Selama ini Tegal identik warung tegal (warteg). Tak bisa dimungkiri, di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) banyak terdapat warteg.
Tapi, keberadaan orang Tegal di perantauan sebagai penjual martabak relatif kurang dikenal publik. Nama martabak lebaksiu juga kurang populer.
Orang akan lebih mengenal martabak bangka atau malabar. Sebutan martabak lebaksiu hanya digunakan dalam lingkup lokal masyarakat Tegal. Nama Lebaksiu diambil dari nama kecamatan di Kabupaten Tegal, sekitar 21 km selatan Kota Tegal.
Penjualnya pun jarang menyebut martabak lebaksiu. Mereka menuliskan pada kaca gerobak dagangan dengan jenis produknya. Dua jenis martabak yang terkenal yaitu martabak telur dan martabak terang bulan atau martabak manis.
Hal ini berbeda dari pengusaha warteg yang lebih suka menuliskan akronim warteg pada tembok depan warungnya.
Padahal, perkembangannya cukup signifikan. Bukan hanya di Jabodetabek melainkan tersebar di hampir semua kota di Indonesia.
Dalam kurun waktu 1950-1990, selain Jabodetabek sebaran pedagang martabak asal Lebaksiu sampai Cirebon, Bandung, Cianjur, Kuningan, Tasikmalaya, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Palembang, Bukittinggi, Pekanbaru, Sampit, Bontang, Mataram, Kupang, Denpasar, dan Jayapura. Melebihi sebaran warteg.
Berbicara martabak lebaksiu tak terlepas dari seorang tokoh bernama Abdullah bin Hasan Almalibary, pemuda asal India. Awal kisahnya, pada 1930-an di Semarang Ahmad bin Kiai Abdul Karim pemuda dari Desa Lebaksiu Kidul berkenalan dengan Abdullah.
Ketika diajak Ahmad ke Lebaksiu, Abdullah kepincut Masni binti Kiai Abdul Karim yang tak lain adalah adik kandung Ahmad. Tahun 1935 muda-mudi tersebut akhirnya berjodoh dan Abdullah menetap di Lebaksiu. Dari tangan Abdullah martabak lebaksiu bermula.
Abdullah membuat mertabak berbeda dari makanan serupa dari India. Di India dikenal antara lain nan, roti cane, chappaty, purata, poory, dan samosa. Dengan dasar jenis makanan India, martabak lebaksiu mengalami modifikasi disesuaikan selera lidah Indonesia.
Tanpa Kare Martabak telur terbuat dari adonan tepung terigu yang dibentuk bulat sebesar telur ayam, kemudian dibanting, dilebarkan. Isinya campuran telur, sayuran, daging cincang yang telah dimasak dengan bumbu-bumbu. Digoreng dengan penggorengan khusus dan bisa langsung dihidangkan tanpa kare kambing/gulai.
Martabak manis dibuat dengan bahan-bahan dasar adonan tepung terigu, gula, dan telur. Isi atau bumbu-bumbunya adalah olesan mentega/margarine, susu, selai pepaya, selai nanas, meisyes, kacang, ketan hitam, atau parutan kelapa.
Kerabat dekat istri Abdullah dan para tetangganya tertarik belajar pada keahlian pria India itu, yang akhirnya berkembang menjadi sumber penghidupan masyarakat Lebaksiu.
Tahun 1950-an, terjadi modifikasi baik bentuk, ukuran, maupun rasa. Terkolaborasi masyarakat Tegal sebagai pengrajin logam, cetakannya terbuat dari besi, perunggu, atau kuningan cor dengan ukuran bervariasi.
Abdullah meninggal dunia tahun 1956 dan istrinya, Masni, menyusul tahun 2000. Pasangan tersebut meninggalkan dua anak laki-laki, dua anak perempuan, dan sudah barang tentu karya besar, martabak lebaksiu.
Sebagaimana kultur masyarakat pedesaan pada umumnya, jika seseorang berhasil menekuni suatu usaha akan diikuti anggota masyarakat yang lain.
Semua atas dasar solidaritas, tolong-menolong, dan keikhlasan di antara mereka. Tidak ada motif persaingan yang tidak sehat. Masing-masing mencari tempat yang tidak menimbulkan ekses saling terganggu. Hal itu yang membuat persebarannya di berbagai kota.
Kini, tukang martabak asal Lebaksiu yang tersebar di seluruh Indonesia berjumlah sekitar 10.000 orang. Mereka bersatu dalam wadah Al-Marjan sebagai organisasinya.
Satu di antara prestasinya, 18 Mei 2008 komunitas tersebut mampu memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (Muri). Bertepatan HUT Ke-47 Kabupaten Tegal, 70 ”tukang” martabak membuat martabak berukuran panjang 120 cm, lebar 80 cm, dan tebal 10 cm.
Penjual martabak berkarya untuk menghidupi keluarga, sekaligus membawa nama harum daerahnya. ”Coba bae Mas, delengen nang (coba saja Mas, lihat di-Red) almarjan dot com (almarjanindonesia.com-Red),” kata Ali Murtado, pedagang martabak asal Lebaksiu yang mangkal di kawasan jajanan Pasar Lama Tangerang.
Dengan logat tegalan yang kental, ia semangat bercerita tentang asal-usul martabak lebaksiu.
Rupanya dia tidak gaptek (gagap teknologi), jangan-jangan promosinya pun lewat internet. Memang, pengetahuan penting, apapun profesinya.
Terpenting, lebih baik kotor bentuk pekerjaannya secara dohir, ketimbang kotor uangnya seperti uangnya koruptor. (10)
-- Sumarno, asal Tegal, Sekretaris Persatuan Guru Swasta (PGS) Provinsi Banten
Wacana Suara Merdeka 1 Desember 2009