30 November 2009

» Home » Solo Pos » Topeng dan Kehidupan.....

Topeng dan Kehidupan.....

Korupsi istilah beken, bikin batuk tak terobati. Warga miskin tak dilayani gratis di Puskesmas. Jatah mereka diembat pejabat nakal. Batuk mereka tetap bikin gatal, tenggorokan tak berani bilang ada korupsi, karena sudah ditakuti.

Realitas semacam itu sudah dirasakan masyarakat hingga pelosok desa. Semua merasakan dampak penyakit kronis, korupsi. Sudah terasa lama, meski rezim berganti-ganti.
Ramadhan KH, wartawan dan sastrawan, pernah menengarai penyakit ini bakal terus menjangkiti bangsa ini. Ditulisnya novel Royan Revolusi(1970). Idrus, tokoh dalam cerita itu, berjuang melawannya meski sendirian, tanpa kawan.


Berbekal kekuatan hati nuraninya dan kejernihan pikirnya, Idrus melawan kebiasaan salah yang jadi biasa, kolusi dan penyuapan. Ia pun menghadapi kegetiran. Kenyataannya topeng lebih menarik, dan mengelabui.
Korupsi merupakan kata popular, yang bikin biaya pendidikan tetap tinggi. Mestinya semua elemen masyarakat bisa dapat buku murah dan fasilitas pendidikan memadai, tapi justru duit penerbitannya dana pembangunan pendidikan dijarah secara massal untuk dibagi-bagi.
Ini sudah menjadi kolusi dan korupsi yang “berbentuk federasi”, mulai dari Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan belahan lain negeri ini.
Ramadhan KH pun pernah mengingatkan melalui novelnya Kemelut Hidup (1975), yang kemudian dicetak ulang di Pustaka Jaya dua tahun kemudian; bahwa jihad paling utama diperlukan yaitu melawan nafsu dan godaan.
Tokoh ciptaan Ramadhan dalam novel ini, Abdurahman, dihadapkan iming-iming harta, tahta dan wanita —agar mau mengkhianati lingkungannya, juga nuraninya. Di tengah situasi yang rusak, Abdurahman tersandung-sandung dan nyaris tergulung.
Dalam novel itu, ayah drumer Gilang Ramadhan itu, menggambarkan Abdurahman sebagai orang sehat, yang berada di lingkungan yang sakit dan penuh virus. Tameng kata hati dan barikade nurani menyelamatkannya, meski kalah (sementara) dari kebatilan dan kejahatan. Sungguh topeng lebih dilihat sebagai wajah asli.
Bermula bermain-main kekuasaan, tarikan perbuatan kolusi dan korupsi pun susah dihindari —seperti isi rekaman pembicaraan vulgar antara petinggi lembaga penegak hukum tinggi dan Anggodo, adik tersangka kasus korupsi Anggoro Widjojo, yang dibiarkan dan diberi jalan lari ke luar negeri.
Rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi—terdengar sungguh mengerikan. Walaupun sebenarnya konfirmasi dari bisik-bisik selama ini.
Mafia hukum, makelar kasus, atau sindikat peradilan telah mengepung negeri ini. Kemudian, sejumlah petinggi lembaga hukum tinggi panik. Jenakanya, para petinggi itu justru bermain komedi —calon tersangka di depan mata dibiarkan, tapi kambing hitam, alibi dan kilah di seberang lautan malah dicari-cari. Republik ini telah dirusak.
Skandal besar, adalah ulangan memalukan peristiwa masa lalu, seperti ditulis Ramadhan KH dalam Ladang Perminus (1990). Dalam novel yang dianggap kontroversial di tengah kekuasaan otoritarian di masa lalu itu berkisah tentang skandal besar di perusahaan BUMN.
Perusahaan perminyakan besar itu dijarah dari dalam dan kekuasaan besar sebuah negeri.
Kegetiran hidup justru dialami Hidayat, tokoh yang tetap setia dengan nuraninya dan pandu idealismenya. Ia dijegal berkali-kali oleh Kahar, salah satu pimpinan BUMN itu, yang selalu diagungkan bak malaikat, justru saat berperilaku jahat.
Pembunuhan karakter, penyebaran isu sesat, dan perancangan konspirasi dirancang matang, agar bisa menjegal orang yang tak mau diajak jahat.
Saat ada audit, semua penjarah takut alang kepalang. Hingga jalan alternatif ala kejahatan dilakukan —fitnah busuk, agar orang-orang yang dianggapnya berbahaya bisa dijebak dan tak lagi bisa bergerak.
Hidayat dan kawan-kawannya yang lurus pun dirumahkan, dengan isu yang amat menyakitkan mereka. Hingga mereka pun menyangka: Kejahatan selalu menang di negeri ini (?), apalagi kemudian diketahui saat Kahar meninggal dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
“Dunia sering salah sangka…,” kata Hidayat, dalam beberapa pentas teater mengadaptasi novel ini. Ia kecewa, jatuh sakit.
Dalam perenungannya yang getir di rumah sakit, ia semakin diganggu kegalauan –juga picu kesadarannya. Adilkah? Betulkah pahlawan adalah orang-orang yang mengkhianati dan mencuri uang rakyat dan negara?
Hidayat dihadapkan sebuah kenyataan—menghadapi kekalahan hidup dengan jiwa besar, meski berat dan sulit…Dan, setiap episode kehidupan tetap meninggalkan pertanyaan: Apakah kita masih punya banyak topeng? -

Oleh : YA Sunyoto Wartawan SOLOPOS
Opini Solo Pos 30 November 2009