KETIKA UU No 40 tentang Pers diundangkan pada 23 September 1999, harapan pers profesional untuk mengaktiflkan jurnalisme investigasi bangkit lagi. UU itu antara lain memberi perintah kepada pers melakukan kontrol sosial dan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Pers pelaku investigasi tidak perlu takut lagi mengalami nasib seperti Mochtar Lubis, yang karena kritik-kritiknya terhadap pemerintahan Presiden Soekarno, suratkabarnya Indonesia Raya dibredel dan dia sendiri dibui 9 tahun. Ketika Indonesia Raya terbit kembali di era Orde Baru, liputan investigasinya tentang dugaan korupsi di Pertamina kembali membuat penguasa Orde Baru marah. Indonesia Raya dibredel, Mochtar Lubis ditahan.
Memberi Payung
UU Pers dinilai telah memberi payung hukum bagi pers profesional untuk melakukan kontrol dan jurnalisme investigasi. Pertimbangannya, UU itu menganut politik hukum yang tidak mengkriminalkan pers. Kesalahan pers akibat pemberitaan hasil kegiatan jurnalistik untuk kepentingan umum diselesaikan dengan mekanisme Hak Jawab.
Para pihak yang tidak puas dapat menempuh jalur hukum. Pers yang salah dapat diancam dengan denda maksimum lima ratus juta rupiah.
Ancaman pidana penjara kepada pers hanya bila beritanya tidak berkategori karya jurnalistik. Berita seperti itu yang untuk pemerasan, berita fabrikasi/imajiner, berita berintensi malice, berita porno yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dan berita yang beritikad untuk menghina agama.
Rezim Kerahasiaan
Problema utama yang dihadapi pers dalam melakukan investigasi, sumber informasi utamanya kalangan pejabat publik tidak terbuka dan menolak untuk diakses. Kondisi seperti ini menghambat jurnalisme investigasi. Oleh karena itu pers profesional sangat mendukung usaha Koalisi Kebebasan Informasi untuk memperjuangkan RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dapat diundangkan oleh DPR dan Pemerintah.
UU itu akan memberikan hak kepada pers untuk mencari, memperoleh dan menyebarkan informasi untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui pejabat publik diwajibkan terbuka terhadap publik. UU seperti itu efektif membantu penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik.
RUU KIP tersebut sudah dibahas tujuh tahun. Lama, karena wakil Pemerintah masih mempertahankan konsep rezim kerahasiaan. Dalam pembahasan, Pemerimtah ternyata menunjukkan sikap paradoksal.
Kata-kata berbeda dengan tindakan. Dalam pidato kenegaraannya yang pertama (20/10/04) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkata : ”Saya akan memerangi korupsi dan akan menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan baik (clean and good governance). Untuk diketahui, salah satu prinsip good governance adalah keterbukaan pejabat publik.
Di pembahasan RUU KIP di DPR, pembantu Presiden yakni Menteri Kominfo - dalam hal ini Ketua Interdep yang mewakilinya - bertindak mempertahankan paling tidak empat pasal yang bertentangan dengan konsep kebebasan informasi.
Pertama, Pemerintah ngotot mempertahankan ketentuan sanksi yang mengkriminalkan pengguna informasi. Pasal 5 ayat (1) menyebut: ”Pengguna informasi publik wajib menggunakan informasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Bagi yang menyalahgunakan informasi publik, diancam pidana penjara paling lama dua tahun.
Persoalan potensialnya, informasi publik itu justru diperlukan untuk memenuhi akurasi liputan investigasi. Kalau kegiatan seperti itu dapat dinilai melanggar Pasal 5 ayat (1) di atas, tidakkah ketentuan seperti itu berdampak melumpuhkan UU Pers ?
Kedua, Pasal 4 ayat (3) mempersyaratkan bahwa pengguna informasi publik harus menyertakan alasan permintaan. Tidakkah ketentuan seperti itu berpotensi permintaan dapat ditolak ?
Ketiga, BUMN tidak masuk kategori badan publik, oleh karena itu tidak terbuka bagi publik dan pers. Sudah menjadi pengetahun publik ratusan BUMN selain rugi terus - menerus, tetapi juga menjadi ATM bagi berbagai pihak. Kalau pers terlarang mentrasparansikan kebobrokan-kebobrokan BUMN, adakah jaminan BUMN tersebut menjadi semakin bersih ?.
Keempat, UU KIP yang akan datang akan mengoperasikan Komisi Informasi. Pemerintah menuntut (1) agar beberapa orang pemerintah menjadi anggota dan (2) supaya ada peraturan pemerintah (PP) yang mengaturnya. Tidakkah ketentuan seperti itu akan mendesain Komisi Informasi yang akan datang seperti Dewan Pers di era Orde Baru, Ketuanya Menteri/Dirjen Kominfo, dan dengan PP mensubordinasi UU KIP itu sendiri UU KIP seperti itu adalah UU paradoksal. Brandnya keterbukaan, isinya berkandungan rezim kerahasiaan.
RUU KIP diawali dengan desain untuk memperkuat RUU Pers, tetapi akan diakhiri dengan desain untuk melumpuhkan UU Pers.(11)
Wacana : 09 Februari 2009
–– Leo Batubara,wakil ketua Dewan Pers