Drama terus bergulir mengiringi pertarungan antara buaya (Polri) versus cicak (KPK). Drama ini berawal ketika Antasari Ashar (AA) ditetapkan sebagai tersangka atas pembunuhan Nasrudin Zulkanaen. Publik terhenyak sesaat dan tidak percaya. Bagaimana mungkin orang sekaliber AA bisa merencanakan pembunuhan tersebut? Walau hingga kini belum terkuak secara jelas peran AA dan alat bukti terkait tindak pidana tersebut, namun proses penyidikan telah berjalan dan polisi akhirnya melimpahkan BAP AA cs ke Kejaksaan Agung. Dari sinilah dimulai rumor seputar pelemahan dan belakangan krimininalisasi kewenangan KPK berkembang seperti bola liar.
Publik terus memberi dukungan penuh kepada cicak seraya meminta polisi menghentikan upaya pelemahan dan kriminalisasi kewenangan KPK melalui penetapan Candra Hamzah dan Bibid Samad Riyanto sebagai tersangka atas dugaan tindak pindana yang selalu berubah; berawal dari dugaan suap hingga menyalahgunaan kewenangan terkait permohonan pencekalan atas Anggoro dan pencabutan pencekalan atas Djoko S. Candra. Ini preseden yang sangat berbahaya bagi penegakan hukum jika di kemudian hari sangkaan ini tidak terbukti di depan pengadilan.
Puncak pelemahan? Publik dan para pegiat antikorupsi kembali mengerutkan dahi ketika Presiden SBY benar-benar menggunakan kewenangan konstitusionalnya untuk menetapkan Perpu PLT KPK. Setidaknya kegusaran dan penolakan Perpu PLT KPK terkait dengan sejumlah pertanyaan konstitusional dan hukum mendasar.
Pertama, Perpu PLT KPK tidak memenuhi persyaratan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa ‘’Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang’’. Pertanyaan yang kemudian mencuat ialah apa itu ‘’kegentingan yang memaksa’’? Pasal 22 (1,2,3) UUD 1945 tidak memberi penjelasan yang konkret tentang definisi ‘’kegentingan yang memaksa’’ tersebut. Namun demikian Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 mensyaratkan tujuan yang jelas terkait peneribitan Perpu, yakni ‘’supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat’’. Jadi kuncinya adalah demi keselamatan Negara dalam keadaan genting harus dijamin oleh pemerintah.
Pertanyaannya lanjutan ialah apa itu keselamatan Negara? Sampai pada level ini, subyektivitas Presidenlah yang pada akhirnya menentukan apakah tingkat kegawatan ancaman terhadap keselamatan Negara itu benar-benar ada dan karenanya Perpu terkait dengan masalah tersebut harus diterbitkan.
Terkait dengan kegelisahan publik dan pegiat anti korupsi terhadap Perpu PLT KPK tersebut, apakah kegentingan yang memaksa tersebut telah dipenuhi? Apakah Perpu Plt KPK ini benar diterbitkan demi menjamin keselamatan Negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945? Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah sederhana. Apakah dengan menyisahkan dua orang pimpinan KPK maka keselamatan Negara terancam? Rasanya berlebihan kalau negara ini terancam hanya karena Pimpinan KPK tinggal dua orang dan karena itu perlu diterbitkan Perpu Plt KPK. Walau persyaratan konstitusional yang diamanatkan tidak terpenuhi, Presiden tetap saja mengeluarkan Perpu tersebut. Karena itu, Presidenlah yang harus membuktikan bahwa keselamatan Negara terancam terkait pimpinan KPK yang tinggal dua orang tersebut.
Selain itu, masih terdapat ruang DPR dapat melakukan political review atas Perpu PLT KPK ini. Kalau saja DPR tidak sependapat dengan Presiden dan menolak Perpu ini maka berakhirlah nasib Perpu ini. Namun dengan melihat komposi keanggotaan DPR terpilih yang akan dilantik per 1 Oktober 2009 mendatang, rasanya sulit membayangkan DPR berseberangan dengan Presiden.
Kedua, apakah benar-benar terjadi kekosongan kekuasaan di KPK sehingga diperlukan Perpu PLT KPK? Pertanyaan inilah digelisahkan oleh banyak kalangan.
Pasal 21 ayat (5) UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK menggariskan bahwa pimpinan KPK ‘’bekerja secara kolektif’’. Artinya, Pasal ini menggariskan sifat kolegialitas kepemimpinan KPK dalam melaksanakan tugasnya. Penjelasan Pasal 21 ayat (5) mendefinisikan bekerja secara kolektif adalah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Konsekuensi bagi KPK Perpu Plt KPK membawa konsekuensi serius bagi KPK dan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Setidaknya, sebagaimana disinyalir oleh Firmansyah Arifin dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, bahwa Perpu ‘’merupakan tameng Presiden yang membiarkan tindakan kriminalisasi kewenangan KPK’’. Febri Diansah dari ICW juga mengkhawatirkan adanya ‘’Kekacauan hukum yang berbahaya bagi upaya pemberantasan korupsi’’. Kecurigaan lainnya ialah Presiden memanfaatkan Perpu PLT KPK ini untuk mengamankan kepetingan hukum dan politiknya dengan menempatkan orang-orang di tubuh KPK yang tentu saja akan mengebiri kemandirian KPK (Febri Diansah, SM 23 September 2009, hal 1-2).
Sampai pada titik ini, adalah beralasan kalau publik percaya bahwa memang telah terjadi upaya sistematis pelemahan dan kriminalisasi KPK. Tidak saja dilakukan oleh kelompok bisnis yang berkolaborasi dengan politisi busuk, koruptor, dan polisi tapi juga oleh Presiden.
Kita tentu berharap bahwa agenda pemberantasan korupsi oleh KPK perlu diterus didukung dan kita sepatutnya menentang segala upaya yang menghalalkan segala cara untuk menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia. Bangsa ini seharusnya sadar bahwa corruption is the most serious crime yang perlu diwaspadai dan diberantas karena telah meluluhlantakkan sendi-sendi peradaban bangsa dan menimbulkan penderitaan massif bagi warga negara. Kita juga berharap bahwa Perpu PLT KPK bukan merupakan upaya pemelahan dan kriminalisasi KPK. Mari kita kontrol pejabat yang akan ditunjuk Presiden. (80)
Wacana : 26 September 2009
—Yafet Rissy SH MSi, LLM, dosen FH UKSW Salatiga