04 Mei 2010

» Home » Jawa Pos » Rezim Anggaran Defisit

Rezim Anggaran Defisit

"THE truth about budgets plays almost no role in real politics"

Jayson Virissimo, peminat soal ekonomi, mengungkapkan pernyataan itu saat mengomentari tulisan Paul Krugman (peraih nobel ekonomi 2008) yang dipublikasikan di The New York Times pada 30 Oktober 2009 lalu. Kalimat itu dia tulis untuk memperkuat substansi artikel Krugman yang mengkritik besarnya defisit anggaran AS.

Jika hal itu ditarik ke Indonesia, kita menyaksikan fenomena berikut. Di satu sisi, liberalisasi dalam semua aspek ekonomi dipacu secara cepat, sehingga meniscayakan peran negara yang kian mengecil. Tapi, di sisi lain, anggaran negara (APBN) justru semakin intens diutak-atik, tentu oleh pemerintah dan DPR.

Ini terjadi karena dalam rentang waktu tersebut krisis ekonomi justru kerap terjadi, yang sebagian disebabkan praktik liberalisasi ekonomi. Seperti resep Keynes, anggaran negara dipakai sebagai instrumen kunci untuk melakukan stabilisasi ekonomi (selain fungsi alokasi dan distribusi). Kali ini, pemerintah dan DPR kembali menyusun APBN Perubahan (APBN-P) untuk menjaga relevansinya terhadap tantangan ekonomi terkini. Masalahnya, apakah APBN yang terus diutak-atik itu sudah kredibel sesuai dengan konstelasi perubahan ekonomi?

Mental Cari Aman

Beberapa perubahan pokok dalam APBN-P 2010 bisa dilihat dari asumsi pertumbuhan ekonomi, inflasi, harga minyak, SBI (Sertifikat Bank Indonesia), dan nilai tukar. Pertumbuhan ekonomi "dikunci" menjadi 5,8 persen, inflasi 5,3 persen, harga minyak 77 dolar AS/barel, suku bunga SBI 3 bulan 6,5 persen, dan nilai tukar Rp 9.300/dolar AS. Sedangkan APBN sebelum perubahan mematok pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, inflasi 5 persen, harga minyak 65 dolar AS/barel, suku bunga SBI 6,5 persen, dan nilai tukar Rp 10.000/dolar AS.

Pertumbuhan ekonomi yang telah diubah itu sebetulnya masih konservatif. Sebab, sejak akhir tahun lalu, melalui simulasi ekonomi, Indef memproyeksikan pertumbuhan ekonomi bisa menembus 6 persen. Hal ini bisa terjadi dengan asumsi ekspor tumbuh sekitar 20 persen, investasi 15 persen, konsumsi rumah tangga stabil di kisaran 5 persen, dan konsumsi pemerintah tumbuh 8 persen. Bahkan, IMF saja yang terbiasa konservatif dalam proyeksinya baru saja merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia (dan juga pertumbuhan ekonomi global) menjadi 6 persen, sehingga jauh lebih progresif daripada proyeksi pemerintah.

Perolehan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, sebagai anchor pertumbuhan ekonomi di Asia, sebetulnya dapat pula dijadikan referensi. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada triwulan I 2010 telah mencapai 11,9 persen, jauh lebih tinggi dari proyeksi. Ini menunjukkan bahwa pasar ekonomi global telah mencapai "titik pulih" sehingga terbuka peluang yang besar bagi peningkatan ekspor dan investasi asing.

Optimisme inilah yang seharusnya ditangkap pemerintah. Dengan pertimbangan itu, tampaknya, sikap konservatif pemerintah lebih disebabkan oleh sikap mencari aman sehingga ketika pertumbuhan ekonomi tetap berada pada level 5,8 persen, mereka dianggap kredibel. Bila pertumbuhan menembus 6 persen, mereka akan bertepuk dada.

