PRODUKSI informasi massal telah dipelopori pemuda Hetami sejak 11 Februari 1950. Selama masa hidupnya hingga generasi berikut (sekarang), koran kecil yang dibangun Hetami dengan susah payah, berkembang perlahan tetapi pasti menjadi sebuah lembaga media massa yang ”diperhitungkan” oleh pesaing, user dan stakeholders, bukan hanya di tingkat lokal (Jawa Tengah), melainkan juga di tingkat nasional.
Keteguhan Hetami membangun Suara Merdeka (SM), mengingatkan saya kepada ajaran para ilmuwan komunikasi, juga pengamat pers, tentang ideologi media. Kata mereka, kendati terdengar keras tuntutan pers harus terbebas dari ideologi (politik dan kekuasaan), namun pers tanpa ideologi adalah pers ”macan ompong”.
Tidak sedikit ilmuwan komunikasi dan pengamat media menyatakan, pers justru harus punya ideologi, yang kemudian disebut ideologi media. Landasan ideologi media, mengakses kepada terjadinya polarisasi pemberitaan pers yang sarat kepentingan. Dengannya, pemberitaan media terbuka luas untuk ”diwarnai” aneka kepentingan.
Hanya saja, kepentingan di balik pemberitaan pers (seharusnya) bukan sesuatu yang bersifat subjektif. Kepentingan di setiap simbol media harus bersifat objektif, benar, jujur, adil, menjamin tegaknya hak asasi manusia, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya.
Sejauh ini, pengelola SM berhasil membangun bisnis informasi massal di atas ideologi media. SM yang sekarang tampil sebagai produk rekayasa pemenuhan kepentingan yang beranekaragam sifat serta bentuknya. Keberhasilan itu tampil dalam pilihan motto yang dipilih pengelolanya, yaitu ”Perekat Komunitas Jawa Tengah”.
Bagaimana mungkin Suara Merdeka dapat berperan sebagai perekat, jika ektensitas simbol yang disajikannya ke publik —di samping intensitas kandungan makna di balik simbol itu sendiri— tidak berhasil menjaga serta mempersatukan rasa (pikiran dan perasaan) sedemikian banyak warga masyarakat yang dilayani. Apalagi masyarakat sudah sedemikian heterogennya.
Almarhum Hetami meninggalkan bukan saja teori, melainkan juga pragmatisme model-model pengelolaan berita pers berlandaskan ideologi media. Pragmatisme ajaran Hetami di masa kepemimpinannya, tetap dipertahankan oleh generasi penerus, terutama lewat pola pemberitaan SM yang nyaris tanpa keberpihakan.
Hal itu tampak, antara lain dari langkanya kecenderungan berita SM yang bersifat to set against (mempertentangkan) antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Atau mempertentangkan berbagai fenomena dengan cara ”mengobrak-abrik” nilai-nilai luhur di balik fenomena yang satu dan mengunggulkan fenomena yang lain.
Salah satu kelebihan SM adalah langkanya model pemberitaan yang bersifat sepihak. Disadari atau tidak oleh pengelola SM generasi sekarang, mereka tampak teguh mempertahankan jurnalisme objektif yang diwariskan pendahulu.
Suara Merdeka bisa sebesar sekarang, terutama karena kebijakan redaksionalnya benar-benar dilandasi oleh semangat menghindarkan penilaian pers subjektif. Sebaliknya, SM benar-benar berupaya mengejar pembentukan kesan umum sebagai pers objektif.
Hanya saja, bila (dalam pengertian umum) jurnalisme objektif acapkali dinilai sebagai pers yang memihak establishment (kemapanan) di kalangan penguasa, politikus, cendekiawan, pemimpin pendapat di tengah masyarakat, pengusaha kaya, dan lain sebagainya, sebagaimana ciri umum pers liberal; tidak demikian halnya pers objektif menurut versi SM.
Positioning SM yang demikian, layak selalu dipertahankan. Pengelola harus tetap teguh berkepihakan kepada kepentingan subjektif-objektif. Pengelola jangan berkecil hati, ketika publik mencerca SM karena pemberitaannya ”memuja” pemerintah, penguasa, politikus, opinion leader, pengusaha, orang kaya, warga masyarakat dengan status sosial ekonomi tinggi, atau lainnya. Sejauh pengelola SM menyadari kebenaran sikap redaksionalnya, the show must go on. Namun, pada waktu yang sama atau berbeda, pengelola pun perlu menyajikan informasi publik yang berkesan ”keras”, bahkan ”sangat keras” terhadap objek yang sama, jika fakta di lapangan mengharuskannya.
Mantap Haluan
Pendiri dan pengelola Suara Merdeka generasi sesudahnya pantas diacungi jempol, karena (sesuai sejarah) media tersebut mantap dalam haluan. Kinerja Suara Merdeka terukur dan teruji, terutama dari kemantapan politisnya, yakni tidak mudah berganti haluan. Misalnya, berubah dari koran partai politik menjadi koran partai penguasa, atau koran penguasa berubah menjadi koran publik. Kemantapan manajerial produksi informasi massa lewat lembar-lembar SM, juga tidak dikotori oleh sikap media yang bersangkutan berpihak melulu kepada kepentingan rakyat banyak.
Keberpihakan SM kepada pihak mana pun, cenderung dilandasi dengan argumen yang profesional dan manusiawi. Sikap berpihak SM kepada kepentingan rakyat banyak, atau kepada pihak mana saja, apa pun sebutannya, minimal dilandasi dengan keyakinan keberpihakan itu benar-benar dilandasi dan atau mengisyaratkan penegakan hak asasi manusia, selera hukum yang berkeadilan, serta tegaknya nilai-nilai kemanusiaan lainnya. SM menjadi sebesar sekarang, antara lain juga disebabkan oleh kesigapan para pengelolanya dalam merespons tuntutan masyarakat yang sangat variatif.
Setelah berhasil ”lari” dari tanggung jawab pers terbebas dari ideologi (politik), yang kemudian tampil dalam bentuk ideologi media pragmatis, yaitu keberpihakan pers kepada kepentingan kebenaran, keadilan, kejujuran, hak asasi manusia, dan objektivisme, prospek SM mendatang tidak mudah diprediksi dan dideteksi secara dini.
Dalam konteks prospek SM mendatang, sukses atau gagalnya sajian koran tersebut di masa mendatang terutama ditentukan oleh sejauh mana kualitas pengelolaannya yang terbebas dari kooptasi ancaman faktual lain di zamannya. Ancaman faktual SM mendatang adalah seberapa berkualitasnya seni mengelola surat kabar di zamannya. Khususnya seni melayani apa-apa yang disukai publik (what the public wants), dengan seni pelayanan informasi yang seharusnya diketahui oleh publik yang sama (what the public should knows).
Tanpa seni mengelola kedua model berita tersebut, sulit dapat berharap kualitas kinerja SM di masa mendatang. Dalam kerangka berpikir ke arah itu, dirasa sekali mutlak pentingnya keberadaan serta peran lembaga ombudsman dalam struktur organisasi SM, di samping perlunya secara periodik dilakukan riset selera pembaca.
Kedua saran itu diajukan semata-mata untuk mengingatkan kepada pengelola SM agar senantiasa mampu menghadapi tuntutan publiknya di masa mendatang. Sekaligus mampu bersaing di era persaingan bebas media, bukan hanya secara sistemik, melainkan juga dari segi kualitas. Selamat Ulang Tahun, dan semoga terus bermanfaat bagi masyarakat.(68)
Wacana 11 Februari 2008
–– Novel Ali, dosen jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip .