04 Mei 2010

» Home » Media Indonesia » Penilaian Kemampuan Siswa dan Ujian Nasional

Penilaian Kemampuan Siswa dan Ujian Nasional

Ramainya pemberitaan atas ujian nasional (UN) saat ini menandakan adanya permasalahan di dalamnya. Sebagai negara yang menerapkan sistem standar nasional, pemerintah sangat berkepentingan dengan penilaian kemampuan siswa terhadap konten standar, sebagai paket what student need to know and be able to do. Meskipun Departemen Pendidikan Nasional telah menerapkan aturan yang ketat dalam teknis pelaksanaan, dalam praktiknya, problem demi problem bermunculan sehingga memunculkan keraguan banyak pihak akan efektivitas alat pengukur kemampuan tersebut.
Selain teknis pelaksanaan, permasalahan sebenarnya juga terletak pada adanya ketidaksepakatan tentang ujian nasional sebagai penentu kelulusan, yang mengundang sikap pro dan kontra. Bagi yang pro, UN sebagai penentu kelulusan itu wajib antara lain karena anak harus terlatih belajar keras dan berani berkompetisi. Tanpa ujian, anak tidak belajar. UN juga untuk peningkatan mutu pendidikan. Bagi yang kontra, antara lain berpendapat, UN sebagai penentu kelulusan merupakan bentuk pelanggaran hak anak karena masih besarnya kesenjangan kualitas guru dan fasilitas antardaerah bahkan antarsekolah, serta kelulusan seharusnya ada pada guru.
Pro dan kontra atas ujian nasional ini barangkali tidak akan ada habisnya karena masing-masing berpijak dan berangkat dari perspektif yang berbeda. Penulis berpendapat bahwa keduanya ada benarnya. Namun, juga mengusung kelemahan masing-masing. Betapa tidak, pengalaman belajar selama tiga tahun hanya diukur dalam hitungan jam. Pada sisi lainnya, jika kelulusan diserahkan ke guru, betapa akan beraneka ragam bentuk penilaian terjadi selain tidak bisa dibayangkan adanya subjektivitas guru yang akan sulit dikontrol.
Tes sendiri sebagai pengukur kemampuan siswa memang isu yang sudah lama diperdebatkan di satu sisi dan di sisi lainnya. Tes memang bentuk yang paling sederhana administrasi pelaksanaannya. Dalam dunia penilaian kemampuan siswa khususnya dengan tes, terdapat dua jenis yaitu norm-referenced test dan criterion-referenced test. Nilai minimum yang dipatok sering dikaitkan dengan tes jenis kedua. Criterion-referenced test sendiri sebetulnya tidak selalu harus disertai batasan nilai minimal karena criterion di situ sebetulnya muatan kurikulum yang dirancang untuk diteskan. Jadi, berapa pun nilai yang dicapai seorang anak didik menunjukkan kemampuannya terhadap criterion, yang di Indonesia disebut standar isi. Nah, dalam hal ini ujian nasional menentukan batas nilai minimal yang sama pada semua siswa sebagai kelulusan. Di sinilah sikap pro dan kontra muncul karena nilai minimal sebagai batas kelulusan dinilai tidak cocok untuk diterapkan saat ini. Beberapa model penilaian yang penulis uraikan di bawah ini barangkali bisa menjadi pertimbangan ke depan.

Batas nilai minimal oleh sekolah
Dalam model ini pemerintah hanya menentukan acuan maksimal dan minimal batas nilai minimal kelulusan. Sekolahlah yang menentukan sendiri nilai minimal kelulusan untuk sekolahnya di dalam ring yang ditentukan pemerintah tersebut. Dengan demikian, batas nilai minimal satu sekolah bisa berbeda dengan sekolah lainnya, mungkin atas persetujuan dinas di kabupaten/kota. Model ini dapat mengatasi permasalahan bukan hanya kesenjangan antarsekolah dan daerah, melainkan juga memberikan otonomi kepada sekolah sebagai implementasi dari manajemen berbasis sekolah. Selanjutnya berbagai subsidi dari pemerintah haruslah disertai akuntabilitas sekolah dengan meningkatkan batas nilai minimal kelulusan.

Pembebasan waktu
Tujuan ujian nasional adalah mengukur kemampuan anak terhadap penguasaan standar nasional (mastery learning). Sementara itu, tipe anak berlainan, ada anak yang tenang, tapi juga banyak anak yang grogi, panik, gelisah, dan gemetaran, yang tidak mudah hilang meskipun persiapan belajar sudah matang. Demikian pula ada anak yang cepat mengerjakan, ada anak yang lamban mengerjakannya tapi bisa. Oleh karena itu, waktu perlu dilonggarkan bahkan jika perlu tidak ada pembatasan waktu tes. Berapa pun waktu diperlukan anak untuk mengerjakan soal diberikan, dengan catatan tidak boleh ada jeda dengan meninggalkan ruangan tes. Dengan strategi ini, anak akan merasa tenang dalam mengerjakan tes.

Keterkaiteratan (alignment)
Soal yang harus dijawab anak haruslah telah dipelajari di kelas. Jadi, tidak ada soal dalam tes yang belum diajarkan guru di kelas. Dalam hal ini guru dituntut mengajarkan standar isi tidak hanya asal mengajar, tetapi mengajar secara mendalam. Selanjutnya dalam penyusunan soal, pembuat soal harus berpedoman pada standar kurikulum dan buku-buku yang dipakai guru di kelas. Di sinilah mungkin akan terjadi kesulitan jika guru dibebaskan memilih buku yang digunakan untuk mengajar. Namun, pada intinya harus ada keterkaitan yang dekat antara standar, materi yang dipelajari di kelas, dan tesnya. Pemerintah sebaiknya terus-menerus meneliti keterkaitan tersebut.

Ujian bertingkat
Seperti diketahui, kemampuan siswa sangatlah beragam, demikian pula kemauan belajar dan bahkan kecukupan gizi mereka. Kualitas guru pun sangat beragam, terutama dalam penguasaan materi pelajaran dan strategi pembelajarannya di kelas, bahkan konsentrasi guru. Dengan mempertimbangkan keragaman tersebut, ujian bisa dilaksanakan berjenjang, pertama ujian nasional yang diikuti semua siswa dengan nilai minimal yang tinggi. Kesempatan diberikan minimal dua kali untuk menyaring anak-anak yang memang berkemampuan tinggi. Sisanya, dengan nilai batas minimal yang diturunkan dilaksanakan di tingkat provinsi, batas minimal diturunkan lagi menjadi ujian tingkat kabupaten, dan diturunkan lagi menjadi ujian tingkat sekolah. Dengan demikian, pemerintah bisa mengambil langkah, sekolah atau guru mana yang perlu mendapat penanganan khusus agar anak didiknya lambat laun bisa mencapai standar nasional tersebut.
Meskipun setiap model memiliki kelemahan, model-model di atas memberikan keluwesan strategi, baik dalam teknis pelaksanaan maupun materi tesnya sendiri. Bukankah sebuah solusi sering mendatangkan problem baru? Namun, dengan bekerja keras dan kemauan yang tulus dalam pengambilan keputusan, selalu tersedia solusi dari sebuah problem yang seminimal mungkin menimbulkan problem baru.

Oleh Rumtini Suwarniksan, Mahasiswa doktoral Brigham Young University (BYU) USA;
Staf pada Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Balitbang Depdikna

opini media indonesia 05 mei 2010