Sudah dapat dipastikan terbitnya perppu dan penunjukan Tim Lima yang terdiri dari Menko Polhukam Widodo AS, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, anggota Wantimpres Adnan Buyung Nasution, mantan Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki, serta advokat senior Todung Mulya Lubis telah dipikirkan segala konsekuensinya.
Sekalipun akibatnya hingga menjadi kontroversi, terutama di lingkungan masyarakat sadar hukum. Reputasi dan integritas Tim Lima kini sedang dipertaruhkan. Pada umumnya kehadiran kelima tokoh dapat diterima meskipun terhadap khusus untuk Todung Mulya Lubis ada catatan kritis di kalangan ahli hukum yang dikaitkan dengan rekam jejaknya pada organisasi advokat yang masih meninggalkan permasalahan. Kasus ini mencapai klimaksnya ketika dua pimpinan KPK, dalam hal ini Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah,diperiksa oleh Polri.
Selanjutnya mereka ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang karena terkait penerbitan cekal dan pencabutan cekal untuk pengusaha Djoko S Tjandra serta pengusaha Anggoro Widjaja.Alhasil kasus ini sukses membuat dunia hukum kita heboh.
*** Presiden nampaknya prihatin bahwa terjadinya kevakuman kepemimpinan KPK yang hanya tinggal 2 dari 5 orang serta keinginan agar KPK dapat terus bekerja profesional akan membuat pemberantasan korupsi pincang. Maka salah satu jalannya adalah perlu diterbitkan perppu yang hingga kini masih menimbulkan pro dan kontra. Di dalam kelompok yang pro ada Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa, di seberang sana terdapat tokoh kritis yang memiliki integritas tak tercela seperti kawan-kawan dari ICW dan beberapa pengamat hukum lain.
Memang menjadi suatu keanehan juga mengapa sejak dini Ketua MK dan Ketua MA sudah serta-merta setuju diterbitkannya perppu serta penugasan Tim Lima untuk memberikan rekomendasi dengan mengusulkan tiga nama yang nantinya akan dipilih oleh Presiden untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK. Ketua MK secara meyakinkan menyatakan bahwa perppu itu konstitusional untuk dikeluarkan dalam keadaan genting.
Sementara mantan ketua MA Bagir Manan melihat situasi tidak segenting itu dan memperingatkan jangan mengeluarkan perppu tanpa pertimbangan yang betulbetul matang, apalagi dapat terkesan mengintervensi KPK yang harusnya tidak di bawah kendali presiden. Belum habis kontroversi ini, Ketua Harian Masyarakat Pemantauan Peradilan Indonesia Hasri Hertanto masih mempersoalkan mengenai kewenangan Polri dalam memidanakan Bibit dan Chandra sebagai unsur pimpinan KPK.
Dia merasa aneh mengapa Polri mendakwa kedua orang ini dianggap menyalahgunakan wewenang, padahal mereka sedang melaksanakan kewenangannya. Bagi Presiden, dikeluarkannya perppu berarti bola panas kontroversial ini kini berada di tangan Tim Lima.Begitu pun dari kepentingan Polri, hadirnya perppu paling sedikit masalah internal di dalam tubuh KPK kini telah menjadi ranah Tim Lima.Polri kini hanya dituntut dan harus mampu membuktikan apakah Bibit dan Chandra M Hamzah benar-benar telah melakukan penyalahgunaan wewenang sehingga mereka patut dihukum.
Bagi masyarakat awam, apa yang dilakukan Polri tidak boleh terlalu lama diambangkan. Artinya, kalau ternyata Polri tidak cukup bukti mendakwa seseorang warga negara, siapa pun orangnya, maka Polri harus segera membebaskan mereka.Di sini tidak ada masalah apakah itu akan mengurangi kredibilitas atau menurunkan citra Polri,bahkan bisa terjadi sebaliknya bahwa Polri telah bekerja profesional dan proporsional serta berjiwa besar: kalau memang ada hal-hal yang tidak cukup bukti, perkaranya dihentikan.
Dengan demikian kredibilitas Polri dapat terpulihkan dan citranya pun semakin terdongkrak. Sebaliknya, lebih cepat Polri membuktikan kedua pimpinan KPK itu memang terlibat secara sungguh-sungguh menyalahgunakan kekuasaan, maka prosesnya pun harus dipercepat tanpa ragu sedikit pun.Kepada pihak yang merasa dirugikan,cepat pula hendaknya melakukan pembelaan dan mengajukan upaya-upaya hukum, sehingga perkara mereka pun cepat mendapat klarifikasi dan selesai.
*** Mengenai pro-kontra apakah sisa pimpinan KPK yang masih ada sekarang, yaitu M Jasin dan Haryono Umar,dapat terus bekerja dan mengambil keputusan secara kolektif minus tiga orang yang ditahan Polri, maka haruslah dipandang dari prioritas perkara dan kecepatan serta ketepatan dalam mengambil keputusan. Dapat dimengerti kalau kedua orang ini merasa mampu melaksanakan tugasnya, tetapi patut pula dipertimbangkan bahwa perkara yang segudang jumlahnya—meskipun didukung oleh aparat KPK yang berjumlah 700 orang—tetapi di level pimpinan akan lebih elok kalau terdiri atas lima orang,sehingga beban pekerjaan itu dapat dipikul bersama-sama.
Apalagi pengakuan mantan Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki yang pernah bertugas selama 4 tahun merasa bahwa beban pekerjaan sangat berat,sehingga memang tidak realistis kalau itu dibebankan hanya pada dua orang anggota pimpinan. Dengan demikian kalau ada kekhawatiran bahwa Polri maupun Presiden sepertinya mempunyai agenda melumpuhkan atau mengerdilkan kinerja KPK patutlah dikaji secara matang.
Hal itu karena dalam era reformasi dan baru usainya pemilihan presiden dan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono untuk periode kedua, maka terlalu berisiko tinggi dan bisa berakibat fatal atau Presiden bermain api dengan menunjuk atau mengendalikan KPK untuk kepentingan politik-bisnis. Apalagi masyarakat yang memberikan mandat kepada Presiden tidak hendak Presiden membuat keputusan yang gegabah hingga berakibat kredibilitasnya menjadi turun karena terjebak pada kepentingan politik-bisnis pragmatis yang sesaat manfaatnya.
Jadi,Presiden tidak akan mengambil risiko yang menumpulkan kinerja KPK karena sejak awal beliau pula yang mendengungdengungkan perlunya bangsa ini memerangi korupsi sebagaimana memerangi terorisme. Pimpinan Polri pun, seperti dikatakan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri pekan lalu di depan penggiat reformasi Polri (SI, 18/09), tidak pernah bermaksud melumpuhkan KPK dan mengerdilkan kinerjanya.
Karena itu,sekarang terpulang sepenuhnya pada Tim Lima,prosesnya boleh saja zig-zag, tetapi hasilnya harus dapat dipertanggungjawabkan dan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara serta menjaga integritas KPK yang masih sangat diharapkan prestasinya dalam memberantas korupsi yang semakin menggurita.
Kini silakan beri kesempatan Tim Lima bekerja dan memberikan tiga nama kepada Presiden dan biarkan Presiden, sesuai hak prerogatifnya, memilih insan Indonesia yang paling memiliki kompetensi dan integritas tinggi untuk memimpin KPK.(*)
Opini Seputar Indonesia (Sindo) : 26 September 2009
Prof Bachtiar Aly
Pendiri dan Presidium Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI)