25 September 2009

» Home » Suara Merdeka » Menggagas Otonomi Provinsi

Menggagas Otonomi Provinsi

KALAU akhir-akhir ini ada wacana untuk membubarkan DPRD dan dihapuskannya otonomi tingkat provinsi (pendapat dari Thontowi Jauhari, anggota DPRD Jateng, SM, 24/12/07 ), saya kurang sependapat.

Justru dalam kondisi negara Indonesia yang masih merangkak ini, otonomi yang ideal untuk sekarang adalah otonomi di tingkat propinsi. Di samping sesuai dengan UUD 1945, kondisi sebagian besar kota/ kabupaten sejatinya juga belum siap benar dalam menghadapi otonomi daerah (otda) itu.

Hal tersebut disebabkan oleh karena apabila dilihat pada persoalan pembangunan kota dan kabupaten, maka mereka tidak akan lepas dari pengaruh persoalan kota-kota didekatnya. Pembangunan infra maupun suprastruktur dalam konteks pembangunan daerah yang berbasis otda tidak akan bisa diselesaikan pada tingkat kota atau kabupaten. Belum lagi persoalan tata ruang antarkota, sudah pasti saling ada keberkaitan (interdepency) serta saling ada keberhubungan (linkage) antara kota yang satu dengan yang lainnya.
Pembangunan dengan menggunakan kewenangan otda pada tataran kota atau kabupaten, hanya bisa dilakukan kalau persoalan yang dihadapi memang untuk kepentingan kota itu sendiri. Namun manakala persoalan menyangkut kepentingan bersama antarkota, maka yang diperlukan adalah pengelola administrasi di atasnya, yaitu pemerintah provinsi (pemprov).

Kita sebenarnya telah menyadari betul, bahwa otda yang dikembangkan dan dijalankan oleh pemerintah kota (pemkot) maupun pemerintah kabupaten (pemkab), sering mengalami kendala, yaitu utamanya adalah persoalan pendanaan.

Pendapatan asli daerah (PAD) pada tiap-tiap kota atau kabupaten akan berbeda, sesuai dengan tingkat kesiapan daerah itu dalam mengembangkan dirinya untuk membangun. PAD pada masing-masing wilayah itu, kadang-kadang timpang dan mempunyai perbedaan yang mencolok.
Banyak kita temukan daerah yang mempunyai PAD tinggi, namun ada juga suatu wilayah mempunyai PAD rendah, sehingga dapat menimbulkan ketimpangan dalam persoalan kecemburuan sosial (pernah mencuat ketika ada perbedaan nilai UMR di setiap kota), serta penyiapan sarana dan prasarana di masing-masing kota itu sendiri.

Saya menaruh perhatian, ketika Pemprov Jateng akan membuat jalan tol yang menghubungkan kota-kota di wilayah utara maupun wilayah selatan. Semua itu seharusnya sudah bisa terlaksana, manakala kewenangan pemprov lebih dominan. Sinyalemen yang paling krusial adalah bagaimana cara untuk menyosialisasikan pekerjaan pembuatan jalan tol itu kepada masyarakat yang akan dilalui.

Sudah barang tentu yang dihadapi adalah masyarakat yang mempunyai ciri dan karakter berbeda antara kota yang satu dengan kota yang lainnya. Begitu sulitnya pemprov dalam menghadapi berbagai macam fenomena di lapangan itu, maka pembuatan jalan tol sangat lamban.

Tidak Serius

Ketika akan melakukan tahap awal pembebasan tanah pun sangat bertele-tele, dan berkesan tidak serius, karena pemprov menjadi bingung dengan kondisi tersebut (SM 31/12/07). Banyak anggota masyarakat di berbagai wilayah dan dengan latar belakang yang berbeda itu tidak menyadari (terlepas dari kepentingan politik apa pun) bahwa pembuatan jalan Tol tersebut justru akan meningkatkan kesejahteraan.

Kita bisa memprediksi, jika jalan tol tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka fungsi perekonomian di Jawa Tengah akan berkembang lebih cepat. Distribusi barang akan lebih lancar dan tepat waktu. Hal itu akan berimbas kepada harga barang yang justru diperkirakan akan lebih murah, karena pasokan barang akan mengalami kelancaran dan tidak ada hambatan yang berarti. Hal itu disebabkan oleh karena kendaraan pemasok tidak akan memerlukan bahan bakar yang berlebihan.

Kemudian akses antarkota-kota penting di Jawa Tengah akan lebih mudah. Para bupati dan wali kota, manakala akan mengadakan pertemuan di ibu kota provinsi akan lebih mudah dan lancar, yang berimbas kepada persoalan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih irit.

