Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan pemerintah terkait penghentian ujian nasional.
Masyarakat sudah memenangkan tiga kali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan Mahkamah Agung (Kompas.com, 25/11). Akankah Departemen Pendidikan Nasional bersikeras melaksanakan ujian nasional (UN)?UN seolah menjadi wajah utama Depdiknas. UN yang dilaksanakan demi memetakan mutu pendidikan dan standardisasi pendidikan di negeri ini dalam praktiknya sebatas dipahami sebagai alat penentu kelulusan. Semua energi aparat Depdiknas, guru, dan siswa hanya bermuara pada UN sehingga berbagai upaya perbaikan kualitas pendidikan nyaris tak terdengar.
Jika sekolah tanpa UN, apakah berarti kualitas pendidikan tidak terkendali? Masyarakatlah yang akhirnya menilai mutu lulusan sekolah kita. Dengan konteks persekolahan yang beragam, kiranya ada prioritas yang lebih mendesak dilakukan Depdiknas, yakni membangun proses dan sarana pendidikan yang merata di seluruh negeri. Di mata para guru, masalahnya menjadi sederhana, silakan UN dilaksanakan, tetapi jangan dijadikan sebagai alat penentu kelulusan siswa. Dalih, UN hanya salah satu penentu kelulusan, dalam praktik persentase terbesar ketidaklulusan disebabkan oleh nilai UN yang tidak memenuhi persyaratan.
Yang menjadi semangat penolakan terhadap UN adalah rasa keadilan. Anak-anak telah terlalu lama diperlakukan sebagai pihak yang tidak penting karena mereka tidak dapat berhasil di dunia akademis. Anak-anak—yang tidak lulus UN—dianggap tidak mampu memasuki percakapan intelektual yang didefinisikan orang-orang yang memiliki posisi dalam kendali akademis. Para guru pun merasa pahit saat melihat standar didefinisikan seluruhnya dari segi kerangka keunggulan akademis, padahal guru mengetahui, ada banyak aspek yang dibutuhkan untuk membentuk pribadi seorang anak.
Kiranya Mendiknas perlu menghentikan UN dan memfokuskan pada upaya-upaya perbaikan sarana pendidikan. Selama gedung-gedung sekolah yang rusak di seluruh Tanah Air belum mengalami perbaikan dan memadai, tidak bisa diharapkan sebuah hasil evaluasi yang standar. Standar nasional pendidikan di negeri ini mensyaratkan adanya standar isi, proses, pendidik, sarana, pengelolaan, dan pembiayaan, sebelum akhirnya berbicara tentang standar penilaian (evaluasi) pendidikan. Artinya, standardisasi evaluasi harus didahului standardisasi tujuh aspek lain di semua sekolah di negeri ini tanpa kecuali, baik untuk sekolah negeri maupun swasta.
”Soal gedung sekolah yang rusak sudah saatnya diselesaikan. Kita tutup buku pada 2010 dan beralih kepada persoalan lain,” kata Mendiknas Mohammad Nuh (Kompas, 28/10).
Data dari Rembuknas Pendidikan, Juni 2007, menunjukkan, pada 2003 ada 531.186 ruang kelas rusak. Dari jumlah itu, 360.219 ruang sudah diperbaiki. Sisanya akan diperbaiki sebagai program 2008. Kerusakan terbesar dialami gedung-gedung SD, terutama di Pulau Jawa, 52 persen (276.695 unit).
Meski Mendiknas terdahulu hingga akhir masa jabatan tak kunjung bisa mewujudkan janjinya untuk perbaikan gedung sekolah rusak, Mendiknas M Nuh telah menunjukkan pilihan prioritas persoalan pendidikan yang harus diselesaikan. Kerusakan gedung dan ruang kelas SD di berbagai pelosok negeri ini, selain mengancam program wajib belajar 9 tahun yang harus segera tuntas, rapuhnya gedung-gedung itu mengancam keselamatan siswa dan guru yang melakukan pembelajaran dalam keseharian.
Tidak jarang atap sekolah ambruk saat proses pembelajaran sedang berlangsung pun patut disyukuri karena roboh saat tidak ada aktivitas di bawahnya.
Hanya dengan ketenangan sajalah proses pembelajaran dapat berlangsung dengan nyaman. Jika demikian, masih relevankah membincangkan ujian nasional dan membincangkan mutu pendidikan, standar pendidikan, atau angka-angka kelulusan, sementara kian hari gedung-gedung sekolah roboh berantakan?
Becermin pada pengalaman Jepang, patut ditegaskan, pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua anak dengan kualitas sama. Kondisi Indonesia saat ini sama dengan kondisi Jepang pada tahun 1960-an sampai 1970-an. Saat itu angka partisipasi SD dan SMP di Jepang mencapai 95-97 persen, sementara angka partisipasi SMA 50 persen. Yang dilakukan Pemerintah Jepang bukan mendirikan sekolah unggul, tetapi membangun sekolah dengan fasilitas sama yang bisa mendidik anak-anak tanpa ada perbedaan.
Memang, masalah pemerataan pendidikan yang mendesak diselesaikan Mendiknas adalah membereskan sarana fisik atau menyediakan gedung sekolah yang layak, sekaligus menghentikan ujian nasional.
Opini Kompas 30 November 2009