Bertubi-tubi praktik sindikasi kotor sistematis dalam penyelenggaraan sebagian urusan pemerintahan, khususnya urusan penegakan hukum, terbongkar. Menyusul terbongkarnya kasus Gayus H Tambunan dan mafia pajak di Surabaya, Asosiasi Pembayar Pajak menyuguhkan satu kasus pajak besar. Lalu muncul kasus mafia lain; pertambangan dan kehutanan di Sumatra dan Kalimantan. Tragis, selain karena pelaku-pelakunya adalah mereka yang diberi kepercayaan dan dihormati negara ini untuk menegakan hukum, juga karena praktik itu menggerogoti jantung moralitas hukum, yang dalam sistem hukum apapun dijadikan kompas hukum. Apakah karena soal moralitas itulah yang mengakibatkan publik terpana ketika mengetahui bahwa Prof Dr Boediono, mantan Gubernur BI, yang kini menjadi Wakil Presiden, dan Dr Sri Mulyani, mantan Ketua KSSK, diperiksa penyelidik KPK di tempat kerja masing-masing? Entahlah.
Keagungan moralitas
Yang pasti sejatinya, hukum memiliki keagungan pada dirinya karena hal-hal berikut. Hukum tak lain merupakan pernyataan empati para pemilik–rakyat-republik. Hukum tak lain merupakan realisasi ekspresi agung dan hasrat mulia rakyat tentang keadilan yang semestinya dijamin eksistensinya oleh negara buat mereka. Karena keagungan itulah, hukum tidak hanya harus dibuat oleh organ yang diagungkan-–legislative organ--tetapi juga harus dilaksanakan oleh orang-orang agung. Karena keagungan hukum itu pulalah, kekuasaan pembentukan hukum tak bisa dibagi dengan organ lain, apapun organ itu. Kalau dibagi, hilanglah keagungan kekuasaan itu. Gagasan ini menjadi dasar supremasi parlemen dalam struktur kekuasaan Inggris. Itulah sekelumit ide orisinal John Locke, pemikir besar berkebangsaan Inggris tentang hak asasi, hukum, dan negara, 4 abad lalu.
Sebetulnya jauh sebelum ide pemikir besar di atas muncul, Inggris telah melembagakan kerinduan mereka tentang moralitas aparatur hukum dalam Magna Charta 1215. Dalam salah satu pasalnya ditegaskan bahwa hanya orang berbudi baik, berakhlak baik, dan berpengetahuan baik sajalah yang bisa menjadi polisi, jaksa, dan hakim. Perpaduan kenyataan ini dengan kecemerlangan ide Locke memaksa politikus-politikus besar Inggris sesudah revolusi gemilang pada 1688, menjadikan moralitas aparatur hukum sebagai fondasi terkokoh dalam bernegara.
Itulah yang terekspresi dalam Act of Setlement 1701, yang dibentuk 15 tahun setelah Glorius Revolution 1688. Pada Sec 11 (3), misalnya, terdapat kaidah yang menyatakan bahwa seseorang dapat diangkat menjadi hakim di pengadilan biasa, tinggi, dan agung, serta dapat terus bertugas dalam jabatan itu sejauh mereka berkelakuan baik.
Dalam Appellate Jurisdiction 1876 yang mengatur yurisdiksi hakim di Nort Ireland dan Scotland, terdapat gagasan yang sama dengan Sec,p> 11 (3) Act of Setlement. Dalam Sec 13 (1) The Apellate Jurisdiction ditentukan bahwa hakim senior di Court of Appeal dapat terus menjadi hakim, sejauh tindak tanduk mereka baik. Beralasan sekali kalau gagasan cemerlang ini dicontoh para pembentuk konstitusi Amerika Serikat, dan dilembagakan ke dalam konstitusi mereka. Tertulislah dalam konstitusi mereka good behavior sebagai kaidah bagi hakim agung untuk dapat terus menjadi hakim, atau sebaliknya, harus diberhentikan.
