25 September 2009

» Home » Seputar Indonesia » Kabinet Baru SBY dan Masalah Kelembagaan

Kabinet Baru SBY dan Masalah Kelembagaan

Struktur dan personel Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 masih menjadi suatu tanda tanya.Pada satu sisi,Presiden SBY berpegang teguh bahwa pembentukan kabinet merupakan hak prerogatif presiden sebagai konsekuensi dari sistem pemerintahan presidensial.

Pada sisi lain, partai politik yang mendukung koalisi Partai Demokrat mengharapkan ada imbal balik dari kontribusi yang telah diberikan dalam bentuk bagian dari kursi kekuasaan—tidak hanya di pemerintahan, namun juga di lembaga perwakilan. Efektivitas Pemerintahan
Seperti apa pun kabinet yang akan dibentuk, hal yang paling penting yaitu bagaimana meningkatkan kinerja pemerintahan. Studi menunjukkan bahwa Indeks Efektivitas Pemerintahan (IEP) yang mengukur kualitas jasa layanan publik (public services), kualitas dari pegawai negeri dan tingkat independensi dari tekanan politik, kualitas dari formulasi kebijakan dan implementasi serta kredibilitas atas komitmen pemerintah untuk menyatakan kebijakan.

Dalam hal IEP, Indonesia masih berada di bawah indeks lima negara ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, dan Filipina. Beranjak dari kenyataan di atas, berarti bagi Indonesia ungkapan “the right man in the right place”sebetulnya belumlah cukup. Sejauh belum terwujud transparansi, kepastian, dan konsistensi kebijakan, maka manusia “setengah dewa”pun tetap tidak akan mampu mengubah keadaan. Permasalahan utama yang dihadapi oleh pembangunan bangsa ini adalah karut-marutnya aspek kelembagaan (aturan main) yang saling berkontradiksi, tumpang tindih, dan kabur.Di samping itu,mekanisme checks and balances di dalam lembaga negara masih perlu terus ditingkatkan.

Tujuan Pembangunan

Pemerintahan yang efektif merupakan alat untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi.Terlalu sempit jika tujuan pembangunan hanya dilihat dari peningkatan pendapatan per kapita. Tujuan dari pembangunan ekonomi yaitu terjadinya peningkatan kesejahteraan yang ditandai oleh semakin membaiknya standar kehidupan masyarakat (improved living standards) dan kondisi masyarakat yang semakin baik (a better society).

Kedua tujuan tersebut ditandai oleh turunnya tingkat kemiskinan, serta capaian tingkat
kesehatan dan pendidikan yang semakin baik. Dengan demikian, peningkatan pendapatan (gross domestic product/GDP) sesungguhnya baru merupakan alat untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang semakin baik. Pembangunan memerlukan suatu proses transformasi dari kultur masyarakat dengan pola hubungan tradisional menjadi masyarakat modern yaitu masyarakat yang mendasarkan setiap pengambilan kebijakan pada prinsip-prinsip keilmuan (scientifically based approach).

Dengan demikian, strategi pembangunan memerlukan suatu visi transformasi baik dalam bentuk transformasi institusi (transformation of institutions) maupun penciptaan modal sosial dan kapasitas yang baru (creation of new social capital and new capacities). Melihat pada besarnya tanggung jawab yang diemban pemerintah untuk mewujudkan pemerintah yang efektif, maka formasi kabinet yang akan dibentuk sebetulnya bukan sekadar kumpulan orangorang hebat pada bidang kepakaran masing-masing,melainkan seorang profesional yang mampu melihat masalah bangsa dalam kacamata yang sama dan mampu bekerja bersama dengan lembaga lain.

Berikut adalah tiga pengalaman yang menunjukkan bahwa kebijakan yang dibangun oleh profesional secara parsial akan berujung pada pemborosan sumber daya. Pertama, pengalaman menunjukkan bahwa, hingga saat ini masalah krisis energi, masih terus membayang-bayangi perekonomian nasional. Hal ini tentu saja bukan karena kegagalan dalam melakukan perencanaan kebutuhan akan energi,namun lebih banyak disebabkan oleh lemahnya konsistensi untuk menjalankan kebijakan tersebut secara holistik.