Jika psikologi itu yang terjadi, tentu hal ini tidak fair. DPR perlu mendesak pemerintah agar selalu berpikir inovatif dan bekerja lebih keras menangkap peluang ekonomi yang terbuka lebar tersebut. Ini sekaligus target pertumbuhan ekonomi dijadikan ukuran kinerja mereka.

Rezim Anggaran Defisit

Hal lainnya, hampir pasti inflasi pada 2010 bersumber dari faktor internal dan eksternal secara seimbang. Secara internal, mulai Juni 2010 tekanan inflasi domestik akan membesar karena tiga faktor penting. Yaitu, musim kemarau (pasokan pangan terbatas), distribusi pangan yang buruk, dan momen hari besar agama (puasa, Lebaran, Natal, dan lain-lain).

Secara eksternal inflasi akan muncul dari harga minyak dan nilai tukar. Asumsi harga minyak termasuk masih rendah, karena mulai triwulan III 2010 tekanan kenaikan harga minyak akan meningkat. Dengan demikian, asumsi yang lebih realistis adalah 80-85 dolar AS/barel. Jika kenaikan itu terjadi, hal tersebut akan memicu inflasi (khususnya lewat biaya produksi).

Last but not least, saat ini problem yang riil adalah bagaimana mengelola dana asing yang deras masuk ke Indonesia. Membanjirnya capital inflow akan memperkuat rupiah secara drastis, sehingga memicu inflasi (lewat pertambahan jumlah uang beredar). Pada titik ini, manajemen SBI menjadi sangat penting. Dengan pertimbangan tersebut, rasanya inflasi 2010 akan berada pada level 6 persen.

Pada aspek subsidi, APBN-P 2010 menganggarkan kenaikan subsidi energi, baik minyak maupun listrik. Aibat kenaikan asumsi harga minyak, subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi Rp 89,6 triliun (dari semula Rp 68,7 triliun). Sedangkan subsidi listrik melonjak dari Rp 37,8 triliun menjadi Rp 55,1 triliun.

Di luar itu ada kenaikan subsidi nonenergi (pupuk, pangan, dan bibit) menjadi Rp 57,3 triliun (semula Rp 51,2 triliun). Kenaikan subsidi BBM bisa dipahami karena pemerintah memang tidak merencanakan kenaikan harga BBM. Tapi, kenaikan subsidi listrik perlu diklarifikasi karena Juli nanti pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Dengan tambahan subsidi tersebut, mestinya tidak perlu ada kenaikan TDL.

Karena itu, DPR perlu mengklarifikasi tambahan subsidi listrik ini sebelum dituntaskan pada 3 Mei mendatang. Harapannya, pada 2010 ini belum ada kenaikan TDL, khususnya bagi masyarakat kelas menengah dan bawah yang melanggan daya listrik rendah.

Dengan tambahan alokasi subsidi tersebut (juga kenaikan alokasi yang lain), postur APBN-P 2010 mengalami kenaikan menjadi Rp 1.123 triliun (dari semua Rp 1.047) sehingga diperkirakan defisit APBN menjadi 2,1. Ini berarti pemerintah kembali melanggengkan "rezim anggaran defisit".

Catatannya, selama ini kita amat toleran dengan rezim defisit di tengah situasi besarnya penerimaan yang bocor dan pemborosan pengeluaran anggaran. Jika kedua aspek itu bisa ditekan, seharusnya tidak perlu terjadi anggaran defisit anggaran, yang ujung-ujungnya pasti ditutup dengan utang (baik luar maupun dalam negeri).

Defisit anggaran secara etis baru absah bila tidak ada lagi penerimaan yang menguap, belanja anggaran telah efisien, atau krisis ekonomi menghadang. Jika prasyarat itu tidak dipenuhi, rezim anggaran defisit cacat secara moral. Apabila pemerintah tetap memaksa anggaran defisit, menjadi benarlah sinisme Virissimo di atas, bahwa "dalam politik riil, kebenaran dalam penentuan anggaran tidak memiliki peran". (*)

*) Ahmad Erani Yustika, ekonom Universitas Brawijaya, direktur Indef

Opini JawaPos 4 Mei 2010