30 November 2009

» Home » Kompas » Pelajaran dari Ibu Minah

Pelajaran dari Ibu Minah

Profesor Sutandya W pernah mengatakan, hukum di Indonesia hanya galak kepada orang miskin, tidak berani kepada orang kaya.
Ungkapan itu amat tepat untuk menggambarkan kasus Minah yang dihukum percobaan 1,5 bulan oleh Pengadilan Negeri Purwokerto karena mengambil tiga buah kakao.
Peristiwa ini melengkapi keterpurukan kinerja lembaga peradilan sebagai benteng keadilan. Masyarakat bukan saja kian tidak percaya, tetapi juga frustrasi dengan kinerja penegakan hukum yang menjauh dari rasa adil.

 

Survei LP3ES, 14-15 November 2009, mengindikasikan, jika tahun 2005 tingkat kepuasan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum mencapai 51 persen, tahun 2009 melorot menjadi 19 persen.
Meski kepuasan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum merosot, tidak berarti upaya menegakkan keadilan terhenti karena keadilan adalah kebutuhan kemanusiaan sepanjang masa.
Pelajaran penting dari kasus Minah adalah bagaimana memberikan perlindungan hukum dan keadilan bagi masyarakat miskin. Selama ini penyelesaian sengketa melalui lembaga pengadilan cenderung menyulitkan dan memberatkan masyarakat tidak mampu secara sosial dan ekonomi, terutama yang tinggal di pinggiran dan terisolasi. Akses masyarakat miskin amat terbatas dalam menjangkau lembaga pengadilan dan pengacara yang ada di perkotaan. Minah harus mengeluarkan Rp 250.000 hanya untuk pengambilan tiga buah kakao yang harganya Rp 30.000. Belum lagi kerugian waktu, kelelahan fisik dan batin selama mengikuti proses peradilan.
Dimensi sosial
Sengketa antara Minah dan PT Rumpun Sari Antan, dan mungkin banyak kasus serupa di tempat lain, sebenarnya merupakan fenomena sosial yang selalu melekat dalam pergaulan dan kehidupan masyarakat. Kondisi semacam ini tidak selalu mengindikasikan tindak kejahatan. Terlebih lagi motifnya bukan untuk memperkaya diri. Tindakan Minah dapat diartikan sebagai protes atas sikap perusahaan yang kurang mampu menjadi tetangga yang baik bagi warga sekitarnya. Karena itu, perkara ini sebenarnya dapat diselesaikan melalui musyawarah, baik oleh desa maupun kepolisian.
Dalam sistem peradilan formal, hakim, jaksa, dan kepolisian nyaris kurang memiliki pengetahuan mendalam tentang masalah sosial dari korban, seperti latar belakang keluarga dan mata pencarian. Yang dilihat hanya tindak kriminalitasnya sehingga saat memutuskan perkara, aspek sosial korban cenderung diabaikan.
Orientasi kerja pada hasil daripada proses membuat lembaga peradilan lebih mengejar kuantitas, seperti berapa perkara yang ditangani dan kecepatan menyelesaikan, daripada mempertimbangkan kualitas putusan secara jujur dan adil. Akibatnya, dalam menangani perkara, lembaga peradilan sering terjebak menggunakan ”kacamata kuda”, hanya melihat aspek teknis hukum.
Ini berarti reformasi keadilan yang komprehensif, dengan menghubungkan reformasi kelembagaan hukum di tingkat pusat dan aspirasi dari masyarakat untuk mendapat akses dan layanan hukum yang lebih baik, amat penting dilakukan sehingga dapat membawa keadilan lebih dekat bagi masyarakat. Pendekatan ini diharapkan akan menjawab persoalan rendahnya kepercayaan dan bias hukum, terutama oleh masyarakat miskin, saat berupaya mencari keadilan.
Mediasi desa
Menyimak kasus-kasus sengketa masyarakat dan perusahaan, memberikan indikasi betapa karakter instansi hukum yang selalu berklaim penegakan hukum berpola penegakan hukum eksklusif terkesan kurang bekerja sama dengan masyarakat. Di sisi lain, otoritas hukum formal yang dibangun negara justru kurang berfungsi maksimal. Karena itu, salah satu alternatif yang paling layak adalah melibatkan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui pelembagaan mediasi desa.
Selama ini masyarakat lebih banyak memilih kepala desa (42 persen) dan tokoh masyarakat (35 persen) ketimbang pengadilan (4,0 persen) dalam menyelesaikan masalahnya (Bank Dunia: Justice for Poor, 2007).
Di beberapa negara tetangga, pendekatan arbitrase (ADR) telah diperkenalkan sebagai bagian upaya meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Di Filipina misalnya, lembaga mediasi dikembangkan hingga tingkat pedesaan melalui keputusan presiden. Tercatat sekitar 42.000 lembaga mediasi didirikan di seluruh Filipina dan jenisnya amat variatif, mulai untuk perselisihan tenaga kerja, sumber daya alam, hingga pencurian ringan.
Bagi Indonesia, sebenarnya tidak sulit karena masyarakat memiliki akar sosial-budaya untuk secara adil menyelesaikan sengketa. Yang sulit justru pada kemauan politik pemerintah untuk melembagakan. Ironis memang, padahal pembangunan hukum nasional seharusnya menyediakan kerangka kerja nyata untuk ”mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia”, sebagaimana ditegaskan UUD 1945.

Suhardi SuryadiDirektur LP3ES
Opini Kompas 1 Desember 2009