Suasana langsung menakutkan saat sekitar 50 pria tegap bertato ”nimbrung” aksi aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi atau Kompak di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (29/11) pagi.
Kelompok tanpa atribut dan tak jelas asal usulnya itu berteriak-teriak mendukung Kepala Polri dan memaksa Kompak membubarkan diri. Setelah dihadang puluhan polisi agar tidak bentrok dengan aktivis Kompak, mereka mundur, tetapi tetap berada di sekitar Bundaran HI.Insiden itu disesalkan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dan banyak pihak, sebagaimana dilansir sejumlah media (30/11). Menurut Hasyim, aparat bertindak keliru dengan memberi izin unjuk rasa kepada massa tandingan Kompak. Jika hal itu dibiarkan, akan timbul konflik horizontal di masyarakat.
Seharusnya aparat kepolisian bisa mencegah kelompok tanpa nama itu mendekati Kompak yang sedang melakukan aksi. Selain itu, aparat keamanan seharusnya memberi izin waktu berbeda kepada kelompok tandingan. Izin pun sebaiknya diberikan setelah aparat mendapat kejelasan identitas kelompok dan penanggung jawab.
Munculnya insiden itu harus dikategorikan gejala kekerasan horizontal yang harus ditolak agar tidak semakin berkembang. Insiden itu juga menjadi bukti masih adanya oknum-oknum yang suka mengadu domba sesama warga bangsa.
Meski pahit untuk diungkapkan, kenyataannya pada era ini bangsa kita belum mendapat jaminan keamanan memadai. Hal ini ironis karena bangsa kita telah membuktikan sebagai bangsa cinta damai, mampu menggelar pemilu dan pilpres damai yang dimenangkan SBY.
Perlu diingat, insiden itu justru memperburuk citra pemimpin, jika sampai terulang lagi. Sebelumnya, di sejumlah daerah, insiden serupa sering terjadi. Namun, sejauh ini belum pernah ditanggapi serius pimpinan negeri. Sebagai pemimpin bangsa yang dipilih langsung secara damai, SBY diharapkan cepat merespons tiap gejala kekerasan horizontal yang berpotensi menelan korban sesama anak bangsa.
Sikap diam pimpinan akan kian menakutkan bagi anak-anak bangsa yang ingin menggelar aksi damai terkait upaya pemberantasan korupsi dan sebagainya, yang notabene sesuai cita-cita reformasi dan spirit Presiden yang hendak mengganyang mafia.
Berdasarkan data empiris dari sejumlah daerah, tiap gejala kekerasan horizontal selalu melibatkan provokator yang terdiri dari dua jenis.
Pertama, provokator utama yang memiliki kekuasaan dan uang. Provokator utama biasanya mampu membayar sejumlah orang untuk melakukan provokasi di tempat dan saat-saat tertentu. Tujuannya, memicu kekerasan horizontal, lalu berkembang menjadi konflik sosial dan ujungnya menguntungkan kepentingannya secara politis dan ekonomis, tanpa peduli siapa dan berapa korban yang jatuh.
Kedua, provokator lapangan yang memiliki kekuatan fisik dan pengalaman berbuat kekerasan. Ciri-cirinya selalu identik dengan kaum preman yang banyak menguasai keamanan sejumlah kawasan secara ilegal. Sikap dan perilakunya cenderung brutal.
Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan Solo, yang banyak menelan korban harta benda dan jiwa, adalah salah satu contoh perbuatan kedua provokator paling mengerikan. Untuk itu, bangsa Indonesia yang cinta damai sudah sepatutnya menyusun barisan antiprovokator.
Setiap gejala kekerasan horizontal dapat dianggap amat berbahaya bagi bangsa dan negara. Untuk itu, Presiden tidak boleh membiarkannya berkembang. Untuk itu, ada sejumlah saran.
Pertama, SBY secara terbuka mengutuk tiap aksi dan reaksi yang dilakukan kelompok mana pun yang nyata-nyata cenderung dapat memicu kekerasan horizontal. Dengan demikian, semua pihak akan mengerti, Presiden juga menentang tiap gejala kekerasan horizontal.
Kedua, SBY memberi instruksi secara terbuka kepada Kapolri untuk memberi jaminan keamanan bagi semua anak bangsa. Namun, dalam hal ini, Kapolri harus segera menindak tegas pihak mana pun yang nyata-nyata hendak mengganggu keamanan.
Ketiga, DPR harus ikut mengutuk gejala kekerasan horizontal. Dalam hal ini, DPR juga perlu secepatnya meminta pertanggungjawaban Kapolri.
Tanpa ada tindakan tegas, gejala kekerasan horizontal sekecil apa pun bisa berkembang dan jadi teror baru bagi anak-anak bangsa. Ibarat sepercik api, jangan sampai dibiarkan berkobar menghanguskan negeri tercinta ini.
Opini Kompas 1 Desember 2009