Januari Sihotang
Alumnus Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum USU Medan. Sedang menjajaki studi lanjut di Pascasarjana UGM Yogyakarta
Dunia hukum Indonesia mendapat sorotan paling tajam. Persoalan korupsi, mafia hukum, dan makelar kasus menjadi topik yang paling banyak dibahas. Mulai dari banyaknya putusan pengadilan yang dirasakan tidak adil hingga keterlibatan para pembuat hukum (legislator) dan penegak hukum (hakim, polisi, dan jaksa) dalam perkara korupsi membuat hati semakin miris. Belum lagi heboh kasus Gayus Tambunan, pegawai golongan III/a Dirjen Pajak yang mempunyai kekayaan puluhan miliar rupiah.
Setelah beberapa saat kisruh KPK vs Polri reda, adanya putusan praperadilan PN Jakarta Selatan yang mengabulkan gugatan Anggodo Widjojo sepertinya semakin menimbulkan runyamnya wajah hukum kita. Penerbitan "setengah hati" SKPP Bibit-Chandra dengan alasan sosiologis oleh kejaksaan membuat terbukanya peluang untuk menggugat kembali SKPP tersebut.
Ada apa sebenarnya dengan dunia hukum Indonesia? Dalam tulisan di sebuah surat kabar nasional Satjipto Rahardjo (alm), berujar bahwa karut-marutnya dunia hukum Indonesia tak lain akibat pemahaman dan pendidikan yang keliru tentang hukum. Selama ini, hukum hanya berkutat dibicarakan pada konteks teks dan peraturan perundang-undangan, tanpa membicarakan hukum itu secara utuh. Sosok hukum menjadi kering karena dilepaskan dari konteks dan dimensi manusia.
Kejadian ini sesungguhnya sudah diawali sejak abad ke-19 ketika komunitas hukum dunia mengalami semacam euforia dengan perkembangan hukum yang dianggap luar biasa dan sudah mencapai puncak. Perkembangan yang luar biasa tersebut merupakan akibat dari perkembangan sosial, ekonomi, dan politik, yang dipicu terjadinya revolusi industri di negara-negara Eropa. Hukum kemudian memberikan respons terhadap dinamika dan perkembangan dalam berbagai bidang kehidupan yang luar biasa dengan membangun tatanan hukum baru untuk mewadahi perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Puncaknya adalah membuat kodifikasi dari perundang-undangan yang sudah membengkak itu ke dalam berbagai kitab undang-undang seperti: kitab undang-undang perdata, pidana, dagang, dan administrasi negara.
Di Indonesia, era reformasi yang dimulai tahun 1998 telah menimbulkan tuntutan perbaikan di segala bidang, tak terkecuali bidang hukum. DPR kita terlalu sibuk melahirkan undang-undang, memperbaiki sistem hukum, restrukturisasi hukum dan sebagainya. Hal paling nyata dapat kita lihat pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie yang saat itu menggantikan Soeharto. Dalam periodenya yang "sekejap" itu telah dicetak puluhan bahkan ratusan undang-undang beserta peraturan pelaksananya, tetapi hasilnya tetap nihil. Tumpukan undang-undang itu, ternyata tetap tak mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Keadaan berlanjut. Ternyata kita belum pintar untuk belajar dari pengalaman. Sekali lagi, hukum itu bukan sekadar peraturan, melainkan lebih pada perilaku manusia itu sendiri. Apalah artinya peraturan yang bagus dan sempurna jika moral para pelaku dan penegak hukum tetap saja bobrok? Maka menurut hemat penulis, inti dari permasalahan hukum Indonesia saat ini sebenarnya bukan terletak pada peraturan yang tidak memadai, melainkan lebih pada pengenalan dan pembentukan kepribadian bangsa termasuk kepribadian para penegak hukum.
Maka tak salah pendapat almarhum Satjipto Rahardjo yang mengatakan untuk mengenal betul hukum suatu negara maka kita harus mengenal kepribadian bangsa tersebut. Karena seharusnya hukum lahir dari kepribadian bangsa itu sendiri, bukan dengan cara meniru atau mengadopsi seperti yang kita lakukan dengan cara mewarisi hukum kolonial Belanda. Jadi betulkah bila karut-marutnya wajah hukum Indonesia diakibatkan kepribadian bangsa ini yang juga masih karut marut?
Lalu langkah selanjutnya, apa cara untuk memperbaiki dan merias kembali wajah hukum Indonesia yang telah coreng-moreng itu? Hemat penulis, beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah: pertama, memperbanyak pendidikan budi pekerti bagi anak-anak usia dini sebagai bagian dari pendidikan hukum. Menghafal dan membaca peraturan perundang-undangan belum bermanfaat maksimal bagi perubahan perilaku mereka. Oleh karena itu, cara pendidikan hukum yang lain mutlak dilakukan, misalnya dengan cara menerangkan manfaat substansial dari mematuhi hukum. Sekadar contoh, apa manfaat dari membuang sampah pada tempatnya, menghormati orang lain, disiplin dalam setiap perilaku hidup. Jika hal ini sudah dibina sejak dini, kelak hingga dewasa pun, perbuatan yang patuh hukum akan terikut dengan baik.
Kedua, penegakan hukum (law enforcement) dan adanya kepastian hukum. Dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia dalah negara hukum. Pasal ini diperkuat lagi dalam Pasal 27 Ayat (1) yang menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya.
Ketiga, reformasi perekrutan penegak hukum. Selama ini sebagian besar masyarakat merasa apriori dengan perekrutan penegak hukum. Ketika seseorang mau melamar jadi hakim, jaksa atau polisi, pikiran kita langsung mengarah pada seberapa banyak uang yang mampu dijadikan pelicin atau siapa (pejabat) yang menjadi suksesor. Kesan ini tentu tidak muncul dengan sendirinya. Tak ada asap kalau tak ada api. Harus diakui bahwa ada yang tidak beres dengan perekrutan penegak hukum kita selama ini.
Jika bangsa kita benar bertekad merias wajah hukum yang telah coreng-moreng itu, salah satu syarat utamanya adalah proses seleksi dan penerimaan calon penegak hukum harus benar-benar bersih. Jika ini dapat dilakukan, harapan akan adanya perbaikan dunia hukum semakin besar. Setidaknya kita mampu memotong rantai kebobrokan mental penegak hukum, paling tidak untuk satu generasi. Jika hal itu tidak bisa dilakukan, dunia hukum kita akan terus-menerus bergumul dan tak mampu keluar dalam kubangan persoalan susahnya menegakkan hukum dan kaburnya kepastian hukum. Maka yang terjadi adalah hukum kita akan menjelma menjadi sosok menakutkan sekaligus menjijikkan karena wajahnya yang penuh noda dan borok luka. n
opini lampung post 05 mei 2010