Oleh Indra Yudha Mambea
Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Itulah peribahasa yang kiranya cocok untuk menggambarkan kondisi industri di Jawa Barat jika niat pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) 15 persen dijalankan pada Juli mendatang. Bagi sebagian pengamat ekonomi, kenaikan TDL ini ditengarai akan berimbas pada kenaikan biaya produksi yang menyebabkan terjadinya kenaikan tingkat harga produk barang dan jasa (baca: inflasi). Inflasi yang terjadi akibat adanya dorongan biaya ini merupakan konsekuensi logis mengingat sebagian besar industri di Jabar menggunakan tenaga listrik dalam menjalankan proses produksinya.
Listrik merupakan salah satu sumber penghidupan vital. Para penggunanya pun beragam mulai dari strata masyarakat bawah sampai tinggi, dari perusahaan kelas mini sampai raksasa, dari instansi pemerintah yang kerjanya longgar sampai yang paling ketat, semua mengandalkan listrik. Jika tidak ada listrik, aktivitas perekonomian regional atau bahkan nasional dijamin lumpuh. Padamnya aliran listrik yang kerap terjadi akhir-akhir ini sebenarnya merugikan banyak pihak. Bagi rumah tangga dan instansi pemerintahan jelas mengurangi produktivitas. Terlebih bagi industri, seandainya pemadaman ini terjadi dalam jangka panjang, akan menyebabkan alat-alat produksi rusak dan memunculkan biaya-biaya baru dalam industri dan ini merupakan bentuk inefisiensi.
Dalam menghadapi kasus penyelesaian masalah listrik sebetulnya pemerintah berada dalam posisi dilema. Di satu sisi pemerintah mesti membangun infrastuktur listrik yang baru untuk mengaliri daerah yang belum terjamah listrik agar terjadi pemerataan pembangunan karena listrik merupakan sarana penerangan yang dengan itu pembangunan daerah juga ikut terbantu. Di sisi lain dengan dikuranginya subsidi untuk listrik berarti akan mendongkrak tarif dasar listrik dan dampaknya bisa sistemik, yakni mendongkrak tingkat harga barang dan jasa alias memicu inflasi. Sistemik di sini bukan dalam konteks perbankan, ketika salah satu bank runtuh akan ikut meruntuhkan bank-bank lain dan akhirnya meruntuhkan perekonomian nasional. Sistemik di sini adalah dampak dari kenaikan TDL ini diyakini menyebabkan inflasi serta mengurangi permintaan akibat daya beli masyarakat menurun dan lama-kelamaan akan merontokkan industri akibat produk yang dijual di pasar tidak laku. Rontoknya industri ini hasilnya akan bisa ditebak yakni berkontribusi menambah angka pengangguran di Indonesia.
Menurut hemat penulis, kebijakan kenaikan TDL ini belum tepat dan perlu dipertimbangkan ulang. Belum tepat dari segi waktu dengan pertimbangan para pelaku industri masih mencari pola penyesuaian baru pascapemberlakuan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Cina (ACFTA). Ketika ACFTA diberlakukan, pelaku industri lokal khususnya Jawa Barat sedang bersikeras bersaing dengan produk luar terutama dari Cina. Kondisi yang tidak menguntungkan ini diyakini akan semakin menekan kalangan industri Jawa Barat seandainya pemerintah tetap memberlakukan kenaikan TDL. Sebagai contoh tertekannya kalangan industri di Jawa Barat ini, industri perhotelan khususnya kelas melati yang berjumlah kurang lebih 62 hotel dari jumlah total 1.250 yang masih beroperasi di Jabar terancam gulung tikar (Pikiran Rakyat, 29 April 2010).
Seandainya pemerintah tetap menaikkan TDL Juli nanti, semua pihak mulai sekarang harus mulai melakukan banyak hal guna menanggulangi dampak dari kenaikan TDL ini. Hal mendesak yang mesti dilakukan semua pihak adalah dengan melakukan pengiritan di segala bidang yang berhubungan dengan pemakaian listrik. Bagi rumah tangga sebaiknya menghemat penggunaan listrik agar bisa mengurangi beban PLN karena tiap listrik yang mengalir pada aliran listrik rumah tangga mengandung subsidi yang merupakan beban bagi pemerintah. Hal ini berlaku juga bagi kantor instansi pemerintahan yang mesti memperhatikan penggunaan listriknya karena masih sering terlihat kantor instansi pemerintah yang belum sadar akan penghematan dalam menggunakan listrik. Beban pembayaran listrik yang ditanggung negara bukanlah satu legalisasi agar aparatur pemerintah seenaknya menghamburkan listrik.
Kemudian bagi produsen ataupun pelaku industri, selain melakukan pengiritan, mesti pula kreatif dengan mengalihkan kenaikan biaya produksi kepada pencarian alternatif bahan baku yang lebih murah. Dengan demikian, diharapkan bisa menutupi biaya produksi akibat kenaikan TDL tanpa harus ada korban pemutusan hubungan kerja. Hal ini realistis mengingat Jabar terkenal akan industri kreatifnya sehingga penamaan ini mesti bisa merasuk kepada industri-industri lain dalam hal kreativitasnya agar bisa survive. Jangan menanggapi kenaikan TDL ini dengan duduk berpangku tangan dan patah arang. Hal yang bisa direncanakan ke depan adalah pemerintah memanfaatkan sumber energi panas bumi atau geothermal yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia seperti yang diwacanakan beberapa waktu belakangan ini.
Jika akhirnya kenaikan TDL harus diberlakukan, kenaikan ini mesti diimbangi kenaikan kualitas pelayanan. Jika pelayanan tidak berubah dan bahkan pemadaman listrik masih tetap sering terjadi, peribahasa yang cocok untuk industri di Jabar bukan lagi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak melainkan sudah jatuh tertimpa tangga pula. ***
Penulis, alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, peneliti di lembaga konsultasi Ekonomi dan Industri De Economica Indonesia, Bandung.
opini pikiran rakyat 05 mei 2010