25 September 2009

» Home » Okezone » Hari Kemenangan Koruptor

Hari Kemenangan Koruptor

SEPERTINYA segala macam upaya untuk membunuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencapai rangkaian titik kulminasi selama beberapa hari menjelang dan hari-hari pertama Idul Fitri.

Secara faktual, rangkaian itu mulai dari penetapan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto sebagai tersangka. Guna menindaklanjuti status itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang memungkinkan pengisian pimpinan KPK dengan menunjuk pelaksana tugas (plt).
Selain kedua peristiwa tersebut, langkah sistemik untuk melemahkan KPK dapat pula dilacak dari serangkaian penyeludupan pasal dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor). Sebut saja misalnya, kuatnya keinginan sejumlah fraksi di DPR untuk menghilangkan kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan alias KPK cukup menjadi penyidik dalam kasus korupsi.

Dengan logika seperti itu, sejumlah fraksi hendak mengembalikan penuntutan kepada kejaksaan. Padahal, merujuk argumentasi dasar revisi UU KPK, Mahkamah Konstitusi hanya memerintahkan membuat Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang terpisah dari UU KPK. Dasar pijak MK, Pasal 25A ayat (5) UUD 1945 menghendaki pembentukan peradilan di bawah Mahkamah Agung dilakukan dengan undang-undang.

Dengan demikian, dalam bahasa sederhana, putusan MK sama sekali tidak bermaksud membunuh Pengadilan Tipikor (karena dapat melemahkan eksistensi KPK), tetapi hendak memperkuat landasan hukum (legal basic) Pengadilan Tipikor.

Pertanyaan elementer yang patut dikemukakan, adakah semua rangkaian peristiwa itu menjadi gambaran keberhasilan agenda serangan balik para koruptor (corruptor fights back)? Pertanyaan itu menjadi begitu relevan dikemukakan karena upaya serangan balik itu sudah mulai terasa seiring melajunya agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.

Berumur Pendek

Negeri ini terbilang mempunyai catatan buruk dalam agenda pemberantasan korupsi. Sejauh ini telah banyak dibentuk lembagalembaga khusus untuk memberantas korupsi. Misalnya pada 1970 pernah dibentuk Komisi Empat, tahun 1999 Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) bubar pada 2002.

Khusus untuk KPKPN,ditengarai lembaga ini dibubarkan karena mulai bergerak menelusuri ketidakwajaran kekayaan sejumlah tokoh penting yang berkuasa (termasuk anggota DPR) pada saat itu. Sederhananya, lembaga-lembaga khusus itu tidak ada yang berumur panjang. Melacak gejala yang ada, saat ini nasib yang menimpa sejumlah lembaga khusus itu sedang menghampiri KPK.

Dibandingkan dengan semua lembaga itu, resistensi atas KPK jauh lebih masif dan sistemik. Hasil penelusuran aktivis antikorupsi yang tergabung Aliansi Cinta Indonesia Cinta KPK (Cicak), setidaknya ada 11 upaya yang telah dan sedang dilakukan sebagai bentuk resistensi yang berpotensi membunuh KPK.

Di antara resistensi itu, hampir sepanjang periode pertama KPK, sejumlah pihak berupaya melumpuhkan lembaga extra-ordinary dalam memberantas korupsi ini dengan mengajukan judicial review atas sejumlah pasal dalam Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Puncaknya, MK mengabulkan permohonan judicial review atas UU KPK dan menyatakan Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan Pasal 53 UU KPK harus diatur dalam undang-undang tersendiri. Celakanya, batas 19 Desember 2009 yang diberikan MK sudah di depan mata, RUU Pengadilan Tipikor masih jauh dari selesai.

Tusukan langsung untuk membunuh KPK, setidaknya, dapat dilacak dari bangunan argumentasi yang mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK. Gugatan atas kewenangan KPK dilakukan setelah MK menutup ruang untuk mempersoalkan keberadaan KPK melalui proses judicial review.

Dengan tertutupnya ruang ke MK, sejumlah kalangan mulai mencoba memakai instrumen negara yang lain untuk melumpuhkan KPK. Misalnya, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat DPR, Ahmad Fauzi, mengeluarkan wacana pembubaran KPK. Wacana itu muncul berbarengan dengan penggeledahan KPK di Gedung DPR.