Coba kita renungkan juga, ketika terjadi gempa bumi di Klaten, serta pada akhir Desember 200, bahkan ketika menginjak awal 2008, wilayah Jawa Tengah diporak-porandakan oleh berbagai macam bencana, baik berupa banjir bandang, tanah longsor, maupun angin ribut yang menelan korban jiwa maupun material yang tidak sedikit.

Persoalan itu tentunya tidak bisa diselesaikan oleh pemkot/ pemkab itu sendiri. Di sejumlah pemkot/ pemkab, alokasi ”dana cadangan” untuk menanggulangi bencana secara mendadak dan tidak terencana tersebut sangat minim sekali.
Apabila sudah demikian, maka yang terjadi adalah bahwa para korban bencana sudah pasti kondisinya sangat memprihatinkan, karena pemkot/ pemkab ”dianggap” lamban dalam mengantisipasi dan membantu korban bencana tersebut.

Saya yakin, pemkot/ pemkab sebenarnya tidak lamban dalam menghadapi bencana dadakan itu, tapi ”bingung” dengan dana yang hampir tidak ada. Lagi pula pemkot/ pemkab pasti tidak secara serta merta langsung bisa membantu para korban bencana.

Semua itu disebabkan oleh karena pemkot/ pemkab akan memperhitungkan dana bantuan diambil dari pos apa saja, selain yang memang sudah siap dan rutin dianggarkan ( biasanya melalui Satkorlak PBA). Dengan demikian sisa kekurangannya, tentu dimintakan ke pemerintah pusat untuk bisa membantu meringankan beban pengeluaran akibat bencana.

Kebersamaan

Pemprov Jateng pun sudah barang tentu dalam mengalokasikan dana untuk bencana amat terbatas juga. Karena itu bagaimana seandainya sebagian besar kota/ kabupaten di wilayah Jawa Tengah terkena musibah?

Jika kondsinya demikian, maka yang perlu dipikirkan adalah kebersamaan dari seluruh pemkot/ pemkab. Bagaimana cara mewujudkan kebersamaan itu? Jawaban yang ideal adalah adanya konsep otda pada tataran pemprov.
Kemudian apabila berbicara mengenai keterhubungan tata ruang antarkota/ kabupaten, maka tata ruang antarkota itu dapat diatur dan bisa dikendalikan dari pemerintah di atasnya, yaitu merujuk pada rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi.

Jika RTRW kota/ kabupaten dapat terlaksana dengan baik, tentunya harus merujuk dan sesuai dengan konsep RTRW provinsi. Dengan demikian sudah sepatutnya pemprov memegang kendali dari penggunaan ruang di wilayah masing-masing kota.

Pemprov mempunyai kewenangan untuk mengatur RTRW derah di bawahnya.
Jika terdapat kota/ kabupaten, oleh karena wilayahnya memang diperuntukkan sebagai lahan konservasi, maka kota itu diharapkan tetap mematuhinya. Jangan sampai oleh karena terobsesi otda kota, maka kota-kota tersebut saling berlomba untuk memberi peluang kepada para investor guna membangun berbagai macam properti/ pabrik industri di lahan konservasi itu.
Dengan demikian, yang terjadi adalah tanah-tanah konservasi itu mengalami alih fungsi lahan, yaitu dari fungsi untuk tangkapan air menjadi lahan perumahan/ industri. Pada akhirnya lahan konservasi berubah menjadi lahan properti/ industri, sehingga tanah permukaan di wilayah itu banyak mengalami perkerasan.

Apabila wilayah tersebut diperparah dengan adanya penebangan hutan secara besar-besaran, maka jika musim penghujan tiba kota-kota di bawahnya akan terkena imbas, di antaranya musibah banjir bandang maupun tanah longsor.
Masih banyak persoalan kota/ kabupaten serta keterkaitan antarkota yang membutuhkan penanganan terpusat di tingkat provinsi.

Sebagai contoh persoalan air bersih, transportasi antarkota, pengadaan jalan akses antarkota, persamaan UMR, dan pengendalian penggunaan lahan setiap kota/ kabupaten.

Mengacu kepada semua itu, maka dalam beberapa kasus, manakala wilayah-wilayah kota tersebut membutuhkan dukungan dana atau kebijakan yang lain yang tidak bisa diatasinya, maka pemprov harus bisa membantu memecahkan dan memenuhinya.
Oleh karenanya, konsep pendanaan dengan model subsidi silang masih ideal untuk otda provinsi.(68)

Wacana : 12 Februari 2008
–– Tjoek Suroso Hadi, tenaga pengajar Jurusan Planologi FT Unissula Semarang, pengurus AMPI Jawa Tengah.