BULAN Januari 2008 ini dijadikan momentum strategis dari PBNU sampai Pengurus Ranting untuk secara kolosal mengadakan acara Harlah NU selama sebulan penuh. Pada 31 Januari 2008 kemarin, NU berusia sangat senja (82), yang semestinya harus meninggalkan lembaran prestasi gemilang dan eksponsional bagi generasi mendatang.
Apa yang bisa dibanggakan sampai usia 82 ? Pertanyaan kritis dan skeptis yang membutuhkan refleksi, akurasi data, dan evaluasi mendalam. Prestasi NU yang masih menonjol masih bersifat kesejarahan yaitu menjaga integrasi NKRI. Peran politis itu masih bisa dilakukan hingga saat ini karena secara kuantitas, NU mempunyai basis masa yang besar, kurang lebih 40 juta.
Prestasi itu saya kira biasa saja, inhern dengan kuantitas basis masa NU. Kelompok mana pun akan minder jika berhadapan dengan NU, melihat begitu banyak massanya. Namun, ketika ketika kita bertanya, prestasi apalagi yang secara fungsional bisa dibanggakan secara nasional dan hal itu berjalan secara kelembagaan ? Dalam konteks ini kita masih harus menengadah, melihat sinyal langit, mengamati sikap perilaku pengurus NU, dan membuat kesimpulan subjektif.
Seleksi Kader
Sejenak kita menengok prestasi saudara kita di lembaga lain, mereka begitu getol melakukan seleksi kader untuk mempersiapkan regenerasi secara berkala dan efektif, sistem kaderisasinya berjalan secara terbuka, akuntabel, dan profesional. Kaderisasi ini disiapkan sedemikian rupa, karena program mereka dalam lapangan ekonomi, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan politik kebangsaan begitu banyak, berat, dan penuh tantangan yang sangat kompleks. Eksistensi mereka begitu dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum. Fondasi ekonomi lembaga mereka benahi, kebersamaan dan kekompakan mereka bina, dan mekanisme kontrol dan evaluasi berjalan sebagaimana mestinya.
Pertanyaannya lagi, bagaimana dengan NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di tanah air ? Apriori dan stagnasi adalah dua kata yang tepat untuk menggambarkan potret dinamika NU saat ini.
Apriori dalam pengertian eksklusif-pasif. Apriori menggambarkan mental berpikir yang hanya mengandalkan secara absolut kekayaan khazanahnya, namun secara pasif, dalam arti tidak kreatif menggali dan mengembangkan khazanahnya yang sesuai dengan spirit modernisasi dan globalisasi.
Khazanah yang dimiliki NU begitu banyak, ada khazanah keilmuan yang dimanifestasikan dalam bentuk jutaan kitab kuning yang meliputi tauhid, fikih, ushul fikih, tafsir, hadis, nahwu, shorof, balagoh, mantik, dan lain sebagainya. Khazanah keilmuan ini dikaji di pesantren, lembaga pendidikan Ma'arif, madrasah diniyah, pengajian, majjlis ta'lim, dan halaqoh keilmuan. Sayang, khazanah keilmuan yang begitu berharga tidak dikembangkan dengan paradigma berpikir yang rasional, analitis, progresif, konteksual, dan aplikatif.
Potret masa lalu dijadikan entry point merespons dinamika globalisasi yang bergerak dalam hitungan detik, di mana perubahan dan perkembangan setiap saat adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Memaksakan potret masa lalu tanpa melakukan aktualisasi, kontekstualisasi, dan rasionalisasi adalah sebuah kekeliruan. Akhirnya jawaban yang disampaikan tidak mewakili spirit zaman dan dirasakan banyak kalangan out of date.