Setelah itu, berbarengan dengan skandal yang menimpa Ketua KPK Antasari Azhar, sejumlah kalangan di DPR mengemukakan bahwa prinsip pimpinan kolektif tidak terpenuhi lagi setelah penetapan status tersangka pada Antasari Azhar. Ketika itu sebagian anggota DPR meminta KPK menghentikan semua upaya penegakan hukum yang tengah dilakukan.

Secara sempit dasar argumentasi yang digunakan, sesuai dengan Pasal 21 UU KPK, pimpinan KPK tidak lagi memenuhi syarat kolektif untuk mengambil putusan. Seperti sebuah desain besar, belum usai isu kolektivitas pimpinan KPK, tiba-tiba BPKP bersikeras mengaudit KPK. Padahal, tanpa perlu mengerti secara dalam aturan hukum, semua orang tahu persis, BPKP sama sekali tidak berwenang mengaudit KPK.

Desain besar itu bergerak ke titik lain, tiba-tiba kepolisian membuat "kejutan" dengan memeriksa Chandra M Hamzah dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Anehnya, pemeriksaan itu lebih banyak pada penggunaan kewenangan penyadapan KPK. Tindakan yang dilakukan kepolisian benar-benar menimbulkan guncangan hebat di KPK.

Ibarat bola liar, pemeriksaan kepolisian bergerak ke segala arah setelah gagal mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK. Sebagaimana diberitakan, dalam testimoni Antasari Azhar menuliskan sejumlah pimpinan KPK menerima uang dari PT Masaro Radiokom.

Karena sulit menggunakan testimoni itu, kepolisian bergerak ke arah indikasi penyalahgunaan kewenangan pencekalan terhadap Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra yang dilakukan oleh KPK. Hal yang bisa dibaca dari semua itu, sepertinya kepolisian sedang mencari-cari kesalahan pimpinan KPK agar bisa dijadikan tersangka sehingga punya dasar hukum menonaktifkan mereka.

Dalam konteks itu, banyak kalangan menduga sejumlah pihak sedang menggunakan institusi negara (baca: kepolisian) membunuh KPK. Dugaan itu amat mungkin mendekati benar karena dua orang pimpinan KPK (Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto) ditetapkan sebagai tersangka tanpa bukti-bukti cukup kuat. Ujung dari semua itu, mengakhiri masa bakti KPK, sehingga nasibnya sama dengan mendiang Komisi Empat, TGPTPK, dan KPKPN.

Hari Kemenangan


Posisi sakaratul maut yang tengah menimpa KPK benar-benar menjadi kabar baik bagi para koruptor dan sekaligus menjadi keberhasilan corruptor fights back. Celakanya, nasib tragis KPK terjadi begitu KPK memasuki wilayah-wilayah yang selama ini gagal disentuh penegak hukum konvensional.

Meminjam istilah Denny Indrayana (2008), di antara wilayah itu adalah Istana dan Pengusaha Naga. Denny Indrayana menjelaskan, Istana adalah ring satu kekuasaan masa kini dan Pengusaha Naga adalah korupsi oleh megapengusaha.

Tidak terbantahkan, selama ini, KPK cukup berhasil menjamah Istana dan Pengusaha Naga sebagaimana dimaknai Denny Indrayana tersebut. Bisa jadi, nasib yang menimpa KPK saat ini merupakan konsekuensi dari keberhasilan memasuki wilayah-wilayah yang selama ini untouchable.

Karenanya, banyak pihak berkepentingan untuk menghentikan laju langkah KPK. Saat ini, upaya membunuh KPK hampir mencapai titik kulminasi. Meski belum sampai di titik kulminasi, para koruptor telah mulai merayakan kemenangan.

Hal yang membuat kita (terutama yang concern dengan agenda pemberantasan korupsi) trenyuh, mereka memulai perayaan kemenangan hampir berbarengan dengan umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri. Bahkan, hampir dapat dipastikan, puncak kemenangan para koruptor akan segera datang.

Hari-hari ke depan akan menjadi hari bersulang para koruptor. Percayalah, perayaan mereka pasti jauh lebih lama dan lebih meriah dibandingkan dengan perayaan Idul Fitri. Tragis! (*)
Opini OKezone : 24 September 2009
Saldi Isra
Dosen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang