04 Mei 2010

» Home » Kompas » Gurita Kejahatan Kehutanan

Gurita Kejahatan Kehutanan

Dukungan kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk memasuki kasus-kasus di sektor kehutanan terus mengalir (Kompas, 27/4). Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan instruksi, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan secara tegas mempersilakan pengusutan tuntas berdasarkan bukti (Kompas, 16/4).

Sektor kehutanan tak pelak anak perawan di sarang penyamun, jadi rebutan. Sektor ini salah satu ladang emas korupsi dan manipulasi. Heboh ”cicak vs buaya” dan makelar kasus yang melibatkan Anggodo bermula dari korupsi di sektor ini. Anggoro, kakak Anggodo, adalah terdakwa kasus korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan.
Ada banyak jenis kejahatan kehutanan. Luca Tacconi et al (2003) menyebut, antara lain, (a) pelanggaran hak masyarakat adat dan hak publik, (b) aksi pembalakan kayu secara ilegal yang berkaitan dengan pelanggaran regulasi manajemen hutan dan/atau pelanggaran perjanjian kontrak lainnya terhadap hutan, (c) pelanggaran yang berkaitan dengan perdagangan kayu dan (d) aktivitas finansial ilegal yang mungkin berkaitan dengan pajak dan aspek finansial lain.
Pembalakan liar merupakan kejahatan kehutanan yang umumnya diketahui dan berdampak luas dan nyata. Jutaan hektar hutan lenyap setiap tahun, meninggalkan derita lingkungan dan potensi bencana. Semua kejahatan kehutanan saling berkaitan. Pembalakan liar akan berujung pada perdagangan kayu secara ilegal. Ini pun sering kali berkaitan dengan uang haram hasil aktivitas finansial tak sah.
Pembalakan liar menggurita dan melibatkan banyak aktor. Ada elemen masyarakat yang terlibat, tetapi kebanyakan bersifat sporadis dan skala kecil, hanya pemain kelas teri yang dimanfaatkan cukong bermodal besar. Kerusakan lebih parah disebabkan oleh para pemegang lisensi resmi pengelolaan hutan. Mereka, seperti ditengarai Luca Tacconi et al (2003), melanggar konsesi resmi, kontrak, dan regulasi manajemen. Mereka merambah areal di luar kewenangan lisensi yang dimiliki, bahkan sampai ke areal yang dilindungi. Kerusakan yang diakibatkan lebih luas dan berdampak pada kerusakan yang lebih masif.
Jika menengok pada kasus-kasus yang ada, terdapat hubungan simbiosis erat antara korupsi dan aktivitas pembalakan liar. Korupsi birokrasi adalah salah satu penyebab utama pembalakan liar kian menjadi-jadi. Berdasarkan studi kasus di Kalimantan, Joyotee Smith et al (2007) menyimpulkan ada dua jenis korupsi di kehutanan: yang bersifat kolusi dan nonkolusi.


Upaya luar biasa
Pada korupsi nonkolusi, aparat pemerintah meminta suap untuk kegiatan legal, seperti pengeluaran izin. Ini otomatis meningkatkan biaya produksi sektor swasta dan membuat mereka melakukan aktivitas ilegal untuk menutupi biaya tak resmi ini. Korupsi tipe ini meletakkan penyuap pada posisi berhadapan dengan individu atau organisasi yang disuap. Adapun yang bersifat kolusi, pengusaha dan aparatur negara berkomplot menguras sumber daya negara dengan cara tak sah. Ini bisa saja dilakukan dengan, misalnya, membiarkan pengusaha kehutanan merambah di luar area kewenangannya, melanggar aturan penebangan atau kejahatan pajak. Aparatur tetap mendapatkan imbal jasa berupa suap.
Dalam perkembangan lanjutan setelah era desentralisasi, banyak pejabat daerah yang malah menjadi inisiator perubahan tutupan hutan. Dengan dalih pembangunan, areal yang secara ekologis sangat penting dan kritis diajukan untuk diubah peruntukkannya. Tak cukupnya alasan rasional membuat upaya perubahan kawasan selalu melibatkan suap-menyuap. Kasus yang menimpa anggota DPR, Al Amin Nasution dan Sarjan Tahir, adalah contoh. Dalam banyak kasus, kayu yang ditebang dari hutan negara untuk dialihfungsikan oleh pemda tidak jelas dikemanakan. Kayu-kayu yang ditebang tersebut ditengarai tidak menjadi aset daerah dan dikorupsi.
Pembalakan liar yang bersimbiosis dengan korupsi memang harus diperangi. Akan tetapi, sifatnya yang kolutif membuat upaya ini seakan menemui jalan buntu dan strategi pencegahan tak berjalan. Sebenarnya pengawasan yang harus diperketat, tetapi aparatur kepolisian dan instansi terkait, seperti dinas kehutanan, juga tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Terhentinya penyelidikan terhadap kasus kejahatan kehutanan periode 2008 (Kompas, 26/4) adalah contoh nyata tembok tebal tersebut.
Upaya luar biasa diperlukan untuk mengamputasi mengguritanya kejahatan kehutanan. Karena itu, tak berlebihan jika upaya ini melibatkan lembaga super, seperti KPK dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, untuk mulai mengurai benang kusut penegakan hukum pembalakan liar. Namun, ini bukan penyelesaian jangka panjang. Kejahatan kehutanan akan terkikis bersama upaya keras melawan korupsi, penegakan hukum, dan reformasi birokrasi.
Yansen Dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu

Opini Kompas 5 Mei 2010