25 September 2009

» Home » Suara Merdeka » Perlindungan bagi Pembela HAM

Perlindungan bagi Pembela HAM

AKHIRNYA Pollycarpus Budihari Priyanto divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 20 tahun oleh Mahkamah Agung (MA) dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir (Suara Merdeka, 26 Januari 2008).




Kendati ada dugaan kuat bahwa keputusan tersebut belum mengungkap pelaku sebenarnya, namun peristiwa itu menyadarkan akan pentingnya perlindungan hukum bagi para pembela HAM di Indonesia. Kematian seperti dialami Munir adalah risiko yang dihadapi oleh para aktivis pembela HAM

Menurut Al A'raf (2005: 6), yang dimaksud dengan pembela HAM adalah mereka yang bekerja dan beraktivitas mempromosikan HAM (bisa individu atau kelompok) dengan tidak menggunakan cara kekerasan dan non-kombatan. Amnesty International menganggap, siapa saja yang kerja untuk HAM dapat disebut sebagai pembela HAM.

Indonesia adalah negara dengan risiko tinggi bagi pembela HAM. Berita tentang kekerasan yang dialami mereka, seperti diteror, ditangkap, diintimidasi, diculik, dipenjarakan, atau bahkan dibunuh sebagaimana yang dialami Munir, adalah cerita kelam yang mewarnai perjuangan.

Sederet nama lain seperti Marsinah (aktivis buruh dari Jawa Timur), Udin (jurnalis Bernas dari Yogyakarta) dan Ja'far Siddiq (aktivis Aceh) adalah sedikit bukti terjadinya kekerasan yang dialami pembela HAM di Indonesia.

Beralihnya kekuasaan Orde Baru (Orba) 1998 tidak memperbaiki keadaan pembela HAM, bahkan ditengarai pola serangan terhadap mereka meningkat kualitasnya dengan semakin beragamnya aktor pelaku kekerasan.

Menurut laporan Imparsial (LSM HAM yang memiliki komitmen terhadap pembela HAM), jika pada masa Orba pelaku kekerasan didominasi oleh aparat keamanan (kepolisian, militer dan intelejen) serta aparat sipil birokrat, maka di era reformasi ini juga muncul aktor-aktor non-negara seperti kelompok-kelompok Trans-National Corporations (TNCs), kelompok milisi bersenjata, kelompok fundamentalis, dan kelompok preman.

Seiring dengan semakin luasnya cakupan HAM dan bervariasinya bentuk-bentuk pelanggaran HAM, baik oleh aktor negara maupun non-negara, maka keadaan itu semakin mendorong pentingnya peran pembela HAM. Mereka berada di garis depan perjuangan penghormatan HAM, tempat terjadinya pelanggaran, karena mereka menyuarakan aspirasi publik, khususnya korban pelanggaran HAM.

Memajukan Demokratisasi

Pembela HAM adalah komponen penting dalam upaya mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak korban dan masyarakat luas. Mereka tidak hanya mengkritisi otoritas kekuasaan yang melanggar hak-hak individu dan masyarakat, tapi juga melakukan upaya pemajuan HAM, demokrasi dan demokratisasi melalui berbagai aktivitas.

Namun kerja kemanusiaan yang dilakukan mereka mendapat banyak hambatan, ancaman, dan kekerasan (fisik dan atau psikis) maupun berupa pembatasan (pengekangan) tertentu.

Hambatan biasanya berbentuk tindakan atau pembiaran yang menghambat hak-hak mereka dalam melakukan aktivitasnya.

Ancaman dan kekerasan dapat berupa pembunuhan, ancaman pembunuhan, penculikan, penangkapan sewenang-wenang, pemukulan, penyiksaan saat penahanan, pelecehan, pencemaran nama baik, gangguan terhadap pertemuan, penyerangan terhadap rumah atau kantor, dsb.

Adapun pembatasan terhadap pembela HAM antara lain berupa pembatasan hak yang diperlukan dalam melindungi dan memajukan HAM. Sering para pembela HAM dihadapkan kepada otoritas negara melalui pengadilan dan produk hukum yang restriktif untuk menghambat dan menghukum aktivitas mereka. Tidak jarang kampanye negatif, intimidasi, dan penghinaan dialami.

Stigma sebagai provokator, tuduhan berkait dengan partai terlarang, bahkan dianggap sebagai agen negara asing yang tidak memiliki nasionalisme, adalah bentuk-bentuk hambatan yang sering mereka hadapi. Bila para pembela HAM itu menghadapi masalah, maka sering tidak mendapatkan cukup respons yang memadai, bahkan berujung pada impunitas atau tidak diadilinya pelaku pelanggaran sesuai dengan hukum yang berlaku.

Menyadari risiko tinggi yang dihadapi para pembela HAM di seluruh dunia, maka Majelis Umum PBB pada 9 Desember 1998 mengeluarkan Resolusi No 53/144 yang mengesahkan "Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups and Organ of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom" (Deklarasi tentang Hak dan Tanggung Jawab Individu, Kelompok dan Organ Masyarakat untuk Mempromosikan dan Melindungi HAM dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal) yang dikenal dengan Deklarasi Pembela HAM.

Di samping dalam Deklarasi Pembela HAM, maka sesungguhnya eksistensi pembela HAM itu juga diakui dalam berbagai instrumen hukum internasional, yaitu Deklarasi Universal HAM (Pasal 19 dan 20), Kovenan Hak Sipil dan Politik atau ICCPR (Pasal 21 dan 22 ayat 1), Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya atau ICESCR (Pasal 8), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial atau CERD (Pasal 5-d viii dan ix), serta berbagai resolusi Komisi HAM PBB.

Dalam hukum nasional Indonesia, kendati eksistensi pembela HAM sudah mendapatkan landasan konstitusionalnya lewat Pasal 28 C Ayat 2 UUD 1945, sampai saat ini belum ada ketentuan (peraturan) yang secara khusus mengatur pembela HAM.

Pasal 100-103 UU 39/1999 tentang HAM hanya menegaskan pengakuan hak individu dan kelompok untuk melakukan upaya perlindungan dan pemajuan HAM, namun pasal-pasal tersebut tidak secara definitif mencantumkan hak pembela HAM, sehingga masih memberikan ruang terjadinya pembatasan dan pelanggaran terhadap mereka.

Adapun UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, khususnya Pasal 34, hanya memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban dalam pelanggaran berat HAM. Demikian juga dengan UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hanya dapat melindungi pembela HAM bila mereka menjadi saksi atau korban.

Dengan demikian dapat dipahami bila sampai saat ini potensi pelanggaran HAM terhadap para pembela HAM di Indonesia masih sangat tinggi, dan kemungkinan ke depan akan terus meningkat.

Padahal, sebagai negara yang sudah meratifikasi beberapa konvensi internasional, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakan ketentuan dalam konvensi tersebut, khususnya dalam memberikan perlindungan terhadap pembela HAM.

Hal itu sejalan dengan amanat UUD 45 yang menegaskan kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM (Pasal 28 I Ayat 4 juncto Pasal 71 UU 39/1999 tentang HAM.(68)

Wacana : 02 Februari 2008

-- Rahayu SH MHum, dosen Hukum dan HAM Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang