30 November 2009

» Home » Media Indonesia » Mencari (Cari) Relevansi Ujian Nasional

Mencari (Cari) Relevansi Ujian Nasional

Sepanjang sejarah, manusia secara alamiah selalu mencari bentuk standar tertinggi dan terbaik untuk setiap aspek kehidupannya. Dalam berbelanja sesuatu seperti motor, mobil, sepeda, hingga barang kebutuhan dapur seperti sayur, bumbu, dan buah-buahan kita cenderung mencari barang yang berkualitas. Pergi ke restoran, tempat wisata, hingga tempat untuk anak-anak kita bersekolah pun kita selalu mencari tempat yang berkualitas. Untuk hal yang terakhir ini, banyak orang tua dengan kemampuan finansial yang cukup akan dengan mudah mendapatkannya. Tetapi masyarakat dengan kemampuan ekonomi lemah, rata-rata mencari sekolah tanpa mempertimbangkan kualitas karena mereka tak memiliki cukup opsi. Kualitas, dengan demikian, merupakan kebutuhan asasi manusia yang selalu dicari dan diusahakan untuk kesempatan menikmati hidup menjadi lebih baik.

Jika ditanya dari mana semua nilai kualitas hidup itu berasal? Maka sekolah atau kualitas pendidikan adalah jawaban pastinya. Hampir semua sektor kehidupan, mulai dari kualitas demokrasi atau kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, hukum hingga agama bermula dari bagaimana sekolah atau pendidikan dikelola. Karena itu dapat kita bayangkan, betapa tertekannya posisi sekolah karena mereka harus mempertanggungjawabkan kualitas yang diharapkan oleh semua sektor kehidupan manusia. Tak banyak orang tersadar bahwa kondisi sektor pendidikan yang sudah tertekan tersebut rentan terhadap segala bentuk manipulasi. Karena, prosesnya tidak jarang dikotori oleh kepentingan-kepentingan yang justru tidak bertanggung jawab. Dalam konteks ini, agenda kebijakan tentang ujian nasional bisa jadi merupakan salah satu contoh rentannya posisi sekolah sebagai produsen kualitas berbagai aspek kehidupan manusia.
Kondisi pendidikan atau situasi persekolahan saat ini mengalami banyak sekali tekanan, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, sekolah belum memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang menjadi kelemahan mendasar seperti kualitas guru, infrastruktur yang memadai, efektivitas manajemen, dan relasi sekolah-masyarakat. Adapun secara eksternal, meskipun telah memiliki undang-undang tentang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003, dalam praktiknya masih terdapat kesalahan mendasar dalam menafsir masalah otonomi pendidikan, sistem pengujian, hingga kebijakan pengembangan kurikulum yang selalu membuat pelaksana pendidikan bertambah bingung. Padahal, menurut penelitian Elmore dan Fuhrman (2001), sebuah proses pendidikan akan baik dan berkualitas jika masalah yang berkaitan dengan tanggung jawab internal sekolah mendapatkan prioritas terlebih dahulu untuk diselesaikan.

