Medio Oktober 2008- saat semua negara sedang sibuk mengatasi krisis kapitalisme Amerika Serikat (AS), di sebuah acara halal bihalal LSM se-Jakarta saya membangun analisis bahwa krisis AS ini akan pulih melalui pertempuran militer, industri perminyakan dan pembentukan persepsi melalui media massa guna membangun kepercayaan publik pada industri keuangan.
Sejurus acara itu berlangsung, seorang teman berbisik bahwa ada bank yang terkena dampak krisis. Saya nyaris tidak percaya. Sikap ini tidak saya tunjukkan secara terbuka disebabkan saya belum melihat bagaimana kinerja perbankan nasional. Segera sesampai di rumah saya membuka internet dan masuk ke situs Bank Indonesia (BI). Hasilnya menggembirakan. Rasio kredit terhadap tabungan dan deposito (LDR) mencapai 77,2 persen. Kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM/CAR) 16,2 persen dan kredit bermasalah 3,8 persen.
Dengan demikian sesumbar Pemerintah bahwa Indonesia mempunyai daya tahan dalam menghadapi krisis global memiliki rujukan yang benar. Saya yakin pembaca setia Seputar Indonesia masih ingat, saat kita sedang sibuk ber-halal bihalal di Idul Fitri 1429 H, semua media massa menyuguhkan berita sibuknya Istana Negara merespons krisis global. Publik diyakinkan oleh otoritas fiskal dan moneter bahwa krisis 2007/2008 adalah berbeda dengan krisis 1997/1998.
Kondisi Indonesia jauh lebih baik, kata mereka dengan merujuk besarnya cadangan devisa yang mencapai USD50,58 miliar per 31 Oktober 2008. Namun, ternyata bisikan teman tadi benar. Di lingkungan perbankan santer beredar bagaimana banyaknya bank yang merugi dalam transaksi derivatif dan ruginya mereka sekitar Rp1,6 triliun karena menempatkan dana di Indover Bank Amsterdam, bank milik BI yang beroperasi dan bermarkas di Den Haag, Belanda.
Tidak kalah santernya adalah soal kalah kliringnya Bank Century. Maksudnya, dalam transaksi antarbank, Bank Century saat itu tidak mampu memenuhi kewajibannya. Itu berarti dana bank tersebut di giro BI sudah terkuras. Isu ini berkaitan dengan meningkatnya suku bunga pasar uang antarbank. ***
Para bankir nasional sebenarnya tahu bahwa Bank Century sudah tidak sehat sejak belum digabung dengan Bank Danpac dan Bank Pikko pada 6 Desember 2004. Karena itu banyak perbankan yang menahan diri untuk menempatkan dananya di bank yang dipimpin Robert Tantular, sosok yang dikenal berani berspekulasi dalam bermain di valas.
Ironisnya, dua bulan setelah penggabungan, tepatnya 28 Februari 2005 Bank Century langsung mempunyai posisi modal minimum minus 132,5 persen. Semestinya BI sudah menempatkan bank ini dalam pengawasan khusus. Anehnya, BI hanya memosisikannya dalam pengawasan intensif. Menurut BI, bank dalam pengawasan khusus adalah bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya. Dalam kondisi seperti ini, bank yang bersangkutan dan pemegang saham pengendali diharuskan menyelesaikan permasalahan tersebut dalam waktu enam bulan, dan bisa diperpanjang selama tiga bulan.
Sementara bank dalam pengawasan intensif adalah bank yang juga mengalami kesulitan likuiditas tapi guna menyelesaikannya BI tidak memberikan batas waktu. Penyebab modal minimum di posisi minus 132,5 persen itu adalah karena adanya surat berharga "bodong" bernilai USD203 juta. Lagi-lagi BI tidak mewajibkan Bank Century menyisihkan kualitas aktiva sebesar 100 persen. Tentu saja neraca Bank Century terlihat baik, walau yang sesungguhnya penuh dengan kebocoran. Kebobrokan bank ini ternyata berlanjut hingga ke 2007.Yakni dilanggarnya batas maksimum pemberian kredit dengan membeli surat berharga valas berkualitas rendah.
Karena terus menerus dikelola dengan buruk, maka busuknya Bank Century membutuhkan injeksi pinjaman BI. Per 30 Oktober 2008 dengan posisi CAR 2,35 persen Bank Century mengajukan fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) Rp1 triliun dengan disyaratkan oleh Peraturan BI bahwa bank harus mempunyai CAR minimal 8 persen. Tapi pada 14 November 2008, melalui ketentuan PBI 10/30 syarat itu berubah menjadi CAR positif, tidak perlu minimal 8 persen. Maka Bank Century mendapat FPJP Rp502,07 miliar. Pada 18 November diajukan lagi FPJP sebesar Rp319,26 miliar tapi hanya disetujui Rp187,32 miliar.