Jangan setengah hati
Sanksi hukum terhadap pelaku kasus restitusi pajak fiktif di Surabaya pada Mei 1994, dan kasus suap terhadap salah satu hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang mengadili kasus ini, (Forum Keadilan, 23/6/1994 h 96-97), ternyata tidak memiliki efek bagi aparatur pajak. Sama tidak efektifnya sanksi terhadap jaksa yang tertangkap KPK ketika sedang melipat-lipat hukum dalam penyelidikan BLBI. Itulah makna terbongkarnya kasus-kasus di muka.
Kasus-kasus tersebut menandai betapa problem moralitas aparatur hukum sudah sedemikian parah. Itu sebabnya, instruksi atau apa pun namanya dari Kejaksaan Agung terhadap para jaksa di Kejaksaan Tinggi agar melaporkan kekayaannya, menyusul diketahui adanya jaksa yang tak melaporkan hartanya, tidak akan ada artinya. Pembentukan tim independen oleh Mabes Polri untuk menyidik kasus mafia pajak juga cuma berfaedah dalam menyingkap mafia ini. Tim ini tidak akan dapat menghentikan mafia hukum. Sanksi dan pembentukan tim itu terlampau berhakikat setengah hati.
Selagi para pemimpin negara ini tak memilih jalan cerdas, substansial, radikal, dan komprehensif membenahi moralitas aparatur hukum, selamanya sindikasi kotor aparatur hukum akan terus tumbuh. Selama para pemimpin negara ini terlalu pintar meneorikan moralitas dalam berhukum, selama itu pula hukum terlipat-lipat oleh para sindikat di dalam institusi-institusi hukum itu sendiri.
Lain soalnya kalau para pemimpin negara ini tidak terlalu banyak bersiasat--setengah hati--mengenali kekerdilan dunia hukum kita. Karena bangsa ini harus terus bergerak menggapai mimpi-mimpi konstitusionalnya, patut ditunggu langkah besar dari pemimpin negara membenahi soal ini. Sejarah pemimpin-pemimpin besar mengajarkan satu hal, yakni mereka besar karena mengenali keadilan. Kehebatan moralitaslah yang membuat mereka mengenali elan berhukum dan bernegara.
Semoga di suatu hari nanti, pemilik bangsa ini dapat berhukum, bahkan bernegara dengan aparatur hukum bermoralitas hebat, memiliki harkat, martabat, dan harga diri. Negara ini akan menjadi negara kerdil kalau hukum dan moralitas aparatur hukum tidak kokoh. Lebih kerdil lagi kalau pemimpin politik tidak membangun sistem promosi moralitas aparatur hukum. Satu hal, elan hukum keadilan hanya bisa dijamin aparatur hukum yang bermoral, punya harga diri, dan martabat. Aparatur bermoralitas hebat pasti memiliki harga diri, harkat, dan martabat.
Saatnya telah tiba bagi para politikus di DPR dan pemerintah untuk berkeyakinan betapa moralitas aparatur hukum tidak dapat dipromosikan dengan cara-cara ad hoc. Sekali lagi, langkah besar, komprehensif dan radikal dalam membenahi moralitas aparatur hukum sudah semestinya dilakukan para politikus, baik di DPR maupun pemerintah.
Mengagumkan bila kelak Kompolnas, Komisi Kejaksaan, dan Ombudsman dilikuidasi, lalu dibentuk satu lembaga pengawas aparatur hukum. Tetapi bila lembaga ini tidak diberi kewenangan luar biasa dalam mengawasi para aparatur hukum, dan digawangi oleh orang-orang yang moralitasnya berkaliber hebat, ya sudahlah. Yang selalu harus diingat ialah hukum hanya mungkin ditegakkan aparatur yang bermoralitas bagus. Aparatur bermoralitas bagus hanya mungkin dilahirkan dalam tatanan hukum yang bagus. ***
Oleh Dr Margarito Kamis, Pengajar Universitas Khairun Ternate
opini media indonesia 05 mei 2010