Buku "Berkah Modernisasi Pajak" Ditjen Pajak Jakarta.
Opini Analisa Daily 7 Januari 2011