25 September 2009

» Home » Suara Merdeka » Kemacetan Khitah NU

Kemacetan Khitah NU

PUNCAK peringatan Hari Lahir (Harlah) Ke-82 Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) bakal digelar besar-besaran di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu, 3 Februari 2008.Diperkirakan sekitar 300 ribu nahdliyin bakal mamadati stadion termegah di Indonesia tersebut.



Menurut Sekretaris Panitia Pelaksana, Anas Taher, panitia pelaksana pusat dan daerah sudah menyiapkan 2.000 bus yang akan membawa jamaah menuju tempat hajatan akbar yang bakal dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Rais Aam PBNU, KH Sahal Mahfudh, tersebut.

Dipandu sejumlah ulama dan kiai, jamaah juga akan melaksanakan istighotsah untuk keselamatan bangsa dan negara. Tak hanya itu, panitia juga telah menyiapkan fasilitas teleconference (pembicaraan jarak jauh) yang akan digunakan untuk menyiarkan secara langsung acara akbar tersebut.

Jika benar-benar terjadi, itu adalah acara pengerahan massa terbesar dan tak bakal ditandingi oleh ormas maupun partai politik mana pun.

Tergiur dan Tergoda

Dari sudut pandang strategis politis, tidak heran jika parpol sering menarik-narik warga dan tokoh NU di semua tingkatan untuk kepentingan politik praktis berkaitan dengn potensi umat yang begitu besar.

Ibarat gaung bersambut, tidak sedikit juga tokoh dan kiai NU yang tergiur dan tergoda untuk melibatkan dirinya dalam politik praktis, dengan tetap membawa bendera jamiyah terbesar itu.

Tak berlebihan jika KH Sahal Mahfudh secara terang-terangan mengakui bahwa khitah NU untuk terbebas dari jerat dunia politik praktis yang dicanangkan 24 tahun silam sering ditinggalkan.

Hingga kini masih banyak pengurus NU yang asyik bermain politik praktis. Apalagi belakangan semakin muncul orang-orang NU yang tertarik mengikuti pilkada. Sampai saat ini, warga, para kiai, dan pengurus NU masih sulit untuk dipisahkan dari dunia politik praktis.

Memang, kembali ke khitah belum bisa disosialisasikan secara benar sejak dulu, masih terdapat kekurangan yang sulit ditutupi karena telanjur lama mereka terlibat dalam politik praktis. Sulit mengubah orientasi berpikir yang sudah telanjur mengakar itu.

Kiai Sahal mengakui, untuk terus memompa semangat ber-khitah tidak mudah. Bahkan dia merasa sendirian dalam melakukan hal itu. Sudah sering ia mengajak anggota yang lain, namun belum mendapatkan respons positif. Bahkan tidak bisa menjamin berapa lama lagi nilai-nilai khitah akan bisa diamalkan secara sempurna, karena sosialisasi yang macet.

Tidak ada lagi orang yang konsisten di jalur itu. Banyak orang NU belum paham, atau berpura-pura tidak paham terhadap khitah. Padahal panduan memaknai khitah (semacam juklak) tertulis juga sudah lama dibuat, namun masih saja pemahamannya berbeda-beda, karena mereka sudah telanjur me-nikmati "kesenangan" lain.

Jalan khitah yang netral dalam pilihan politik, adalah jalan terbaik bagi NU. Sepanjang sejarah perjalanannya, NU pernah menjadi partai politik (parpol) sendiri, juga pernah melakukan fusi ke dalam satu parpol. Namun setelah dievaluasi, hasilnya menyatakan tidak ada yang lebih baik dari jalan khitah. Sayangnya, sosialisasi kembali ke khitah itu hingga saat ini masih macet.

Jengkel

Sorotan Kiai Sahal tentang macetnya sosialisasi khitah akibat banyaknya kiai dan tokoh NU yang terlibat dalam pilkada, tidak jarang menimbulkan konflik internal di tubuh warga NU karena perbedaan kepentingan politik praktis dan pragmatis.

Kemungkinan karena jengkel atau ruwetnya di internal NU sendiri, Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi sampai mengusulkan pilkada yang dilakukan secara langsung agar dihapuskan dan dikembalikan kepada sistem lama, karena selain menimbulkan konflik dan perpecahan juga hanya menghambur-hamburkan uang.

Dalam lima tahun, masyarakat dihadapkan kepada enam kali pemilihan, mulai pemilihan kepala desa, bupati, gubernur, DPR, DPD, dan pemilihan presiden (pilres), yang semuanya berpotensi membuahkan polarisasi di masyarakat.

Gerakan-gerakan politik kerakyatan sebelum dan sesudah penyelenggaraan pilkada sering membenturkan kepentingan masyarakat -terutama dengan keagamaan-, sehingga jika tidak diatasi bisa menimbulkan perpecahan.

Dicontohkan, pada sejumlah pilkada yang sempat menimbulkan polarisasi di masyarakat yang terkena dampak ne-gatifnya adalah kalangan bawah (grassroot) yang sebagian besar adalah warga NU. Atas kenyataan itu, diimbau agar pemilihan langsung hanya dilakukan untuk pemilihan presiden dan wakil rakyat di DPR.

Pengamat politik, Laode Ida, melontarkan kritik tajam kepada NU. Ia mengatakan, NU mulai kehilangan karakter sebagai organisasi berbasis umat.

Jika ingin tetap eksis, NU harus kembali ke bidang garapannya semula, yakni membangun umat serta mempersiapkan kader yang benar-benar mau dan bisa menjalankan organisasi. Bila tidak demikian, NU bisa tinggal organisasi papan nama karena ditinggalkan umat. Dalam arti, mereka tidak akan mengikatkan diri lagi secara organisatoris dan ideologis, tapi hanya merasa ada hubungan historis.

Dalam kondisi seperi itu, ikatan ke-NU-an akan semakin tidak berarti, akan semakin tergusur oleh ikatan kepentingan lain yang lebih rasional seperti ikatan ekonomi. Warga akan semakin sulit diarahkan oleh para elite NU jika kepentingannya tak sesuai dengan kepentingan mereka.

Kegagalan sejumlah orang NU memenangi pemilihan kepala daerah (pilkada) di wilayah yang sebenarnya basis NU, merupakan contoh konkret betapa ikatan emosional warga NU dengan organisasinya mulai melonggar.

Penyebab melonggarnya ikatan emosional warga NU dengan organisasinya itu, salah satunya adalah akibat perilaku elite NU sendiri yang lebih melibatkan diri atau terjebak dalam pragmatisme ketimbang memikirkan persoalan umatnya.

Terutama pragmatisme berkait dengan kekuasaan dan materi. Perilaku semacam itun memudarkan derajat figur panutan dalam NU, dan membuat warga merasa tidak ada manfaatnya mengikatkan diri secara organisatoris dengan NU.

Padahal, keberadaan figur merupakan salah satu pilar penyangga organisasi tersebut. Itulah, catatan kritis menyambut peringatan harlah ke-82 ormas Islam terbesar tersebut.(68)

Wacana : 02 Februari 2008
-- A Adib, wartawan Suara Merdeka di Jakarta