BULAN Desember 2007 pemerintah melalui Direktur Niaga dan Pemasaran Pertamina, Achmad Faisal, menyampaikan mulai awal 2008 pasokan premium bersubsidi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), Batam, Bali, akan dikurangi 40 persen.
Hingga minggu pertama Februari 2008, rencana tersebut belum dilaksanakan. Namun usai rapat koordinasi yang dipimpin Wapres Jusuf Kalla di Jakarta, Selasa (5/2), pemerintah kembali melontarkan rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Namun realisasinya bukan melalui pengurangan pasokan, tetapi kali ini pembatasan pembelian melalui kartu pintar (smart card) yang ditempel di kendaraan.
Meskipun langkah itu untuk mengurangi subsidi BBM, kemudian dialihkan guna menstabilisasi harga bahan pokok yang cenderung naik, tetap saja membingungkan dan mengundang pertanyaan masyarakat. Kecuali detil teknisnya belum ada, kenapa belum genap tiga bulan pemerintah telah mengubah suatu rencana besar. Pengurangan pasokan di Jabodetabek belum direalisasi, sudah muncul program pembatasan pembelian.
***
Main-mainkah para petinggi negeri berpenduduk di atas 250 juta ini? Jawabnya tentu tidak. Mungkin yang lebih mendekati kebenaran, baru mencari formula yang tepat. Namun repotnya, walaupun baru rencana, informasi tersebut sudah beredar luas di masyarakat. Muaranya, rakyat yang buta tentang ‘’dunia persubsidian’’ menjadi gelisah. Bagi kelompok ini tahunya jika harga BBM naik atau dibatasi, dampaknya harga kebutuhan hidup pasti ikut melambung.
Komentar di masyarakat pun bermunculan. Ada yang menduga pemerintah panik tatkala menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras, terigu, kedelai, minyak goreng, dsb. Sebagian lagi berpendapat, tindakan pembatasan itu hanya bentuk lain mengurangi subsidi yang akan menyebabkan harga BBM naik. Mengingat jika hasil tambang tersebut harganya langsung dinaikkan, pasti terjadi gejolak, dan ujung-ujungnya secara politis merugikan pejabat tinggi yang tengah berkuasa. Kredibilitas pemerintah juga langsung anjlok.
Kebijakan pemerintah yang mengalihkan subsidi untuk stabilisasi harga kebutuhan pokok, memang bisa dimengerti karena langsung berhubungan dengan kebutuhan primer, perut. Sementara jika ada sebagian masyarakat yang menilai penguasa seolah kehilangan akal, juga dapat dimengerti, karena realisasinya terkesan ragu dan sifatnya tidak permanen.
Bisa jadi yang pintar cuma kartunya, sedang rakyat dan pejabat tidak, sebab kebijakan smart card (kartu pintar), setelah diimplementasikan dapat memunculkan persoalan baru. Misalnya menimbulkan antrean panjang di pom bensin atau agen minyak tanah, terjadi permainan, menimbulkan ketidakadilan, dsb. Yang pasti, barang yang harganya disubsidi pemerintah, jumlahnya akan tambah banyak. Otomatis pula, jika subsidi dicabut akan menuai persoalan, layaknya subsidi BBM.
Subsidi memang bukan barang haram yang harus dihindari dalam sistem keuangan negara. Tetapi seharusnya juga tak terlalu membebani APBN, tepat sasaran, tidak terkesan dipaksakan, direkayasa, serta tidak memunculkan persoalan di kemudian hari. Kecuali itu, tak menjadikan masyarakat menjadi ‘’manja subsidi.’’
Hanya saja, jika ada persoalan (misalnya kenaikan harga bahan pokok) bisa diselesaikan tanpa lewat jalur subsidi, tentu pasti lebih baik. Misalnya pengenaan pajak BBM kendaraan di atas 1800 cc atau terhadap pemilik yang punya mobil lebih dari satu. Konversi ke gas untuk angkutan umum. Atau seperti pendapat Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia (KBI) Rizal Ramli, yakni merenegosiasi utang-utang luar negeri, kemudian hasilnya untuk menambah biaya subsidi BBM.
Bisa juga lewat pembenahan tata niaga impor. Pertamina langsung membeli kepada produsen di Timur Tengah, tidak usah melalui broker. Bisa juga pembelian tidak harus ke Timur Tengah, melainkan ke produsen dalam negeri. Dengan cara itu bisa mengurangi biaya asuransi dan transportasi BBM yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 20 persen dari nilai yang harus ditanggung konsumen.
***
Seandainya untuk menstabilkan harga bahan pokok, BBM terpaksa naik Rp 500 - Rp 1.000/liter pun, mungkin masyarakat juga masih bisa memahami. Dengan catatan semua dilakukan secara transparan, termasuk tata niaga, kalkulasi produksi per satuan ukuran, pembagian hasil pengeboran minyak antara pemerintah dengan investor asing, distribusi, serta didahului sosialisasi yang memadai. Sementara pemerintah berkomitmen dan konsisten mengurangi ketergantungan impor bahan-bahan kebutuhan pokok.
Pekerjaan itu memang tidak mudah, terutama berkaitan mengurangi ketergantungan impor pangan lewat peningkatan produksi pertanian. Kecuali butuh waktu, jaminan, konsistensi, juga perlu perencanaan matang. Hal ini mengingat petani saat ini nampaknya banyak yang tak lagi bergairah menaikkan produksi padi atau kedelai. Biaya yang dibutuhkan dirasa tak seimbang dengan hasil yang diperoleh. Ongkos tenaga kerja, harga pupuk, bibit, dan lainnya, tak sebanding dengan harga jual pada saat panen. Lahan pertanian yang ada pun cenderung terus menyusut, beralih peruntukan menjadi perumahan. Petani yang punya lahan dekat permukiman pilih mengeringkan sawahnya untuk kaveling.
Dibilang sulit memang begitulah adanya. Namun jika solusi setiap persoalan sifatnya sementara, tanpa melalui survai dan kajian yang mendalam, tentu hanya akan memunculkan permasalah baru di kemudian hari. Padahal menurut Filsuf AS Elbert Hubbart, dunia bergerak begitu cepat sekarang. Saat seseorang berkata sesuatu tak bisa dilakukan, sesungguhnya dia sudah diinterupsi orang yang telah dapat melakukannya.
Wacana : 12 Februari 2008
–– Sri Mulyadi, wartawan Suara Merdeka di Semarang