Kebudayaan
Dalam konteks kebudayaan, NU mempunyai heterogonitas dan pluralitas budaya dari Sabang sampai Merauke. Mereka begitu mengagungkan hasil prestasi Wali Songo yang sukses melakukan pembumian ajaran Islam lewat jalur budaya. Integrasi doktrin normatif dengan budaya lokal menjadi senjata hebat dalam melakukan sosialisasi, internalisasi, dan kulturalisasi nilai Islam dalam bentangan sejarah kebudayaan. Lembaga lain selain NU begitu sulit mengikuti fleksibelitas dan dinamitas yang ditunjukkan NU.
Namun, prestasi sejarah yang pada waktu itu mempunyai nilai aktualitas dan efektivitas, saat ini tidak diteruskan secara progresif oleh generasi penerusnya. Kulturalisasi nilai agama dalam pluralitas kebudayaan di Indonesia mengalami stagnasi dan apriori.
Sangat jarang menemukan sosok ulama plus budayawan saat ini. Sedangkan menurut A. Syafi'i Ma'arif, agama tanpa disentuh spirit budaya akan membuat agama menjadi konservatif.
Gerakan kebudayaan yang dipelopori Emha Ainun Najib, Zaenal Arifin Thoha (Jogyakarta-al-Marhum), KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), KH. Sahal Mahfudh, KH. Musthofa Bisri, dan KH Cecep Zamzam Noor (Cipasung) harus diteruskan dan dikembangkan secara produktif agar agama yang dibawa NU menjadi ikon peradaban modern yang penuh dengan nuansa rasionalisme, empirisme, dan intuisionalisme yang lekat dengan nilai etika dan estetika.
Dalam konteks ekonomi kerakyatan dan pendidikan, NU tidak cukup mampu berpartisipasi di dalamnya. Gerakan ekonomi kerakyatan dan pendidikan harus di back-up oleh institusi yang kuat, mapan, dan profesional.
Institusionalisasi di internal NU masih jauh dari standar . Mereka harus banyak belajar dengan elemen bangsa yang lain yang sudah teruji profesionalitas institusinya jika ingin impian bepartisipasi dalam mengentaskan kemiskinan dan kebodohan tercapai dengan sukses baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Ma'arif sebagai lambang kebangaan pendidikan NU harus didinamisasi secara maksimal agar mampu menjadi lembaga pendidikan bonafid yang menjadi kebanggaan warga NU. Untuk realisasi agenda ini, diperlukan kerja keras dan kolektivitas, karena kompleksitas masalah yang dihadapai
Moderatisme Progresif
Di tengah berjibunnya masalah internal NU, momentum Harlah NU ke-82, harus menjadi energi besar yang menggerakkan melangkah ke depan dengan penuh optimisme. Ketertinggalan, kemunduran, keterbelakangan, dan kekurangan dalam semua aspek harus diinventarisasi, untuk dicarikan solusi cerdas.
Proses kaderisasi harus dibuat sistem dan mekanisme yang transparan, akuntabel, dan profesional. Distribusi SDM harus merata dalam semua lapisan. Pengembangan network relationship harus ditujukan kepada lembaga yang mau aktif berpartisipasi dalam mengembangkan potensi NU secara optimal.
Dalam konteks ini, perubahan paradigma adalah sebuah keniscayaan. Internalisasi paradigma moderatisme yang selama ini diajarkan NU harus dikuatkan dengan sebuah progresivitas gerakan yang massif dan eskalatif.
Moderatisme progresif adalah jawaban dari aura stagnasi dan apriori yang selama ini membelenggu NU. NU tidak mungkin maju jika hanya berteriak di wilayah sosial-horisontal yang menekankan harmoni, solidaritas, dan soliditas. NU harus bergerak ke wilayah progresi, dinamisasi, aktualisasi, dan produktivitas.
Kader muda harus menjadi lokomotif pembaruan karena kepada merekalah masa depan dipertaruhkan. (11)
Wacana : 01 Februari 2008
--- Jamal Ma'mur Asmani, Kader Muda NU Pati, Katib Syuriyah Wustho MWCNU Trangkil Pati,