25 September 2009

» Home » Seputar Indonesia » “Wayang”dan “Dalang”Perppu KPK

“Wayang”dan “Dalang”Perppu KPK

Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang mengarah pada penunjukan pelaksana tugas (Plt.) pimpinan KPK telah ditandatangani Presiden di tengah deretan penolakan dan kecaman. Perppu ini diragukan dapat menjadi “obat” penyelamatan KPK.Yang terjadi justru masyarakat khawatir Presiden tergoda menjadi penguasa absolut yang tidak mempertimbangkan secara serius suara publik. Berdasarkan informasi yang diterima penulis, perppu akhirnya merevisi Pasal 33 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan menambahkan dua poin.Pertama,pengertian kekosongan pimpinan KPK adalah jika berjumlah kurang dari tiga orang.
Kedua, dalam kondisi kosong seperti itu, Presiden mempunyai kewenangan menunjuk plt pimpinan KPK. Dalam rencana awal, keputusan presiden (kepres) sebagai turunan dari perppu akan segera diterbitkan sebelum lawatan Presiden ke Amerika Serikat dalam acara KTT G-20. Tapi rencana itu berubah hingga akhirnya Presiden dikabarkan membentuk semacam panitia seleksi yang berjumlah lima orang. ICW dan sejumlah kalangan civil society tetap menolak perppu revisi UU KPK tersebut karena memang materi dan substansinya membahayakan dan mengancam independensi KPK.

Akan tetapi keadaan yang berkembang penting diawasi dan disikapi, khususnya tentang pembentukan “Tim Lima” atau tim perumus. Untuk menghindari akibat yang lebih buruk bagi pemberantasan korupsi dan KPK, maka proses seleksi tersebut harus dilakukan terbuka dan memberikan ruang bagi publik untuk memberikan masukan dan penolakan terhadap calon tertentu.

Menjaga Independensi

Satu hal prinsip yang perlu diingat semua pihak, meski perppu telah diterbitkan,semua pasal lain dalam UU KPK masih berlaku dan wajib dipatuhi.Itu termasuk syarat pimpinan KPK,sifat kelembagaan KPK,sumpah jabatan,konsep zero tolerance terhadap korupsi dan antiintervensi politik.Artinya, tim tidak boleh memilih orang-orang yang diperkirakan akan tunduk dan dapat dipengaruhi Presiden.

Tim ini dan orang-orang yang dipilihnya seharusnya berkomitmen tidak menjadi “boneka” kekuasaan eksekutif dan partai pendukungnya. Terdapat beberapa kriteria untuk Tim Lima dan batasanbatasan terlarang bagi calon pimpinan KPK. Pertama, KPK tidak boleh disusupi oleh pihak yang punya kepentingan politik atau terafiliasi dengan partai politik tertentu. Hal ini sangat penting, agar tidak terjadi ketimpangan dan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi.

Kami masih melihat, parlemen dan politisi yang menjadi pejabat negara sebagai prioritas yang harus dibersihkan dan diawasi KPK karena hampir semua kebijakan publik ditentukan oleh kekuatan ini. Bahkan akar korupsi sebenarnya bersumber dari persekongkolan kelompok bisnis dan mafia politik— terutama jika kelompok bisnis tersebut mendanai kegiatan partai politik. Kedua, pimpinan KPK bukan orang yang dikenal dekat dan punya hubungan khusus dengan Presiden.

Hal ini sesuai dengan penolakan kami terhadap perppu plt KPK yang dikhawatirkan menjadi alat bagi Presiden untuk memengaruhi dan mengontrol kerja KPK.Karena itu,Presiden melalui Tim Lima harus membuktikan iktikad baik untuk menyelamatkan KPK yang sering kali diucapkan. Ketiga,jika pimpinan KPK berasal dari advokat,maka dia adalah advokat yang tidak pernah membela kasus korupsi. Lebih bagus lagi advokat yang tidak pernah beracara di Pengadilan Tipikor ataupun mendampingi tersangka dan terdakwa yang diproses KPK sebelumnya.

Keempat, tidak memasukkan pejabat/pegawai aktif kepolisian dan kejaksaan. Dari awal sesungguhnya keberadaan unsur polisi dan jaksa di jajaran kepemimpinan KPK menjadikan lembaga ini sulit untuk bisa berbuat banyak membersihkan institusi tersebut. Jika UU KPK dicermati lebih dalam, sebenarnya latar belakang pembentukan KPK adalah karena belum efektifnya kejaksaan dan kepolisian dalam memberantas korupsi. Kelima,siapa pun yang menjadi bagian dari KPK,terutama pimpinan, tentu harus orang yang berintegritas tinggi.