Maka total FPJP mencapai Rp689 miliar. Padahal CAR-nya per 31 Oktober 2008 sudah negatif 3,53 persen. Dalam audit investigatif BPK tidak terdapat temuan bahwa BI juga melanggar ketentuannya sendiri, yakni PBI 10/31 tanggal 18 November 2008. Dalam PBI 10/31 ini ditegaskan ada tiga fasilitas pinjaman darurat perbankan bank dari bank sentral sebagai lender of last resort. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas tapi dalam kondisi normal, maka yang didapat adalah fasilitas likuiditas intrahari (FLI, pinjaman harian dari BI kepada bank) dan FPJP.
Sementara bank yang mengalami hal yang sama tapi dalam kondisi krisis memperoleh bantuan fasilitas pembiayaan darurat (FPD). Semua fasilitas ini harus didukung oleh agunan likuid dan bernilai. Paling tidak memenuhi syarat solvabilitas (kemampuan menyelesaikan kewajiban utangnya karena didukung aset/agunan yang baik).***
Sebenarnya mustahil BI tidak mengetahui kondisi Bank Century yang sebenarnya. Sebab pada 6 November 2008 Bank Century sudah dalam pengawasan khusus. Dengan demikian, nyaris 4 tahun Bank Century lolos dari jeratan pengawasan khusus justru karena perilaku BI sendiri. Menariknya, justru dalam pengawasan khusus itu Bank Century malah menikmati FPJP. Artinya perekonomian kondisi normal karena kalau dalam krisis yang diberikan seharusnya pembiayaan darurat menurut UU 23/ 1999 joUU 3/2004 pasal 11 ayat (4). Dengan FPJP itu, dua hari setelah BI menerbitkan PBI 10/31, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 20 November 2008 memutuskan Bank Century adalah bank gagal berdampak sistemik.
Sebelum keputusan itu dikirim ke Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK, dibentuk berdasarkan Perppu 4/2008 JPSK), sebenarnya telah terjadi pembahasan oleh BI, Departemen Keuangan, dan LPS pada 14, 17, 18 dan 19 November 2008. Pada rapat 20 November itu, BI mengajak KSSK sepakat memutuskan sebagaimana keputusan RDG BI. Hampir semua peserta rapat, walaupun sealiran pemikiran ekonomi, tidak sepakat atas usulan BI. Semuanya memasalahkan kriteria kuantitatif sistemik yang berujung pada simpulan, Bank Century adalah bank gagal tapi tidak sistemik.
Kriteria kualitatif dipakai BI dan Ketua KSSK, yakni dampak psikologis yang tidak jelas bagaimana mengukurnya. Mereka membela diri dengan merujuk ditutupnya 16 bank pada 1 November 1997 yang ternyata berdampak pada perbankan nasional. Pembelaan diri tidak tepat. Karena saat 16 bank ditutup dengan biaya Rp6,8 triliun, sistem perbankan nasional belum mempunyai Lembaga Penjamin Simpanan. Toh akhirnya usulan BI diterima, walau saat rapat KSSK BI tidak memberikan informasi yang sesungguhnya, lengkap dan mutakhir.
Kalau awalnya kebutuhan menambah modal Rp632 miliar karena merujuk CAR Bank Century per 31 Oktober 2008 dari negatif 3,53 persen menjadi 8 persen, maka setelah terjadi pembicaraan informal LPS dengan BI, justru dibutuhkan Rp2,77 triliun karena surat berharga "bodong" yang baru dinilai BI sebagai macet dan harus disisihkan 100 persen. Dengan demikian, hanya dalam waktu tiga hari, yakni sejak 20 November hingga 23 November 2008, CAR Bank Century berubah dari negatif 3,53 persen menjadi negatif 35,92 persen.
Dan dalam rentang 31 Desember 2008 ke 27 Januari 2009, CAR Bank Century negatif 19,21 persen. Baru kemudian pada 30 Juni 2009-24 Juli 2009 modal minimum itu positif 8 persen. Perubahan angka-angka pada modal minimum ini justru membuktikan bahwa Pengumuman LPS No: PENG.002/KE/X/2009 pada berbagai media massa tanggal 26 Oktober 2009 yang menyebutkan ekuitas negatif per 20 November 2008 langsung Rp6,777 triliun sulit diterima. BPK menyebutkan bahwa tahap pertama penyertaan modal sementara (PMS) LPS sejak 24 Nov 2008 hingga 1 Desember 2008 adalah Rp2,776 triliun.