Posisi sekolah
Keluarnya keputusan Mahkamah Agung terkait pelaksanaan ujian nasional sudah pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Pemerintah, seperti biasa, pasti akan bertahan habis-habisan untuk membela kebijakan soal UN yang secara program sudah baku dan dana untuk itu telah tersedia. Meskipun pihak kementerian pendidikan akan melakukan peninjauan kembali terhadap keputusan MA tersebut, dapat dipastikan sekolah akan tetap memiliki posisi yang sangat dilematis. Alasannya sangat sederhana, yaitu jika sekolah menolak UN, artinya secara internal mereka harus mempersiapkan mekanisme evaluasi yang memadai sehingga anak-anak tetap akan memperoleh ijazah akhir kelulusan. Tetapi jika menerima UN, mereka juga harus bersiap dengan tekanan soal target kelulusan yang biasanya dipatok pihak dinas pendidikan masing-masing. Posisi sekolah, dalam bahasa Berube (2004) dan Solomon (2002), terjebak antara belum terpenuhinya unsur kesetaraan finansial dan kemandirian kapasitas yang dibalut oleh kesewenang-wenangan aturan yang dibuat oleh pemerintah.
Tafsir pemerintah semakin terlihat sewenang-wenang ketika mereka menerbitkan Peraturan Mendiknas (Permendiknas) Nomor 45 Ttahun 2006 tentang Ujian Nasional. Dalam peraturan ini UN merupakan program nasional yang harus jalan karena ia merupakan tugas nasional. Sekolah, dengan demikian harus menerima tafsir ini sebagai satu-satunya cara dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui ketetapan kelulusan dan ketidaklulusan siswa. Dalam Permendiknas Pasal 3 disebutkan bahwa 'Ujian nasional bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.' Padahal pada Pasal 4 Permendiknas yang sama disebutkan bahwa UN juga seharusnya dimaksudkan untuk melakukan pemetaan mutu guru dan sekolah, seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, akreditasi dan dasar pembinaan maupun pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Perbedaan penafsiran antara pemerintah dan komunitas sekolah terhadap Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terjadi pada Pasal 58 ayat 1 dan 2. Dalam Pasal 58 ayat 1 disebutkan bahwa 'Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.' Adapun pada ayat 2 disebutkan bahwa 'Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.'
Akal sehat kita pasti akan menafsirkan bahwa ayat 1 di atas dengan jelas menyebutkan bahwa penanggung jawab evaluasi hasil belajar siswa adalah pendidik (guru) di sekolahnya masing-masing, bukan pemerintah. Logika ini sangat jelas dan terang benderang, meskipun pemerintah memiliki interpretasi berbeda dengan mengatakan bahwa yang membuat soal UN adalah para guru, sehingga UN tidak melanggar undang-undang. Meskipun interpretasi pemerintah terlihat masuk akal, jelas penafsiran tersebut lepas dari konteks ayat dan permasalahan yang dimaksud dalam Pasal 58 tersebut. Bisa dibayangkan, betapa tidak adilnya jika yang membuat soal UN adalah guru di Jakarta, tetapi yang mengerjakan adalah anak didik di Aceh dan Papua yang tidak dipantau dan diajar oleh guru yang ada di Jakarta. Lagi pula, baik ayat (1) maupun ayat (2) dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tidak menyebut secara eksplisit kata 'ujian nasional'. Kata 'pencapaian standar nasional' dalam Pasal 2 tentu saja tidak harus dicapai melalui UN, tetapi melalui banyak cara, jalan, dan pendekatan, tergantung pada standar minimum yang ingin kita penuhi. Ini artinya pemerintah harus memosisikan sekolah sebagai partner yang harus dipercaya untuk menyelenggarakan evaluasi secara mandiri (Darmaningtyas, Edukasi, Vol 5, Nomor 1, 2007).
Pemerintahan SBY-Boediono harus memerintahkan Mendiknas saat ini agar patuh pada putusan Mahkamah Agung. Sebab jika tidak, dikhawatirkan hal ini akan menjadi bola liar seperti kasus kriminalisasi KPK beberapa waktu lalu. Jelas sekali bahwa pemerintah harus menanggalkan egosentrisme mereka agar tak terjebak pada tafsir yang kaku terhadap undang-undang tentang sistem pendidikan nasional secara formal. Mereka harus belajar untuk membaca aspek psikologis para guru dan siswa di sekolah serta orang tua yang tertekan karena UN dijadikan sebagai landasan kelulusan satu-satunya. Pemerintah perlu merevisi keputusan-keputusan Mendiknas tentang upaya peningkatan mutu pendidikan yang melupakan banyak sekali sisi faktual kondisi pendidikan yang belum sepenuhnya dibenahi.

Masih relevankah UN?
Dalam banyak literatur tentang pentingnya pengujian dan standardized test seperti UN, visi yang paling mendasar adalah berkaitan dengan equity; baik dalam terminologi kesempatan (opportunity) maupun hasil (outcomes) (Thompson, 2001). Problemnya dengan UN kita adalah bahwa pemerintah belum secara maksimal menganalisis dan meriset dengan baik aspek equity tersebut dalam konteks menyiapkan standar minimum yang harus dipenuhi. Hak dasar ini menjadi penting dalam rangka memperbaiki logika yuridis pemerintah dalam menerjemahkan 'pencapaian standar nasional' pendidikan kita. Dalam bahasa Elmore and Fuhrman (2001), pemerintah harus secara teliti dan bijaksana memberikan advokasi dan pendampingan secara benar kepada seluruh sekolah untuk memperbaiki sendiri performansi mereka secara bertahap dan bertanggung jawab. Dalam studi Elmore and Fuhrman (2001) ditemukan bahwa efek pengujian semacam UN hanya membuat para guru bekerja lebih keras dan meluangkan waktu lebih banyak, tetapi bukan untuk meningkatkan mutu proses belajar-mengajar, melainkan hanya untuk nilai semata-mata.
Selain itu pemerintah juga harus menyadari bahwa dalam praktiknya, UN memunculkan fenomena baru dalam pembiayaan pendidikan. Kita semua seperti berlomba-lomba menghabiskan dana pendidikan untuk pencapaian sebuah nilai, bukan tujuan. Temuan sangat menarik dikemukakan dalam studi McNeil (2000) dan Nathan (2002), bahwa biaya terbesar yang dikeluarkan oleh para orang tua dan masyarakat dalam pendidikan anak-anak mereka ternyata bukan di sekolah, melainkan di pusat-pusat bimbingan belajar yang mengajarkan kepada anak-anak kita konsep drilling, serbainstan, fokus sesaat dan disiplin untuk tujuan nilai atau scores, bukan tujuan dasar pendidikan. Sudah saatnya biaya pendidikan dialihkan menjadi 'Spend money to support goals, not scores'.

Oleh Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Opini Media Indonesia 30 November 2009