25 September 2009

» Home » Suara Merdeka » Tepa Selira

Tepa Selira

PADA abad ke-19, filsuf Arthur Schoepenhauer membandingkan umat manusia dengan landak yang berkerumun pada malam musim dingin yang menyakitkan. Makin dingin di luar, makin kita berkerumun untuk mencari kehangatan, namun makin dekat kita satu dengan yang lain, makin kita saling menyakiti dengan duri panjang kita yang tajam. Pada malam musim dingin yang sepi di bumi pada akhirnya kita mulai hanyut terpisah dan berjalan sendiri-sendiri serta membeku sampai mati dalam kesunyian kita.

Itulah pelajaran yang saya baca dari buku Winning with People. ”Orang yang terluka melukai orang lain dan mudah terluka oleh orang lain,” kata John Maxwell, penulis buku itu. Penyair Jerman Herman Hesse menulis, ”Jika Anda membenci seseorang, Anda membenci sesuatu dalam dirinya yang merupakan bagian dari diri Anda. Apa yang bukan bagian diri Anda sendiri tidak mengganggu Anda.”

Maxwell berkomentar, bahwa orang yang tidak percaya diri tidak akan berhasil dan akan selalu menghambat orang-orang di sekitarnya untuk sukses. Pelajaran, yang oleh Maxwell disebut Prinsip Rasa Sakit, itu sudah ada sejak dulu dalam khasanah budaya Jawa. Nenek moyang kita mengajarkan, aja njiwit, yen kowe uga ora gelem dijiwit, (Jangan mencubit, kalau kamu juga tidak mau dicubit). Maknanya adalah, jangan menyakiti orang lain, karena kita pun pasti tidak mau disakiti oleh orang lain.

Ki Ageng Suryomentaram, dalam nada yang agak berbeda, mengajarkan bahwa seseorang harus lebih dulu bisa percaya pada orang lain agar orang lain bisa percaya kepadanya. Bisaa percaya, kareben kowe uga bisa dipercaya.

Makna dari ajaran-ajaran itu adalah, bahwa sebenarnya orang lain merupakan bagian dari diri kita sendiri. Itulah sebabnya, tindakan seseorang terhadap orang lain sesungguhnya cerminan dari dirinya sendiri. Tindakan seseorang adalah refleksi dirinya sendiri. Dalam ajaran agama disebutkan, bahwa ukuran yang kita pakai untuk mengukur orang lain akan diterapkan pula oleh orang lain untuk mengukur diri kita sendiri. Maka, hati-hatilah, berpikirlah dulu sebelum mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan terhadap orang lain.
***
AJARAN-ajaran itu saya ingat kembali setelah ikut talkshow Pasar Imlek Semawis di Semarang belum lama ini. Temanya ”Tepa Selira dalam Kehidupan Multikultur.” Dari perbincangan santai itu, dapat disimpulkan bahwa tepa selira atau tenggang rasa sudah meluntur di masyarakat Indonesia yang majemuk ini.

Mengapa meluntur? Salah satu sebabnya, banyak orang yang tidak lagi paham bahwa sebenarnya kata-kata dan tindakan terhadap orang lain merupakan refleksi dirinya sendiri. Ketidakpahaman itu muncul, karena di era penuh persaingan ini keakuan manusia makin besar, sehingga tidak lagi dapat melihat dengan jernih dirinya sendiri, terlebih melihat diri orang lain.
Orang makin sibuk dengan dirinya sendiri, sehingga melupakan kebersamaan dalam hidup yang majemuk, multikultural. Dalam kondisi seperti itu, maka agak mustahil tepa selira bisa muncul. Yang ada hanyalah kepentingan keakuan, bukan kepentingan orang lain atau kepentingan bersama.

Tepa selira memang masih ada di lokasi-lokasi bencana. Misalnya tercermin ketika orang atau lembaga membantu korban-korban yang terkena musibah. Tapi, itu pun masih layak dipertanyakan apakah benar-benar tidak ada kepentingan tertentu di baliknya, misalnya kepentingan organisasi atau kepentingan perusahaan. Gejala ini terasa misalnya dari banyaknya penyerahan bantuan yang harus diliput media massa atau harus diketahui khalayak ramai. Jadi, seringkali pemberian-pemberian bantuan itu hanya merupakan bagian dari strategi atau taktik pemasaran.

Tepa selira bukan itu. Tepa selira adalah suatu tindakan yang dilandasi pada kesadaran bahwa kata-kata dan tindakan merupakan refleksi diri seseorang. Oleh karena itu, tenggang rasa harus dimulai dari dalam diri sendiri, persis dengan ajaran leluhur bahwa kalau tidak mau disakiti, ya jangan menyakiti. Sama dengan yang digambarkan John Maxwell, bahwa orang terluka akan melukai orang lain, orang yang tidak terluka tidak akan melukai orang lain.
***
BANYAK di antara kita adalah orang-orang yang terluka. Orang-orang yang terluka cenderung melindungi diri dengan memperbesar keakuan, sehingga yang muncul bukan lagi sekadar individualisme, melainkan egoisme. Tepa selira menjadi barang langka. Tenggang rasa menjadi ”tendang rasa” (rasa ditendang dan tidak dipakai lagi).
Itulah sebabnya, banyak sekali kasus orang menyakiti orang lain. Mulai dari suporter sepakbola melukai hakim garis, saling menyakiti dengan suporter lain, istri menyakiti suami, suami menyakiti istri, siswa-siswa sekolah saling melukai dalam tawuran, aparat keamanan melukai aparat keamanan yang lain, sampai elite politik pun saling menyakiti.
Saya tidak tahu, apakah ketika Megawati melontarkan kata-kata bahwa pemerintahan SBY seperti menari poco-poco, kemudian dibalas oleh JK bahwa pemerintahan Mega justru seperti undur-undur, juga termasuk dalam contoh-contoh itu.

Wacana : 11 Februari 2008
––– Adi Ekopriyono, wartawan Suara Merdeka di Semarang.