Tahap kedua sebesar Rp2,201 triliun dilakukan dengan 13 kali penyetoran sejak 9 Desember 2008 hingga 30 Desember 2008. Tahap ketiga Rp1,115 triliun dengan dua kali penyetoran SUN dan sekali penyetoran tunai. Lalu tahap keempat disetor tunai Rp630,22 miliar. Karena Perppu No. 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) ditolak DPR dalam Rapat Paripurna 18 Desember 2008, maka BPK berpendapat bahwa penyaluran dana ke Bank Century setelah tanggal 18 Desember tidak memiliki dasar hukum.***
Sejak awal membuka neraca Bank Century per Juli 2008 hingga Oktober 2008 yang belum diaudit dan tersedia di situs BI, saya sudah menduga bahwa tingginya dana pihak ketiga (DPK) yang tidak masuk dalam skema penjaminan. Jika menggunakan istilah perbankan, maka sejak sebelum digabung hingga injeksi diberikan sampai dengan 18 Desember 2008, Bank Century, BI dan Depkeu dan LPS sebenarnya telah menunjukkan tindakan yang tidak patut dan patuh (improper and uncompliance). Maka wajar saja jika risiko yang ditanggung publik menjadi besar.
Padahal setiap ada risiko pasti ada keuntungan. Lalu siapa yang mendapat keuntungan dari beban risiko yang ditanggung masyarakat Indonesia? Sebelum menjawab hal ini, saya ingin mengemukakan adagium perbankan. Yakni, debitur kecil, bankir tidur nyenyak dan debitur itu sendiri yang pusing bagaimana mengembalikan kewajibannya. Debitur menengah membuat dirinya dan bankir sama-sama tidak nyenyak tidur. Sementara debitur besar justru membuat bankir gelisah di saat debitur kelas kakap ini tidur nyenyak. Hal ini juga berlaku bagi perbankan terhadap bank sentral.
Maka dengan posisi kredit hanya 0,42 persen dibanding total kredit perbankan nasional, DPK-nya hanya 0,68 persen dibanding DPK perbankan nasional, dan asetnya hanya 0,72 persen dibanding total aset perbankan, Bank Century sama dengan debitur kecil. Artinya, jika bank sentral patut dan patuh pada regulasi dan sistem pengawasannya, Bank Century yang layak menyelesaikan sendiri penyakit yang dibuatnya sedangkan bankir BI tidur nyenyak dan rakyat tidak perlu dibebani.
Dan untuk menjawab siapa yang diuntungkan dari risiko yang diemban masyarakat melalui LPS, kita bisa menjawab dengan, kenapa LPS menyertakan PMS-nya tunai Rp5,312 triliun dan kenapa dibenarkan bisa langsung digunakan tunai untuk DPK sebesar Rp4,018 triliun? Belajar dari model talangan (bailout) tahun 1997/1998 dengan istilah rekapitalisasi perbankan, dan model penalangan di AS terhadap Citibank dan industri perbankan lainnya, nyaris tidak bersifat tunai. Penyertaan itu dilakukan dalam bentuk obligasi pemerintah. Ini dilakukan LPS terhadap Bank Century pada setoran tanggal 23 Desember 08 sebesar Rp445,25 miliar, tanggal 4 Februari 2009 Rp820 miliar dan 24 Februari 2009 Rp185 miliar.
Lalu saya teringat pada halal bihalal 1430H yang dihadiri beberapa para pemimpin redaksi media massa cetak. Saya mengatakan, audit Bank Century akan mentok jika Bank Century mencairkan tunai. Nah, jika melihat aliran DPK sebesar Rp4,018 triliun berbentuk tunai, saya khawatir kita kesulitan menelusuri lebih lanjut ke mana dana itu mengalir. Akhirnya saya berkesimpulan, Bank Century adalah bank kecil yang menyusahkan dan akhirnya membawa korban.
Dengan situasi seperti itulah saya pun menggagas agar DPR menggunakan angket. Alasan saya waktu itu di ruang wartawan DPR RI saat diselenggarakan diskusi adalah agar DPR belajar secara proporsional dan profesional menggunakan hak-haknya dalam menjunjung tinggi kepentingan publik. Bayangkan, untuk kerugian keuangan negara saja memunculkan pelbagai penafsiran walau peraturannya sudah jelas. Pernyataan Presiden yang menginginkan keterbukaan dan akuntabilitas untuk soal ini seharusnya menjadi kenyataan bukan sekadar omongan.
Tanpa kenyataan, bukan saja kasus ini memberi gambaran buruknya akuntabilitas publik, juga rendahnya pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara. Kita tidak membutuhkan pernyataan yang membenarkan, tapi kebenaran yang didukung dengan kenyataan. Jika tidak, masyarakat akan makin muak digulung semunya kebenaran hukum positif.(*)
Ichsanuddin Noorsy
Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
Opini Okezone 30 November 2009
30 November 2009
Bank Century, si Kecil yang Membawa Korban
Thank You!