Publik sempat dikenalkan dengan beberapa jurus para mafia pajak. Dimulai dari upaya mendorong para wajib pajak untuk mengajukan keberatan atas jumlah pajak yang mesti dibayar untuk menggugat ke Pengadilan Pajak hingga menjadi makelar yang mengatur proses persidangan di Pengadilan Pajak dengan tujuan memenangkan wajib pajak. Dari sini bisa kita lihat betapa urgennya Pengadilan Pajak sebagai penentu sukses atau gagalnya drama pengurasan uang keringat rakyat.
Keberadaan yang sangat strategis ini rawan tarik-menarik kepentingan. Dalam hal ini para mafia tampaknya justru lebih unggul karena mampu memanfaatkan sisi lemah pengadilan ini sehingga akibat ini, dalam perhitungan ICW, negara telah dirugikan hingga Rp 12,5 triliun.
Ketidakjelasan pengawasan hakim jadi lubang yang paling krusial dari Pengadilan Pajak. Benar bahwa Putusan Perkara Nomor 004/PUU-II/2004 MK sudah memutuskan bahwa Pengadilan Pajak berpuncak pada Mahkamah Agung (MA) dan termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah MA sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945. Itu, pada satu sisi, telah menyekat ruang perdebatan tentang posisi Pengadilan Pajak.
Namun, ini tidak menyelesaikan diskursus siapa yang berwenang untuk mengawasi hakim pengadilan ini. Lihat saja pernyataan Ketua MA Harifin A Tumpa justru mempertanyakan sistem pengawasan hakim Pengadilan Pajak oleh Kementerian Keuangan. ”Peradilan Pajak memang secara teknis di MA, tetapi administrasinya ada di Kemenkeu.” Hal ini menggambarkan kesimpangsiuran pengawasan sebagaimana dimaksud.
Tidak adanya format pengawasan yang jelas berakibat pada maraknya praktik mafia pajak yang terjadi di Indonesia. Mafia tersebut dapat dengan leluasa bermain dalam setiap kasus, termasuk di dalamnya kekhawatiran bermain dengan para hakim di Pengadilan Pajak.
Ini bukan kekhawatiran semu, lihat saja tren putusan di Pengadilan Pajak. ICW mencatat, dalam kurun 2002-2008, sebanyak 81,6 persen Ditjen Pajak kalah. Atau dalam bahasa lain, mayoritas sengketa pajak pada Pengadilan Pajak dimenangkan oleh wajib pajak. Kemenangan ini tentunya menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi negara. Tidak hanya harus mengembalikan kelebihan pembayaran, negara juga harus membayar imbalan 2 persen per bulan dari nominal pajak hingga kurun maksimal 24 bulan.
Berbanding terbalik dengan putusan peninjauan kembali oleh MA. Dalam kurun 2003-2009, dari 183 kasus yang diperiksa, 70,43 persen Ditjen Pajak menang. Disparitas kualitas putusan ini memang tidak mewakili sebuah pendapat bahwa performa MA lebih baik daripada Pengadilan Pajak. Namun, paling tidak ini menjadi sebuah ukuran antara hakim di sebuah pengadilan yang diawasi dan hakim yang tanpa sekali pengawasan.
Montesquieu dengan konsep Trias Politica berupaya melakukan pemisahan kekuasaan negara (separation of powers). Kekuasaan membuat UU harus dipegang oleh badan yang berhak khusus untuk itu. Adapun kekuasaan melaksanakan UU harus dipegang oleh badan lain, yaitu badan eksekutif. Dan, kekuasaan yudikatif (kekuasaan yustisi, kehakiman) adalah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan UU dan berhak memberikan peradilan kepada rakyat. Keharusan pemisahan kekuasaan negara jadi tiga jenis itu untuk membendung kesewenang-wenangan.
UU Pengadilan Pajak justru menempatkan diri berseberangan dengan teori di atas. Kewenangan menteri terkait untuk mengusulkan nama hakim pajak kepada Presiden setelah mendapat persetujuan MA telah mereduksi kekuasaan kehakiman. Independensi hakim pajak seakan tercabik-cabik. Bahkan, UU ini membuat Pengadilan Pajak ”menyusu” kepada Kementerian Keuangan. Hal ini dilihat dari klausul ”pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Kementerian Keuangan”. Hal ini sangat bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan tiga hal di atas diatur di bawah kekuasaan MA.
Polemik ini semakin sempurna lewat kesemrawutan tata cara penunjukan hakim ad hoc pada Pengadilan Pajak. Kepmenkeu No 449/KMK.01/2003 dalam Pasal 3 mengatur bahwa penunjukan hakim ad hoc sebagai anggota majelis ditetapkan oleh ketua dalam suatu penetapan. Jadi, keberadaannya temporer dan kasuistis berdasarkan kebutuhan. Bisa dibayangkan bahayanya pengaturan yang demikian. Jika ketua menganggap salah seorang hakim anggota tidak bisa diajak kompromi dalam membentuk putusan yang menguntungkan pihak tertentu, tentunya ketua dengan kewenangannya mudah mengganti hakim anggota yang tidak sesuai ”seleranya”. Ini berpotensi menimbulkan kompromi negatif.
Pengaturan yang demikian sangat kontras dengan pola penunjukan hakim ad hoc di beberapa pengadilan khusus lain. Sebut saja Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan HAM, dan Pengadilan Hubungan Industrial yang mengatur secara jelas kedudukan hakim ad hoc. Tiga pengadilan ini memosisikan hakim ad hoc dalam kedudukan yang sejajar dengan hakim lainnya. Tidak hanya sebagai ”ban serep” karena diatur masa jabatan selama lima tahun.
Lubang-lubang Pengadilan Pajak ini harus segera ditutupi. Ini bagian integral upaya memberantas mafia pajak. Jika hakim pajak dibiarkan tanpa pengawasan dan intervensi eksekutif atau bahkan kesemrawutan hakim ad hoc dibiarkan berlarut-larut, bersiaplah, publik akan segera ”menggugat Pengadilan Pajak”.
Opini Kompas 5 Mei 2010