Konsekuensi logis dari poin ini, rekam jejak, prestasi, dan masa lalu calon pimpinan harus menjadi pertimbangan penting. Hal ini juga sangat terkait dengan kejujuran melaporkan harta kekayaan, sehingga berkas laporan harta dan kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) menjadi dokumen penting yang tidak boleh dilewatkan. Dari LHKPN tersebut harus diteliti lebih cermat, apakah seseorang mempunyai kekayaan yang wajar dan pantas saat diban-dingkan dengan penghasilan resmi/sah.

Calon yang tidak mampu menjelaskan kekayaannya kepada publik dan memiliki harta di luar penghasilan sah tentu tidak pantas berada di KPK. Karakter seperti ini justru berbahaya bagi pemberantasan korupsi, karena kita tidak ingin kasus-kasus di KPK dimanfaatkan untuk melipatgandakan kekayaan pimpinannya. Lima kriteria tersebut patut dikatakan sebagai syarat minimum yang harus dipenuhi.

Dalam kondisi prokontra terhadap keberadaan perppu dan tim perumus, tentu akan lebih mengecewakan jika tim tersebut hanya menjadi tameng legitimasi Presiden. Meskipun 3 dari 5 anggota tim dikenal publik dalam pemberantasan korupsi, akan tetapi khawatir KPK hanya akan menjadi ”boneka” kekuasaan eksekutif tetap masih beralasan.

Kriminalisasi KPK

Hal krusial lain yang tidak boleh dilupakan adalah fenomena kriminalisasi pimpinan KPK tanpa alasan hukum jelas. Dengan analisis lebih mendalam,sesungguhnya arti intervensi terhadap independensi dan proses hukum yang dilakukan KPK justru terjadi di titik ini. Sejauh ini informasi yang berkembang adalah pasal yang digunakan penyidik Polri untuk menetapkan tersangka sangat kabur dan sulit diyakini alat buktinya.

Padahal, jika pimpinan KPK menjadi tersangka, maka “talak satu” jatuh, dia harus berhenti sementara! Atau,apakah memang hal ini yang diinginkan agar KPK tidak bekerja? Karena itu wajar bila Presiden disorot dan diawasi oleh publik terkait kriminalisasi ini. Jika untuk kondisi sisa dua pimpinan KPK, Presiden menganggap genting, sehingga menerbitkan perppu,maka upaya perlawanan terhadap kriminalisasi ini seharusnya juga difasilitasi. Presiden dapat saja menggunakan haknya sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara untuk meninjau ulang dasar penetapan tersangka tersebut.

Jangankan Presiden, Jaksa Agung pun, pejabat yang dipilih dan diberhentikan Presiden,punya hak untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Hak Oportunitas ini perlu dicermati. Apalagi, sebagaimana diketahui, KPK sedang memeriksa salah seorang petinggi Polri.Sepatutnya dugaan konflik kepentingan ini merupakan alasan yang cukup untuk meragukan keseriusan dan iktikad di balik penetapan tersangka tersebut.Tapi kenapa Presiden terlihat pasif?

Kekuasaan eksekutif hari ini tidak boleh mundur pada era ketika undang-Undang Subversif diberlakukan, yakni saat proses hukum digunakan sebagai tameng dan legitimasi untuk membenarkan kriminalisasi dan upaya membuang orang-orang yang mengkritik penguasa. Polri ataupun kejaksaan,meski secara struktural berada dalam “kuasa” eksekutif, tetap harus merdeka dari intervensi. Institusi penegak hukum tidak boleh menjadi alat dan centengpenguasa politik.

Jika saja penegak hukum tidak menjadi “alat pemukul”, kriminalisasi yang tak beralasan tidak terjadi dan kekuasaan eksekutif konsisten, agaknya perppu tak perlu terbit. Pelaksana tugas pimpinan KPK tak perlu ada. Koruptor tak perlu berpesta. Kita bertanya, siapa wayang dan dalang di balik segala serangan balik terhadap KPK selama ini? (*)

Opini Seputar Indonesia (Sindo) : 26 September 2009

Febri Diansyah
Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW