04 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Momok Baru: Bahasa Indonesia

Momok Baru: Bahasa Indonesia

”SEBANYAK 64,5 % dari 154.079 siswa SMA/MA yang tidak lulus ujian nasional harus mengulang satu mata pelajaran. Ternyata bahasa Indonesia dan biologi adalah mata pelajaran yang paling banyak diulang oleh siswa,” kata Mendiknas Muh Nuh (SM, 27/04/10).  Kalimat berita itu membuat terperangah berbagai pihak, tak terkecuali para guru bahasa Indonesia dan biologi. Masyarakat pun dibuat kaget dengan kenyataan ini. Mungkin untuk mata pelajaran (mapel) biologi, mereka masih bisa memaklumi. Tetapi untuk pelajaran bahasa Indonesia (kalangan murid biasa menyebut BI-Red), masyarakat awam akan sulit menerimanya. Mengapa?

Ada dua  alasan utama yang membuat masyarakat sulit menerima kenyataan ini. Pertama, BI adalah bahasa negara kita sendiri. Bahasa yang diajarkan sebelum duduk di bangku sekolah. Mereka meyakini bahwa setiap makna yang tertulis dalam soal tidak membutuhkan waktu lama untuk mengartikannya. Bahasa sehari-hari dan percakapan yang digunakan seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.


Kedua, selama ini BI adalah mapel yang dianggap ”ringan” oleh sebagian siswa. Tidak ada siswa yang memprioritaskan BI sebagai mapel yang perlu dileskan. Mayoritas siswa mengikuti les (pelajaran tambahan) hanya untuk matematika, fisika, kimia, bahasa Inggris, dan ekonomi. Sangat sedikit bahkan hampir tidak ada siswa yang ingin les bahasa Indonesia. Jam pelajaran untuk bahasa Indonesia pun sebatas ketentuan pusat (4 jam pelajaran), sedangkan mapel UN lain sama dengan ketentuan pusat plus 1 atau 3  jam per minggunya. Biasanya berkisar antara 5 dan 7 jam per minggu.
Sulit Dipecahkan Benarkah alasan-alasan itu? Bahasa Indonesia memang bahasa negara kita sendiri. Sangat mudah mengartikan setiap yang tertulis dalam soal. Namun, di balik kemudahan itu terdapat kesulitan yang luar biasa. Mapel matematika, fisika, kimia, biologi, dan ekonomi siswa bisa mendapatkan nilai 10,00 tapi bahasa Indonesia tidak. Kenapa? Sebagai seorang guru bahasa Indonesia, saya sering menjumpai soal-soal yang sangat sulit dipecahkan oleh tim sekali pun. Dalam pertemuan musyarawarah guru mata pelajaran (MGMP) pun, sering terjadi pembahasan satu soal yang memerlukan waktu sangat lama. Boleh dibilang, jika peserta MGMP ada 20 orang maka jawaban yang muncul ada 20 juga. Pernah, seorang siswa yang jago matematika dan fisika mendatangi saya dan mengatakan bahwa BI sangat sulit, lebih sulit dibanding matematika dan fisika.

Karena itu, menurut hemat penulis, perlu adanya pemecahan masalah ini secara bersama-sama. Pertama, penanaman kesadaran kepada siswa bahwa status mapel BI sama dengan mapel lain. Kesadaran bahwa mapel ini juga perlu dipelajari bukan dianggap mudah. Kedua, kebijakan yang masih diskriminatif terhadap pelajaran BI di sekolah-sekolah dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Jika mapel UN ditambah satu atau dua jam dari ketentuan pusat, harusnya bahasa Indonesia juga demikian.

Ketiga, kebijakan pemerintah dalam menyusun jadwal UN yang tampak sangat diskrimatif harus segera diubah. Bukti nyata, sejak UN SMA/MA diikuti enam mapel mulai 2007/2008, jadwal pertama UN pasti bahasa Indonesia dirangkai dengan biologi untuk IPA, dan bahasa Indonesia dilanjutkan dengan sosiologi untuk IPS. Sebuah kebijakan jadwal yang secara tersirat menyatakan bahwa dua mapel itu khususnya bahasa Indonesia adalah pelajaran mudah.

Solusi keempat, perlu adanya perbaikan standar kompetensi lulusan (SKL) yang lebih objektif dan logis. Banyak dijumpai soal-soal BI yang jawabannya sangat sulit ditemukan karena pilihan A s.d. E hampir sama. Penambahan jenis soal menyimak seperi halnya mapel bahasa Inggris yang ada listening section perlu diberikan agar keterampilan berbahasa yang terdiri atas menulis, berbicara, menyimak, dan membaca bisa terwujud. 

Mungkin kita perlu belajar banyak dari Jepang, Korea Selatan, dan Malaysia. Jepang menerapkan kebijakan bahwa bahasa mereka adalah bahasa Jepang. Setiap orang yang masuk ke Jepang harus belajar bahasa Jepang. Kebijakan yang sama berlaku juga di Korea Selatan. Selanjutnya di Malaysia, meskipun negara jiran itu juga mengakui peran penting bahasa Inggris, faktanya bahasa Melayu Malaysia mendapat porsi dan kedudukan sangat tinggi. Nilai kelulusan bahasa Melayu minimal 8,00. Jika kurang dari itu, siswa wajib mengulang.(10)

— Sunardi SPd, guru bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Purworejo, Ketua Komunitas Facebookers Cinta Bahasa Indonesia

Wacana Suara Merdeka 5 Mei 2010