Muhammadiyah memperingati kelahirannya yang ke-100 pada 8 Zulhijah 1430 H atau bertepatan dengan 25 November 2009.
Penggunaan kalender Hijriah sebagai perhitungan satu abad ini berbeda dari sistem kalender yang dipakai saat pendirian, yaitu kalender Masehi (18 November 1912). Sebagian pengamat melihat pergeseran pilihan kalender ini bukan sesuatu yang penting dibicarakan karena hanya berkaitan dengan perayaan. Pada 18 November 2012, mereka percaya, Muhammadiyah akan mengulang perayaan 100 tahun secara lebih meriah. Namun, bagi sebagian orang, pergeseran ini dianggap sebagai bukti proses Arabisasi dalam tubuh organisasi modernis ini.Pertanyaannya, ke mana arah keberagamaan Muhammadiyah? Apakah ia akan menjadi organisasi progresif atau akan terjebak pada fundamentalisme?
Selama ini, pengamat dan warga Muhammadiyah sering memasukkan organisasi ini dalam kategori Islam moderat. Apa makna moderat? Sebagai sebuah ”konsep relasi”, istilah Islam moderat memiliki dua sifat, afirmatif dan negatif.
Sifat pertama mengindikasikan adanya dua peradaban berbeda, Islam dan Barat. Menjadi moderat berarti tetap menjadi Muslim sejati dan pada saat bersamaan mengadopsi nilai dan ide Barat. Masuk dalam kategori afirmatif adalah anggapan tentang dua zaman, dulu dan sekarang.
Bersikap moderat berarti menjaga nilai baik dari Islam zaman dulu dan mengadopsi nilai baru yang lebih baik. Sementara sifat kedua dari moderat mengindikasikan penolakan terhadap dua ekstrem, liberal dan radikal. Seorang Muslim moderat bukanlah teroris, juga bukan orang yang berpaham liberal.
Istilah Islam moderat lebih kental aroma politik daripada pendasaran teologis dan sosiologis. Istilah ini dipopulerkan George W Bush dalam rangka war on terror. Mereka yang berpihak kepada Bush disebut moderat Islam, sementara lawannya dianggap teroris. Istilah ini memperkokoh pandangan tentang benturan peradaban antara Islam dan Barat yang didengungkan Samuel Huntington. Islam adalah oposisi biner dari Barat.
Dengan menghindari penggunaan istilah Muslim moderat yang kontroversial itu, saya menawarkan penggunaan kategori baru dalam membaca Muhammadiyah berdasarkan pendekatan teologis: puritan, salafis, dan progresif.
Berdasarkan penelitian saya tahun 2007, orang puritan, sebagai mayoritas di Muhammadiyah, memiliki model keberagamaan unik. Mereka amat konservatif dalam beragama, tetapi orientasinya bersifat duniawi. Orang puritan, dalam istilah Max Weber, menekankan asketisme duniawi. Keberhasilan beragama diukur dari seberapa banyak beramal sosial; membangun sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit. Keselamatan bagi kelompok lebih terletak pada aktivitas sosial.
Dalam beragama, kelompok puritan percaya, perempuan harus aktif di publik, tetapi harus terpisah dari laki-laki. Jilbab bukan sesuatu yang wajib, tetapi dianjurkan agama. Negara Islam dan syariat bukan sesuatu yang perlu diperjuangkan saat umat Islam tak mendapat halangan apa pun dari negara saat menjalankan ajaran agama.
Kelompok kedua adalah salafis. Mereka amat peduli terhadap kode dan ritual keberagamaan. Orientasi keberagamaan kelompok ini adalah other-worldly atau semata-mata akhirat dan keselamatan terletak lebih pada keimanan daripada aktivitas sosial. Orang salafis tidak tertarik perdebatan teologis karena terlalu banyak intelektualisme justru mengacaukan keimanan.
Orang salafi percaya, tempat ideal perempuan adalah di rumah. Jika terpaksa mereka harus ke luar rumah, seperti sekolah, perempuan harus dipisahkan dari laki-laki. Konsekuensi lain dari pandangan ini, hukum pemakaian jilbab adalah wajib. Bagi kelompok ini, gagasan pelaksanaan syariat Islam harus didukung dan negara Islam lebih baik daripada sistem sekuler.
Berhadapan dengan salafi adalah kalangan progresif yang percaya terhadap kesesuaian Islam dengan Barat dan berusaha mengadopsi nilai dan ilmu dari Barat. Kelompok ini amat peduli dengan teologi dan menjadikan intelektualisme sebagai jalan pembebasan dan keselamatan. Mereka adalah penentang penerapan syariat Islam, penganjur agar perempuan aktif di publik dengan tanpa ada pemisahan dari laki-laki, menganggap jilbab sebagai bagian budaya Arab yang tidak wajib ditiru, dan percaya, pemerintahan sekuler adalah sistem terbaik bagi umat Islam.
Istilah Islam modernis bagi Muhammadiyah dengan mendasarkan pendekatan sosiologis akhir-akhir ini mungkin kurang begitu tajam. NU yang dulu dianggap tradisionalis bergerak cepat mengatasi ketertinggalannya. Menyebut Muhammadiyah sebagai Islam moderat akan membawa organisasi ini dalam ranah kepentingan politik global.
Maka, barangkali yang lebih pas, Muhammadiyah sedang mengalami dinamika internal untuk mendefinisikan dirinya secara teologis. Setidaknya tiga model keberagamaan itu sedang berkompetisi untuk menentukan identitas teologis organisasi ini. Kalau kita percaya Weber, berangkat dari sinilah kita bisa membayangkan masa depan Muhammadiyah dalam beragam aspek kehidupan.
Ahmad Najib Burhani Peneliti LIPI; Mahasiswa Program PhD Universitas California, Santa Barbara
Opini Kompas 30 November 2009