30 November 2009

» Home » Solo Pos » Refleksi HUT Ke-38 Korpri Netralitas birokrasi & profesionalisme Korpri

Refleksi HUT Ke-38 Korpri Netralitas birokrasi & profesionalisme Korpri

Di usia yang ke-38 (29 November 1971-29 November 2009) tahun ini saat yang tepat bagi Korpri untuk bercermin diri dalam kiprah pengabdian kepada masyarakat.

Dalam pengabdian seringkali muncul permasalahan dan gesekan antara anggota, antarorganisasi dengan pemerintah maupun dengan masyarakat. Permasalahan netralitas birokrasi dan profesionalisme anggota Korpri (baca: pegawai negeri) di daerah misalnya, tidak bisa dilepaskan dari isu klasik ketidaknetralan birokrasi dengan minus profesionalisme anggota Korpri menjelang Pilkada.
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Nasional bahwa jumlah PNS saat ini mencapai 4,5 juta. Dengan asumsi punya keluarga, tetangga dekat dan koleganya tentunya bukan mustahil akan signifikan mengarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu yang tidak jarang bertentangan dengan nurani pilihan masyarakat.

Quo vadis Korpri
Dalam sejarah Orde Lama, pegawai negeri terkotak-kotak pada kelompok-kelompok politik tertentu. Pada perjalanannya dengan dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 1975 dan PP No. 20 Tahun 1976, organisasi Korpri pada masa Orde Baru telah menjadi alat politik penguasa sampai dengan berakhirnya pemerintahan era Presiden Soeharto tahun 1998. Dengan keluarnya UU No. 43 Tahun 1999 yang mengatur tentang Pegawai Negeri di dalamnya mengamanatkan netralitas PNS yang terwadahi dalam organisasi Korpri. Dengan PP Nomor 5 dan 12 Tahun 1999 di dalamnya tercantum agar PNS tidak menjadi anggota dan pengurus partai politik.
Di usia ke-38 tahun dan 11 tahun reformasi nasional Korpri perlu mereposisi peranan organisasinya dalam konteks kepentingan anggota, bangsa dan negara melalui perwujudan netralitas birokrasi dan profesionalisme anggota. Terkait dengan ketegasan bentuk organisasi dan peranan Korpri layak dipikirkan oleh segenap pengurus dan anggota dalam rangka mewujudkan netralitas birokrasi dan profesionalisme anggota Korpri antara lain sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan sejarah pembentukannya pada tahun 1970-an setelah melalui pembahasan panjang bahwa organisasi Korpri yang berasal dari embiro Kokarmendagri (Korps Karyawan Departemen Dalam Negeri) adalah orgasisai yang berbentuk korps dan tidak trade union atau serikat sekerja. Kedua, di awal pembentukannya pada tahun 1970-an telah disadari bahwa Korpri sebagai satu wadah organisasi bagi pegawai bertujuan untuk memupuk keutuhan dan menghindari politisasi (korban politik) dan pengkotak-kotakan pegawai.
Ketiga, setiap warga negara Indonesia bebas untuk memilih apakah ia menjadi pegawai atau tidak, tidak ada satu peraturan pun yang memaksa seseorang untuk menjadi pegawai negeri.
Memperhatikan hal-hal tersebut, selama ini pegawai negeri melalui organisasi Korpri terbukti telah berbuat kekeliruan sama pada saat yang berbeda. Masa Orde Lama yang terkotak-kotak di antara pegawai negeri dan masa Orde Baru terperangkap pada monoloyalitas kepada organisasi politik tertentu yang dikenal dengan jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) pada waktu itu yang terbukti sebagai alat kekuasaan dan mesin pemenangan partai politik tertentu.
Mendudukkan netralitas birokrasi dan profesionalisme anggota Korpri dalam praktiknya bukan perkara mudah. Ketidakmudahan mendudukkan netralitas birokrasi ini setidak-tidaknya disebabkan beberapa hal. Pertama, birokrat (baca: PNS) yang semuanya adalah anggota Korpri terikat pada political authority, pengaturan-pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dan diterapkan secara hierarkhis dan birokratis. Praktiknya anggota Korpri yang merupakan think tank dan arsitek dalam penentuan kebijakan pemerintahan secara struktural menjadi subordinasi penguasa yang dilahirkan melalui partai politik.
Kedua, lemahnya komitmen pimpinan Korpri dalam setiap tingkatan karena menjadi subordinasi dan dan sangat tergantung dalam posisi tawar yang tidak berimbang. Kalau sudah demikian nampaknya masih sulit diharapkan akan mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan anggota Korpri jika telah berhadapan dengan kekuatan politik tertentu.

Ketiga, penafsiran tentang netralitas birokrasi itu sendiri dalam praktiknya belum ada kebulatan pemahaman bagi seluruh anggota Korpri. Ada yang memaknai netralitas itu bahwa PNS tidak boleh membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, ada yang memaknai netralitas itu bahwa PNS tidak boleh simpatik kepada partai politik tertentu, sampai dengan netralitas itu dipahami bahwa PNS datang ke tempat kampanye partai politik untuk mengetahui program-program partai politik pun dilarang (tidak diperbolehkan karena dianggap melanggar).
Keempat, adanya kekhawatiran dan ketidakpercayaan anggota Korpri kepada para politisi penyelenggara negara dan pemerintahan bahwa siapa yang akan menjamin dan memperjuangkan nasib anggota Korpri jika benar-benar birokrasi telah netral. Sedangkan pada kenyataannya selama ini partai-partai politik masih berpegang pada kepentingan praktis partainya bukan program.
Kalau hal-hal itu benar, berarti selamanya Korpri akan sangat mudah menjadi alat dan wahana atau bahkan pengurusnya akan tergoda menjadikannya sebagai alat dan wahana yang ampuh untuk diikutsertakan dalam perebutan kekuasaan dan jauh dari netralitas dan profesionalisme.
Untuk mewujudkan netralitas birokrasi dan profesionalisme Korpri ini tidak bisa terwujud dengan sendirinya, selain komitmen yang kuat dari anggota, pembenahan manajemen pengorganisasian Korpri itu sendiri, setidak-tidaknya masih membutuhkan persyaratan. Pertama, netralitas birokrasi dan profesionalisme Korpri mensyaratkan adanya netralitas lembaga negara dan prosesionalisme seluruh komponen penyelenggara negara sebagimana John F Kennedy dengan kata-katanya yang terkenal “Loyality to my party will be end if loyality for my country start.”
Kedua, netralitas birokrasi semestinya dipahami sebagai totalitas PNS dengan tanpa membeda-bedakan afiliasi politik, suku, ras, agama, kelompok dan golongan dalam memberikan pelayanan secara prima kepada seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan profesionalisme Korpri diimplementasikan dalam bentuk kesiapan, penguasaan pengetahuan dan keterampilan personel untuk melaksanakan tugas-tugas negara sesuai dengan harapan negara dan masyarakat. -

Oleh : Joko Mulyono, Anggota Korpri bertugas di Kecamatan Ngemplak, Boyolali
Opini Solo Pos 30 November 2009