Oleh: Fadly Rahman
(Dosen Sejarah di Unpad)
Di samping makna utamanya sebagai bagian dari rukun Islam yang dijalankan bagi mereka yang mampu secara spiritual, fisik, dan material; ibadah haji merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sejarah dan tradisi masyarakat Islam Indonesia. Dalam >Hikayat Hasanuddin yang dikarang sekitar tahun 1700-an, dikisahkan ajakan naik haji Sunan Gunung Jati kepada putranya, Hasanuddin. Ajakan dalam hikayat tersebut menandakan bahwa berhaji sudah mentradisi sejak lampau di nusantara.
Kesan bahwa orang Indonesia yang lebih mementingkan haji daripada bangsa lain pun memang menjadi perhatian menarik sejak lama. Sebagaimana dicatat Martin van Bruinessen dari laporan The Haddj: Some of its Features and Functions in Indonesia -nya Jacob Vredenbregt (1962), pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah jamaah haji dari Hindia Belanda (baca: Indonesia masa kolonial) berkisar 10 dan 20 persen dari seluruh haji asing meski mereka datang dari wilayah yang secara geografis lebih jauh daripada jamaah haji lainnya.
Malah, pada dasawarsa kedua abad ke-20, jumlahnya mencapai sekitar 40 persen dari keseluruhan jumlah jamaah haji. Tingginya penghargaan masyarakat Indonesia terhadap ibadah haji tampaknya menjadi sebab besarnya angka peziarah ke Tanah Suci itu. Hal ini juga merujuk pada atribut sosial, berupa pencitraan status penunai haji sebagai pribadi lain sesudah dirinya menunaikan salah satu bagian dari rukun Islam itu. Mungkin, semacam pengakuan yang ingin diperoleh setelah menunaikannya. Dan, pandangan macam ini pun memang menggejala sejak lama.
Pada masa abad ke-17, berziarah ke Makkah bagi umat Islam nusantara adalah seperti dikatakan Bruinessen semacam 'pengakuan politis' dan 'sumber ngelmu '. Dibilang begitu sebab para penguasa, seperti dari Banten dan Mataram, punya tradisi unik berziarah atau mengirimkan utusan ke Makkah untuk mencari dukungan supranatural dan meminta gelar sultan dari penguasa Jazirah Arab. Meski sebenarnya tidak ada lembaga resmi yang memberikan pengakuan, apalagi memberikan gelar kepada para utusan dari kerajaan nusantara; tujuan mencari pengakuan ini benar adanya. Mereka memandang syarif besar penguasa wilayah Haramain (Makkah dan Madinah) sebagai penguasa Darul Islam yang dapat memberi berkah melalui pemberian gelar sultan.
Maka itu, para penguasa Islam nusantara menyematkan secara mantap gelar sultan (seperti Sultan Agung dari Mataram atau Sultan Ageng dan putranya Sultan Haji dari Banten). Penyematan gelar seusai menunaikan ibadah haji atau mengirimkan utusan ke Makkah tersebut adalah sebuah budaya yang saat itu melekat di nusantara. Hal semacam itu tidak pernah ditemukan dalam tradisi berhaji di Jazirah Arab sekalipun.
Dalam perkembangannya, pada masa kolonial, pandangan awam terhadap penunai ibadah haji juga memuat kesan agung itu, seperti didapati dari pengalaman Raden Adipati Aria Wiranatakoesoema dalam tulisannya Mijn Reis Naar Mekka (Perjalananku Menuju Makkah, 1925) sebagaimana disinggung Dien M Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008). Naik hajinya bupati Bandung itu adalah kesukacitaan tersendiri bagi rakyatnya yang tampak ketika mereka mengantar sang bupati hingga pintu kereta api. Rakyat memandang perjalanan(nya) ke Makkah sebagai perjuangan penuh tantangan dan bahaya, kecil harapan dapat bertemu lagi dengan si penunai ibadah haji apabila Sang Khalik berkehendak mengambilnya. Maka itu, kisah berhaji menjadi perjalanan yang penuh tantangan bagi penunainya.
Selain tantangan, nuansa berhaji masa kolonial sebagaimana dialami Adipati Aria kentara diliputi aspek dan prasangka politis pemerintah terhadap para haji. Sebabnya adalah gerakan Pan-Islamisme yang memunculkan kekhawatiran pemerintah atas berkembangnya pemikiran Islam modern di Hindia. Melalui andil segelintir haji, pemikiran Islam modern digunakan sebagai sarana melepaskan masyarakat dari jerat kolonialisme yang memiskinkan dan membodohkan.
Itulah mengapa, pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, fenomena gerakan sosial yang digerakkan para pemuka agama (haji atau kiai) merebak di berbagai daerah. Dengan penuh pertimbangan politis, pemerintah menerapkan Ordonansi 1859, sebuah pembatasan perjalanan dan monitoring aktivitas jamaah haji. Namun, meski ordonansi itu diterapkan, peran para haji tetap hidup dalam gerakan-gerakan sosial, seperti Arpan (Ciomas), Kasan Mukmin (Sidoarjo), Dermodjojo (Kediri), hingga Haji Misbach (Solo).
Wajar jika masa pergerakan nasional pada awal abad ke-20, atribut 'haji' seperti tersemat pada pelopor nasionalisme: Samanhudi, Agus Salim, dan Oemar Said Tjokroaminoto, sebenarnya lebih pada pengakuan bernuansa politis. Masyarakat masa itu memandang figur-figur haji itu sebagai penyumbang penting tumbuhnya nasionalisme.
Lalu, bagaimana dengan masa sekarang? Tentu, jika dibandingkan masa lalu, pemilik gelar haji masa kini betapa banyak jumlahnya. Namun, hal yang tetap mengakar adalah pencitraan terhadap ibadah haji sendiri secara sosial tetap beroperasi sebagai achieved status bagi si penunainya tentunya dengan konteks berbeda. Gelar haji dan hajjah dengan pencantuman inisial 'H' dan 'Hj' di awal nama seakan tradisi pengakuan yang terkonstruksi secara sosial (atau boleh jadi personal) memaknai haji sebagai serangkaian ibadah dengan gelar sebagai akhir dari pelaksanaannya. Ada yang, misalnya, nyaman membiarkan pencantuman gelar haji di awal nama pada kartu nama hingga kartu undangan pernikahan atau terselip di antara gelar-gelar akademik dan nama.
Barangkali, seperti halnya gelar akademik di mata orang Indonesia, yang dinilai Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya (2000, Jilid I), memuat hubungan dengan status sosial; begitupun gelar haji. Secara ajaib, seakan membuka jalan menuju status 'kebangsawanan' baru. Panggilan 'pak haji' dan 'bu haji' sungguh merupakan fenomena sosial yang unik dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Kebijakan pemerintah sekarang tentu memudahkan siapa pun yang mampu untuk menunaikan haji. Dan, jika berkaca pada figur haji masa silam, pengalaman berhaji masa kini akan lebih bermakna juga jika hakikatnya disalurkan secara sosial untuk membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Hal ini sesuai yang disyariatkan Islam sebagai wujud 'hubungan manusia dengan manusia' ( hablumminannas ) nilai universalitas yang disukai Allah di samping hubungan dengan-Nya ( hablumminallah ) sebagai yang utama. Hakikatnya, tentu saja jauh melebihi sebatas atribut gelar.
Opini Republika 30 November 2009
30 November 2009
Memaknai (Gelar) Haji
Thank You!