Masingmasing departemen sibuk pada bidang tugasnya masing-masing, misalkan menciptakan benih jarak dan sawit, menyediakan lahan tanam, hingga membuat mesin pengolah.Namun, mengapa hingga sekarang pengembangan energi terbarukan masih jauh dari harapan? Subsidi yang terlalu besar ke bahan bakar minyak, keraguan menerapkan mandatory obliglation penggunaan biofuel, serta kurangnya insentif fiskal membuat industri biofueljalan di tempat.

Demikian juga masih terkait dengan kebijakan ketahanan energi, yaitu kita sibuk membahas angka subsidi BBM dan investasi jalan tol. Namun, kita lupa membenahi sistem transportasi massal, khususnya kereta api, yang seharusnya menjadi pilar utama untuk membangun ketahanan energi. Kedua, di tengah upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan petani melalui bantuan benih unggul dan sarana produksi pertanian lain, mengapa menjelang hari raya banyak petani harus menggadaikan mesin traktor mereka?

Ketidakmampuan dalam mengendalikan tingkat harga input pertanian dan menjaga stabilitas harga pangan membuat tingkat kesejahteraan petani semakin merosot. Tentu sulit kita bayangkan jika petani yang relatif mampu telah menggadaikan mesin traktor mereka. Lalu bagaimana kondisi yang dihadapi oleh para petani gurem? Jika kita amati, cukup banyaknya areal sawah yang mengalami gagal panen akibat areal tanam yang telah tercemar limbah industri ataupun tidak terjangkau sarana irigasi.

Lebih jauh, relatif tertinggalnya produktivitas perkebunan rakyat seperti kelapa sawit,dibandingkan dengan perkebunan besar lebih banyak dikarenakan ketidakmampuan petani dalam menjalankan pola pertanian modern serta penggunaan benih palsu yang cukup tinggi di tingkat petani.Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa meningkatkan kesejahteraan petani bukan semata-mata menjadi tanggung Departemen Pertanian, namun banyak instansi yang harus bertanggung jawab atas hal ini. Terakhir, implementasi kawasan ekonomi khusus ataupun free trade zone (FTZ) di wilayah Batam, Bintan, dan Karimun yang masih jauh dari harapan para pelaku usaha disebabkan oleh keraguan pemerintah pusat dalam mendelegasikan kewenangan di tingkat daerah.

Pusat masih berpikir paling tahu akan urusan daerah dibandingkan dengan daerah itu sendiri. Bahkan hingga saat ini masih belum jelas siapa yang mendapat keuntungan ataupun kerugian terbesar atas implementasi FTZ, karena memang hingga saat ini semua pihak masih sibuk pada pembagian kewenangan dan kekuasaan.

Akar Masalah

Permasalahan utama yang dihadapi sebetulnya “the right man in the wrong place”.Hal ini terjadi karena aspek kelembagaan ekonomi ataupun aturan main yang ada saling tumpang tindih dan bertentangan.

Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika banyak tenaga profesional yang tidak mampu bekerja secara efektif karena habitat yang dihadapi menghadapi masalah kegagalan sistem yang akut ataupun permasalahan struktural. Alhasil,akselerasi pembangunan ekonomi sulit berjalan secara efektif jika sistem yang dibangun tidak mendukung para cerdik pandai untuk bekerja secara optimal. Bahkan upaya untuk membangun formasi kementerian dengan prinsip “balance of power”ataupun koalisi kabinet tetap tidak mampu berjalan efektif jika kelembagaan ekonomi yang ada juga tidak dibenahi.

Kelompok profesional sebetulnya bertanggung jawab untuk mengawal proses transformasi tersebut, bukan malah terbawa oleh arus. Dengan demikian, kelompok profesional (kaya akan penga-laman di bidangnya) yang harus menjadi ciri Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2, yaitu seseorang yang memiliki jiwa leadership,berani mengambil risiko,dan berpikir holistik.

Pembenahan regulasi yang saling kontradiksi,tumpang tindih dan tidak propenciptaan lingkungan bisnis yang sehat perlu menjadi skala prioritas.Benang merah dari setiap regulasi mulai di tingkat pusat hingga daerah perlu teridentifikasi secara baik.Demikian juga,bagian tersulit yaitu menyandingkan serta menganalisis regulasi yang berimplikasi pada sektor lainnya. Pembenahan regulasi perlu menjadi agenda terdepan atas rencana kerja 100 hari kabinet dan Dewan Perwakilan Rakyat.(*)
Opini Seputar Indonesia (Sindo) : 26 September 2009
Maxensius Tri Sambodo
Ekonom dan Peneliti LIPI