Acuannya beragam, seperti pengeroyokan, pembakaran tempat ibadah, aksi intimidasi, teror atas nama agama, pemo- gokan buruh, kerusuhan, sampai revolusi besar. Kejadiannya bisa berciri lokal, seperti kerusuhan Koja atau Batam yang baru-baru ini terjadi, atau bisa berskala nasional, seperti peristiwa pada tahun 1965 atau 1998 yang menandai kelahiran dan keruntuhan Orde Baru.
Penyebabnya lebih rumit daripada sekadar politik atau ekonomi, konflik tanah atau ketidakpuasan. Ada soal dengan rasa bangga yang dilukai lewat pelecehan identitas kolektif. Rasa bangga yang sudah lama terluka melahirkan ressentiment (kebencian dan permusuhan) dan murka. Mereka yang murka rentan dimanipulasi untuk destruksi, maka murka berlaku sebagai kapital.
Buku Sloterdijk yang menganalisis murka dengan permainan bahasa dunia perbankan itu berjudul Zorn und Zeit (Murka dan Waktu, 2006). Filsuf Jerman kontemporer ini seolah memperingatkan para kapitalis yang loba mengejar laba tanpa tanggung jawab sosial-ekologis.
Di permukaan, masyarakat kita menyaksikan ekspansi kekuatan finansial, tetapi di kedalaman jiwa masyarakat berlangsung modus pertukaran yang sama sekali berbeda. Di situ bukan uang dan barang/jasa yang saling dipertukarkan, melainkan rasa bangga yang dilukai dan murka.
Seperti barang ditukar uang dalam ekonomi pasar, dalam ”ekonomi murka” (Zornwirtschaft) setiap rasa bangga yang dilukai menghasilkan tabungan murka yang nanti dapat ditukar dengan murka aktual. Untuk mereka yang—sayang sekali—hanya dapat berbicara dan berpikir dalam satu bahasa, bahasa ekonomi dan bisnis, alegori ini barangkali dapat menolong memahami ”rasionalitas murka” yang beroperasi di balik berbagai kekerasan massa di negeri kita.
Dalam ekonomi pasar, aset individu tidak tumbuh jika tidak diubah jadi kapital. Begitu seorang pebisnis menggunakan hartanya sebagai kapital, hartanya dapat bermultiplikasi dan berekspansi. Multiplikasi dan ekspansi itu dapat mencapai skala gigantis bila dimainkan dalam pasar modal untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Sirkulasi kapital itu diadministrasikan dalam bank, suatu institusi modern yang berfungsi menyimpan dan menyalurkan kapital. Berkat bank, kapital besar atau kecil yang tersebar seluas populasi negeri dikonsentrasikan dan dimobilisasikan untuk berbagai tujuan bisnis keuangan.
Dalam ”ekonomi murka”, demikian Sloterdijk, keadaan tidaklah jauh berbeda. Di situ ada bank murka (Zornbank), yaitu cadangan agresi kolektif dalam jiwa kolektif. Individu atau kelompok yang rasa bangganya dilukai lewat diskriminasi, marginalisasi, dan represi adalah nasabah murka yang tersebar di seluruh negeri.
Sebelum kerusuhan meledak, para individu sudah memiliki deposito murka. Tabungan yang sudah lama sekali disimpan itu tidak memiliki likuiditas. Di bawah berbagai tekanan moral, bank murka lebih cenderung menyimpan daripada menyalurkan.
Seperti dalam bisnis keuangan, perlu ada peristiwa yang memicu bisnis murka berlangsung, entah provokasi atau kejadian yang tidak mengenakkan. Simpanan murka kolektif diboroskan dalam bisnis itu untuk melakukan destruksi.
Di sini, peranan para bankir sangat penting. Seperti pemain dalam bisnis keuangan, mereka, entah politikus nasional ataupun para pentolan ekstremis lokal, selalu mencari peluang untuk melipatgandakan modal murka sehingga mencapai tingkat ancaman nasional.
Simpanan murka tak harus segera dipakai, melainkan dapat diadministrasikan. Dalam politik agung seperti dipraktikkan para diktator organisasi murka mencapai tingkat yang subtil dalam bentuk doktrin murka yang menstigma lawan politis.
Sirkulasi murka dalam bank lokal dimobilisasi ke tingkat nasional, dan bank nasional memainkan cadangan murka nasional untuk destruksi besar-besaran. Dalam revolusi, demikian Sloterdijk, cadangan murka nasional diboroskan sampai terjadi inflasi nilai yang menerjang batas-batas hukum dan moral.
Penjelasan Sloterdijk itu tentu tidak asing bagi kita. Bisnis murka marak di dalam masyarakat yang mengalami konflik identitas, krisis solidaritas, dan disparitas sosial ini. Harus dikatakan bahwa ekonomi pasar berkaitan dengan ekonomi murka. Multiplikasi dan ekspansi bank murka, para bankir dan nasabah berjalan seiring penyebaran pengalaman akan ketidakadilan ke dalam populasi.
Setiap sukses perusahaan dan bisnis yang mengabaikan keadilan dalam globalisasi ekonomi pasar ini memicu pertumbuhan bisnis dalam ekonomi murka di kedalaman psikologi masyarakat. Ini semua cerita lama tentang ressentiment yang tidak masuk dalam kalkulasi ekonomi pasar. Harapan kita adalah bank-bank murka akan bangkrut, seperti Lehman Brothers, dan bisnis-bisnis murka ditinggalkan.
Harapan ini tentu seperti menunggu jawaban dari entah sebuah filsafat politik atau dari spiritualitas karena dilukainya rasa bangga yang menabung murka tersebut memiliki akar-akarnya tidak hanya dalam dunia sosial, melainkan juga spiritual.
Sloterdijk sendiri berpandangan, waktu (sejarah) tercipta lewat murka Allah yang mengusir manusia dari keabadian (Firdaus). Sejak itu, sejarah juga berisi revolusi-revolusi besar dan kecil dan akan berakhir dengan murka Allah yang meluap pada hari kiamat. Murka adalah motor sejarah yang sesungguhnya. Murka yang oleh agama-agama monoteistis dilambungkan sampai ke langit-langit teologis ini hanya dapat dipadamkan lewat cinta kasih dan pengampunan yang mencapai akar-akar spiritualitas manusia.
Jawaban lain terdapat dalam ”logika” bisnis murka itu sendiri. Seperti bank- bank pada umumnya, bank murka hidup dari kepercayaan para nasabahnya. Ke- percayaan ditarik jika para nasabah menyadari telah ditipu para bankir murka sehingga agresivitas tidak lagi memesona mereka. Namun, untuk itu, globalisasi ekonomi pasar yang menerpa suatu negeri dan birokratisasi hukum harus diimbangi dengan penguatan solidaritas sosial dan pemerataan keadilan distributif.
Kenyataannya, ekonomi pasar dan birokrasi hukum terus berekspansi tanpa memperhitungkan ekonomi murka sehingga para bankir murka dapat terus berbisnis, mungkin sampai murka apokaliptis mengakhiri semua(?)
Opini Kompas 5 Mei 2010