Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Mungkin sudah menjadi kisah klasik di negeri ini, ketika sebuah kebohongan dianggap benar, sebuah kebusukan dianggap harum dan sebuah kejujuran justru dinilai keliru. Demikianlah kiranya “budaya” korupsi merajai kehidupan masyarakat Indonesia hingga detik ini.
“Mau memberantas korupsi? Coba saja kalau kita yang duduk di atas sana, apa iya kita mampu menolak aliran uang sebesar itu? Hati kecil saya tetap percaya bahwa korupsi bukanlah budaya bangsa ini. Namun, tak lama kemudian kepercayaan itu akhirnya luntur.
Saya sedikit tercengang, ketika laporan pertanggungjawaban (LPj)) kegiatan dari organisasi yang saya ikuti ditolak oleh birokrat terkait. Padahal saya yakin 100% LPj tersebut telah dibuat dengan rincian penggunaan anggaran yang tepat. Lebih tercengang lagi, ketika mereka justru meminta saya merombak rincian anggaran agar menjadi semu. Alasannya, supaya lebih mudah diurus oleh birokrat tersebut. Aneh, itulah kata pertama yang tebersit dalam pikiran saya. Akan tetapi, hal semacam itu tampaknya telah menjadi persoalan wajar di sana.
Kejadian itu memberikan gambaran jelas, korupsi yang—kata banyak orang—telah membudaya itu menjadi jelas di mata saya. Jika dari tingkat terendah dalam brikorasi pemerintahan saja kita telah terbiasa dipermainkan oleh sistem birokrasi yang berunjung pada tindakan korupsi, lalu bagaimana dengan kondisi pemerintah di pucuk kekuasaan negeri ini? Tidakkah pemalsuan angka-angkanya juga semakin besar?
Sejak dulu kita terbiasa menuruti alur birokrasi yang rumit dan berbelit-belit. Untuk mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja diperlukan waktu lebih dari satu minggu—dengan sistem birokrasi berputar-putar dan biaya tidak sedikit. Ketika ingin membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), mengurus perkara tilang, maupun kasus lain di kantor polisi. Bisa ditebak, waktu dan biaya yang diperlukan akan jauh lebih besar lagi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika cita-cita reformasi birokrasi sampai saat ini sebatas terdengar sangat indah di telinga masyarakat.
Reformasi birokrasi yang dimaksud adalah perubahan dalam tatanan birokrasi secara menyeluruh. Mulai dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi dalam sistem pemerintahan. Solusinya adalah dengan penerapan sistem birokrasi satu pintu. Seseorang bisa mengurus sebuah perkara di satu tempat dan keluar dari tempat yang sama, tanpa perlu dipingpong kesana-kemari. Dengan demikian kecurangan yang mungkin dilakukan dalam sistem birokrasi diharapkan bias diminimalkan. Seluruh tatanan sistem birokrasi memang harus dirombak. Tidak bisa dipungkiri, korupsi merupakan penyakit mental yang tanpa sadar tercipta dari sistem yang ada. Seringkali seseorang justru dituntut untuk melakukan korupsi oleh sistem yang berlaku.
Mungkin akan sangat sulit mengubah tatanan yang telah mendarah daging dalam tubuh birokrasi negeri. Namun, semua itu tidak akan pernah berjalan jika tidak dimulai dari sekarang. Tanpa reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi akan menjadi sebuah hal yang mustahil, meski koruptor-koruptor kelas kakap telah ditangkap, para makelar kasus sudah diringkus dan mafia-mafia hukum berhasil ditumpas. Bukan tidak mungkin, jika kemudian akan muncul koruptor dan manipulator baru yang terlahir dari cacatnya sistem birokrasi yang ada.
Thomas Hobbes mengatakan sifat dasar manusia yang tidak pernah puas terus menuntutnya menjadi “binatang”. Ia akan terus memangsa sebangsanya guna memuaskan rasa lapar. Terlebih jika tatanan yang ada justru mendukungnya untuk melakukan hal itu. Seolah segala kecurangan menjadi halal dan kebohongan menjadi sebuah keharusan. Sistem birokrasi semacam itulah yang kemudian menjadi payung teduh bagi para koruptor. Hingga suatu saat jika koruptor tertangkap, dengan enteng mereka menjawab “Jangan salahkan kami jika korupsi, sistemlah yang mengajari kami untuk melakukan itu,” Semoga tidak demikian. - Oleh : Tri Indriawati
Opini Solo Pos 5 mei 2010
04 Mei 2010
Jangan salahkan jika kami korupsi...
Thank You!