30 November 2009

» Home » Jawa Pos » Layunya Kredit Perbankan

Layunya Kredit Perbankan

Setelah dihajar bencana hukum bertubi-tubi, pemerintah kembali menerima kabar yang tidak mengenakkan dari sektor perbankan. Pertumbuhan kredit perbankan layu, bahkan posisi saat ini merupakan titik terendah sejak Juli 2006.
Bahkan, hingga awal November, pertumbuhan tahunan (year on year) kredit hanya 7,3 persen. Dan, tentu target pertumbuhan kredit yang dicanangkan BI untuk tahun ini sebesar 11 persen tertatih-tatih. Meski sebenarnya target kredit perbankan itu telah dipangkas pada triwulan II/2009. Semula pertumbuhan kredit yang ingin dicapai pada akhir tahun ini tumbuh 15 persen dari posisi di akhir 2008.

Dalam tinjauan kebijakan moneter edisi November 2009, BI menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menjadi rintangan membiaknya kredit perbankan adalah koreksi tajam untuk jenis kredit modal kerja. Penurunan terbesar terjadi di sektor industri dan pertambangan.

Penurunan kredit dua sektor tersebut sangat berpengaruh mengingat penyaluran kredit dua sektor itu tercatat sebagai yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Sedangkan, kredit konsumsi masih mencatatkan pertumbuhan yang tinggi.

Selain itu, menurut data BI, pelemahan terjadi karena kredit valuta asing anjlok. Data BI per akhir September mencatat, kredit valas year to date turun hingga Rp 53,1 triliun atau minus 20,9 persen. Sedangkan, kredit rupiah sebenarnya tetap naik hingga Rp 111,5 triliun atau 10,6 persen.

Dengan kondisi kredit perbankan seperti saat ini, tentu sulit mencegah hadirnya kecemasan karena laju pertumbuhan kredit perbankan tahun depan harus dipacu cukup tinggi, yakni 17-22 persen. Hal itu bertujuan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi pada 2010.

Peran Kredit

Mengapa harapan terhadap kredit perbankan begitu penting bagi pertumbuhan ekonomi tahun mendatang? Pertama, mendorong kinerja konsumsi rumah tangga yang pada gilirannya berpengaruh terhadap daya beli. Dan, stabilnya tingkat inflasi menjadi salah satu indikasi bahwa daya beli rumah tangga sangat terbuka lebar.

Pertumbuhan kredit saat ini pun cukup ditolong dengan topangan dari pertumbuhan kredit konsumsi yang hampir mencapai 52 persen. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang ditopang dengan konsumsi masih bisa diharapkan. Memang pertumbuhan ekonomi yang dikerek oleh konsumsi masih kurang berkualitas. Tetapi untuk saat ini, kekuatan itu menjadi salah satu sandaran harapan kita akan pertumbuhan ekonomi, khususnya pada tahun depan.

Kedua, mendorong kinerja investasi. Meski share kredit investasi dari total alokasi kredit perbankan masih di bawah kredit konsumsi dan modal kerja, hal itu tidak berarti alokasi kredit investasi tahun ini tetap atau sama dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan yang tipis tentu masih mempunyai dampak ekspansi pada sektor riil. Hal itu tentu juga turut meningkatkan pertumbuhan.

Ketiga, gerak perlambatan untuk industri yang berorientasi ekspor ataupun yang terkait dengan kandungan impor yang begitu terasa pada tahun ini mulai melaju kembali. Kredit untuk sektor itu akan menjadi energi usaha-usaha tersebut. Sehingga, tahun depan secara perlahan ekspor kembali menjadi mata air pertumbuhan.

BI Rate

Tingginya bunga kredit juga patut menjadi perhatian. Meski BI telah menurunkan suku bunga acuannya (BI rate) sebanyak tujuh kali, yakni dari November 2008 (9,50 persen) hingga Juli 2009 (6,5 persen), tampaknya, dunia perbankan nasional belum merespons dalam bentuk penurunan suku bunga kredit.

Idealnya, dengan turunnya BI rate, bank-bank besar yang memiliki cukup likuiditas seharusnya memberikan contoh bagi bank-bank papan menengah ke bawah dalam menurunkan suku bunga deposito dan kemudian bunga kredit. Kenyataannya memang anjlok dari harapan. Penurunan BI rate memang telah direspons secara langsung dengan penurunan suku bunga tabungan dan deposito. Tetapi, untuk suku bunga kredit, perbankan berdalih bahwa dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikannya.

Salah satu upaya yang dilakukan BI untuk memaksa perbankan menurunkan suku bunga kredit adalah melalui kesepa­katan dengan 14 bank yang menguasai 80 persen total aset perbankan nasional. Yakni, memangkas suku bunga dananya hingga maksimal BI rate plus 150 basis poin (bps) atau saat ini 8 persen.

Bahkan, sejak 1 September 2009, BI mengharapkan suku bunga simpanan perbankan berada pada tingkat 50 basis poin di atas BI rate atau maksimal 7 persen. Sehingga, ada efek positif penurunan bunga kredit.

Selain itu, pengawasan yang dilakukan BI terhadap kepastian penurunan suku bunga. Yakni, dengan mengawasi secara ketat net interest margin (NIM), yang merupakan selisih antara biaya dana dan bunga kredit yang diberikan kepada nasabah, dari setiap bank yang telah menurunkan suku bunga simpanan nasabahnya.

Tentu kita berharap, dalam jangka pendek pengawas BI tersebut cukup efektif. Meski fakta mengabarkan sebaliknya. Hasil survei yang dilakukan BI menunjukkan bahwa pada kuartal ketiga, rata-rata suku bunga kredit masih bertengger pada level 15,13 persen atau hampir dua setengah kali lipat lebih tinggi daripada BI rate. Memang ada penurunan bila dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang mencapai 15,83. Tetapi, penurunan yang sangat tipis itu tentu tidak mempunyai efek yang diharapkan.

Sekali lagi, kita berharap pada perbankan nasional agar melakukan langkah besar bagi terciptanya kondisi ekonomi yang lebih cerah tahun depan. Sehingga, keran kredit yang dialirkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan. (*)

*) Agus Suman, guru besar ilmu ekonomi Universitas Brawijaya, Malang
opini Jawa Pos 30 November 2009